Oleh Dewi Musdalifah
Malam itu, lampu-lampu kedai kopi Gresiknesia di Jalan Nyai Ageng Arem-arem, Gresik, Jawa Timur, sedikit temaram. Suasana hangat menyambut siapa pun yang datang.
Para kawula muda, penulis, pengacara, sejarahwan, guru, aktivis, musisi, perupa, pegiat, jurnalis, pelajar, dan beberapa dari komunitas sastra di Gresik, Sidayu, dan Panceng bersua.
Kopi panas, es teh, dan semacam kudapan (snack) menyertai perbincangan menyusuri buku “Jalan Kecil”. Teman diskusi yang diambil dari berbagai latar belakang menjadikan obrolan sangat beragam.
Bagi penulis, tiada hal paling membahagiakan kecuali karyanya dibaca. Terlebih jika pembaca menemukan sesuatu dari pengetahuan yang dipunyainya, kemudian dibagi bersama dalam forum ini.
Semangat berbagi menjadikan perhelatan diskusi menarik. Bukan berarti tanpa kritik dan gugatan. Bahkan tidak terpahami. Namun semuanya wajar, karena berangkat dari sejarah bahasa yang berbeda-beda. Perlu memahami kode sastra.

Satu per satu teman diskusi mengungkap temuan mereka. Berbagai persoalan bergulir, tentang kebahasaan, makna, telisik sejarah, filsafat dan budaya yang tersirat dalam buku “Jalan Kecil” Ini.
Beberapa pembaca merasa memiliki keterlibatan emosi dan pengalaman batin yang sama dengan isi kumpulan cerpen dalam buku. Perihal terbukanya pintu penyingkapan makna dalam sebuah karya dengan pembacanya.
Sebagai penulisnya, saya berbahagia mendapatkan respon antusias dari teman-teman yang datang. Bermunculannya temuan ini sangat penting untuk bekal menulis karya berikutnya.
Atmosfir diskusi yang gayeng, santai tapi serius, terbuka dan tanpa gontok-gontokan. Semua sah-sah saja, karena pembaca berhak memiliki tafsirnya sendiri-sendiri.
Mengutip ucapan salah satu teman diskusi, bahwa penting untuk meninggalkan trauma pada masa lalu tentang tradisi menguliti karya dengan kejam sekalipun dengan dalih untuk kebaikan perkembangan sastra.
Karena yang paling penting dari kelahiran sebuah karya adalah respon dari pembacanya. Tak harus memuji tapi juga tidak menghakimi. Kejujuran menjadi syarat utama.
Agar pertumbuhan sebuah karya menjadi marak yang secara otomatis akan mengalami seleksi alam dengan sendirinya. Tidak dihabisi sebelum punya kesempatan untuk belajar menjadi matang.
Dari peristiwa malam itu, puncaknya adalah menjalin rindu pada kosmos sastra yang ramah dan penuh geliat. Sekaligus memberikan ruang pada kebebasan berpikir dan bersuara.
Terima kasih, teman-teman. {*}
*) Dewi Musdalifah, pegiat sastra, penulis buku Kumpulan Cerpen ‘Jalan Kecil’, tinggal di Gresik, Jawa Timur.







