SURABAYA (RadarJatim.id) – Komisi D DPRD Surabaya menyoroti kebijakan Dinas Pendidikan Surabaya dalam memberikan tunjangan atau insentif kepada guru non pns dan pengajar ngaji. Pasalnya, proses penyaluran insentif terlalu ketat dan sulit, sehingga banyak yang belum tersaring.
Sekretaris Komisi D DPRD Surabaya dr. Akmarawita Kadir, menyatakan sesuai ketentuan yang sudah digodok dalam rencana anggaran (RAPBD) 2020 Surabaya di 2019 lalu, dana insentif seharusnya telah berjalan sejak Januari 2020, jauh sebelum masa pandemi Covid-19 menyerang.
“Anggarannya dahulu sudah didok dan disahkan di tahun 2019. Jadi seharusnya di bulan januari 2020 sudah harus dicairkan kepada para guru swasta yang menjadi intensif mereka setiap bulannya,” urai dokter Akmar—sapaan akrabnya kepada RadarJatim.id, Sabtu (17/10/2020).
Akmar mengungkapkan, dana insentif tersebut telah dianggarkan di APBD 2020 dengan jumlah keseluruhan menjadi Rp 26.171.170.657. “Jadi sekali lagi ada 2600-an guru swasta. Setiap bulan ada yang mendapat insentif hingga Rp 1 juta per bulan selama setahun,” ungkap Akmar.
Akmar mengharap, adanya pemberian insentif ini tidak dipolitisasi ataupun disangkutpautkan dengan pilkada. Pemberian dana ini juga tak berhubungan dengan pandemi Covid-19 lantaran sudah berjalan sebelum pandemi menyerang Surabaya hingga pemberlakuan PSBB.
“Sesuai catatan kami sudah sejak 2018, pencairan ini saya harapkan tidak dikait-kaitkan dengan pilkada, karena ada salah satu calon walikota yang mantan Kepala BAPPEKO. Harusnya para guru swasta teringankan karena sudah mendapatkan dana insentifnya,” ujar Sekretaris Fraksi Gokar DPRD Kota Surabaya ini.
Selain itu, Akmar juga mengkritisi proses penyaringan guru yang mendapat dana ini. Pasalnya, banyak syarat yang harus dipenuhi agar guru swasta (non-PNS) SD dan SMP mendapatkan insentifnya, misalnya guru swasta yang mengajar kurang dari 2 tahun tidak bisa mendapatkan dana insentif. Jadi tak banyak guru yang bisa memperoleh insentif ini dari seluruh guru non-PNS yang ada.
“Pemberian insentif ini sangat dan terlalu ketat penyaringan atau filtrasinya, banyak syarat yang harus dipakai agar guru swasta SD dan SMP mendapatkan intensifnya, jadi hanya sedikit guru swasta yang mendapatkan intensif Rp 1 juta per bulan. Ini kurang baik untuk pengembangan pembelajaran di Kota Surabaya, khususnya bagi para guru swasta,”tegas dia.
Sama halnya dengan guru PAUD, lanjut Akmar, dana insentif yang diberikan sudah tercatat dalam belanja anggaran yang ada di APBD 2020 maupun PAK (Perubahan Anggara Keuangan) 2020. “Semua itu sudah ada di APBD 2020, yang sudah disahkan di tahun 2019, dan pada saat PAK beberapa waktu lalu kita (dewan legislatif) tetap pertahankan,” imbuh Akmar.
Alumnus Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ini menilai, Pemkot Surabaya justru tidak serius dalam mengeksekusi program pemberian insentif pada guru swasta ini. Padahal, Akmar memahami banyak guru swasta di Surabaya yang tidak mendapatkan gaji sesuai UMK yang ditetapkan.
Selain itu, sekolah swasta di Surabaya sangat besar sumbangsihnya bagi pendidikan dan ikut aktif dalam mencerdaskan anak didik di Kota Surabaya.
Dari sisi penyaringan guru yang mendapat insentif rasionya sangat kecil. Menurut data, lanjut Akmar, Jumlah seluruh guru SD dan SMP di Surabaya (Negeri dan Swasta) sekitar 16.000, sedangkan guru dan tenaga pengajar non-pns lebih dari 9600 orang.
Artinya, masih ada lebih dari 7000 guru non-pns yang belum mendapat insentif yang tidak lolos seleksi.
“Intinya, tidak ada guru swasta yang mendapatkan gaji sesuai UMK yang telah ditetapkan. Filterisasinya terlalu ketat. Inikah yang dimaksud program pemkot yang bagus? Apakah seperti ini respek Pemkot Surabaya terhadap sistem pendidkan, padahal kita tahu sumbangsih mereka, karena melihat masih terbatasnya sekolah negeri di surabaya, saya sangat menyayangkan sekali, pengelolaannya tidak bagus dan terkesan tidak serius,” pungkas Akmar. (Phaksy/Red)







