SURABAYA (RadarJatim.id) – Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) siap menggelar sekolah tatap muka yang rencananya dimulai pada 5 Juli 2021. Sebagaimana SKB 4 Menteri, pembelajaran akan digelar berbasis zonasi.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyebutkan, khusus untuk sekolah tingkat SMA, SMK, dan SLB yang menjadi kewenangan Pemprov, zonasinya berbasis kecamatan.
“Sehingga update-nya dipandu oleh Satgas Covid dan Dinas Pendidikan Kabupaten Kota,” ujarnya, seusai Rakor persiapan pembelajaran tatap muka, Senin (17/5/2021).
Aturannya, lanjut Khofifah, jika di kecamatan berstatus zona hijau dan kuning, maka siswa yang boleh masuk sebanyak maksimal 50%. Disiapkan delapan mata pelajaran, masing masing 30 menit. Dengan demikian, total waktu yang dibutuhkan 4 jam, dengan istirahat 15 menit.
“Diharapkan, mereka semua (para siswa, Red) membawa bekal dari rumah, sehingga kantin belum boleh buka. Banyak sekali kemarin masukan yang disampaikan. Ada yang merasa tidak sekolah, kalau gak ke sekolahan,” imbuhnya.
Meski sekolah tatap muka akan digelar, tegas Khofifah, hybrid learning tetap diterapkan. Hal ini lantaran masih sebagian yang masuk sekolah, sehingga sebagian lainnya mengikuti dengan cara daring atau virtual.
“Besoknya seperti itu, kan digilir itu,” tambahnya.
Khofifah menandaskan, sekolah tatap muka semakin mendesak segera diterapkan, terutama bagi sekolah kejuruan atau SMK. Pemberian materi pelajaran pada sekolah ini tidak mudah disampaikan secara virtual.
“Ibarate ngelas, atau sambungan listrik, dan seterusnya itu. Yang saya dan Pak Wahid (Kadis Pendidikan Jatim, Wahid Wahyudi, Red) itu pernah turun, ‘yok opo nak ini kalau virtual’, ‘ndak bisa buk‘. Mereka menyampaikan nggak bisa, jadi mereka harus pegang alat,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Wahid Wahyudi menuturkan, proses pembelajaran jarak jauh, terdapat beberapa permasalahan, termasuk dampaknya.
“Ada masyarakat tertentu yang menganggap SMA SMK ini sudah bubar, karena terlalu lama siswa belajar dari rumah,” ujarnya.
Wahid mengungkapkan, beberapa permasalahan yang terjadi, di antaranya di Madura. Beberapa sekolah melaporkan, ada beberapa siswanya yang oleh orang tuanya dipindah ke pesantren.
“Kemudian yang kedua, banyak masukan, bahwa karena lamanya pembelajaran dari rumah, banyak siswa yang tidak ketemu teman temannya, tidak ketemu gurunya, mereka stres di rumah,” imbuhnya.
Oleh karena itu, lanjut Wahid, secara prinsip adalah, bagaimana menanggulangi Covid-19, tanpa harus mengorbankan kualitas pendidikan. Protokol kesehatan dilakukan dengan ketat di sekolah. (rj2)







