Oleh Moh. Husen*
Setiap kali saya diajak ngobrol perihal seorang ketua ormas yang korup, sebisa mungkin saya mengelak secara halus. Saya mengelak bukan karena pesimistis, bahwa rata-rata seorang ketua banyak korupnya daripada jujur mendistribusikan hak orang lain. Melainkan saya sedang malas dengan tema-tema semacam itu.
Saya sedang ingin mbok ya kalau ngopi itu membahas yang ringan-ringan saja, agar kita bisa tertawa dan bahagia. Emang siapa sih kita ini, kok sukanya dengan hal-hal yang kurang ada sisi humornya. Sehingga kita jadi sedih dengan tema obrolan: jadi ketua ormas saja korup, apalagi kalau jadi kepala desa, bupati, gubernur atau presiden.
Tapi ternyata saya salah. Tema berat–semisal–korupsi ini sisi humornya tinggi juga.
Kalau sebagai rakyat kecil kemudian suatu hari kita mendapat kabar–misalnya saja–ada gubernur kok melanggar aturan, sedangkan ia menyuruh rakyat kecil berdisiplin taat aturan sedemikian rupa hingga demi menerapkan kedisiplinan tersebut rakyat harus kuat menahan lapar dan kesulitan bayar kredit bulanan, maka itulah humor.
Ketua ormas saja pusing memimpin 7 orang supaya taat, dan ia harus main suap agar selalu dibenarkan anak buahnya. Beda dengan gubernur. Mana mungkin gubernur bisa salah, apalagi tertangkap KPK? Gubernur benar terus. Hebat lho, bisa memimpin orang se-provinsi. Orang hebat kok bisa salah, kan nggak mungkin? Dan kalau benar dianggap tidak mungkin, maka itu namanya humor.
Yang mungkin bisa salah itu cuma kita-kita orang kecil. Aturan kepada orang kecil alias wong cilik sangat ketat demi mendidik menjadi masyarakat yang baik dan unggul. Kalau wong cilik ini suatu saat harus masuk penjara karena tertangkap main judi kartu atau judi online di jalanan, itu bukan humor. Tapi mereka serius sebagai penjudi yang hina dan dosanya serem banget.
Padahal pada suatu sore di forum diskusi, karena situasi komunikasinya sudah akrab, saya katakan: “Diskusi kita ini sangat bagus, perdebatannya hidup. Hanya saja, besok kalau kita jadi pemimpin di tingkat desa misalnya, apakah kalau cat tembok rumah kita mulai buram, kita tidak akan memakan uang rakyat? Apakah demi gengsi anak harus sekolah favorit, kita tidak korupsi?”
Mereka semua tertawa.
Hari demi hari kita makin kehilangan contoh kebaikan yang menyebabkan jika kita tak punya iman dan hati sabar, ngapain kita repot-repot melakukan kebaikan. Keburukan begitu jelas dipaparkan dan didukung arogansi kekuasaan seolah-olah tak ada satu pihak pun dalam kehidupan ini yang mampu menggelincirkan dan menenggelamkannya.
Akhirnya karena problem kita sendiri juga tak kunjung usai, hutang kita di sana-sini juga belum beres, maka semua kekonyolan dalam kehidupan ini, kita anggap humor belaka. Kecuali Pilkada. Pilkada ini serius. Harus kita jalankan dengan penuh riang gembira, menjaga semangat persaudaraan, dan KPU sangat gencar melakukan sosialisasi agar kita jangan golput. (*)
Banyuwangi, 30 September 2024
*Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







