Kuratorial oleh Arik S. Wartono
“The past is never dead. It’s not even past.”
William Faulkner [1].
Kali ini saya membuka kuratorial pameran tunggal ke-7 Ariel Ramadhan dengan kutipan puisi karya William Faulkner, sebuah penggalan puisi pada novel Requiem for a Nun yang ditulis oleh William Faulkner pada tahun 1951. Novel ini merupakan bagian dari trilogi Yoknapatawpha, yang merupakan seri novel berlatar di kota fiksi Yoknapatawpha, Mississippi.
“The past is never dead.
It’s not even past.“
Jika diterjemahkan bebas lebih kurang seperti ini:
“Masa lalu tidak pernah mati.
Bahkan belum berlalu.”
Kutipan puisi ini telah menjadi salah satu kutipan yang paling terkenal dan berpengaruh dalam sastra Amerika. Ia telah digunakan dalam berbagai konteks, termasuk film, musik, dan politik, untuk menggambarkan bagaimana masa lalu dapat memengaruhi kita.
Demikian halnya dengan pameran tunggal ke-7 Ariel Ramadhan dengan tajuk “Lautan Bercerita” yang merupakan upaya menoleh ke belakang untuk menetapkan langkah-langkah ke depan. Ibarat orang mengemudi mobil atau motor, perlu sesekali menengok kaca spion sebagai upaya berkendara yang aman bagi diri sendiri sekaligus pengendara lain.
Seperti pernyataan Faulkner, bahwa kita tidak dapat melupakan masa lalu, tetapi harus belajar untuk hidup dengan itu dan memahami bagaimana masa lalu itu mempengaruhi pikiran, perasaan, keputusan dan tindakan kita hari ini dan yang akan datang.
Pameran “Lautan Bercerita” terhitung pameran tunggal ke-2 Ariel Ramadhan sepanjang tahun 2025, sekaligus menandai ulang tahun Ariel yang ke-26. Ariel lahir di Surabaya, 13 Desember 1999. Pameran ini merupakan kilas balik dari proses perjalanan kreatif Ariel.
Kita disuguhi bentang proses kreatif yang konsisten dalam mengekplorasi tema laut sebagai sumber gagasan, mengajak kita merenungkan makna dan nilai dari sebuah perjalanan proses kreatif pemuda yang telah meneguhkan tekadnya untuk hidup sebagai seniman. Ini bukan sekadar pameran seni, tapi juga sebuah refleksi atas perjalanan hidup sang seniman, seorang pelukis muda berbakat, dalam mencari keseimbangan antara estetika dan nilai-nilai hidup yang lebih kompleks.
Laut, sebagai sumber inspirasi utama, menjadi tema sentral dalam karya-karya Ariel Ramadhan. Dengan ragam teknik, gaya dan warna, Ariel mengajak kita untuk menatap horizon sekaligus menyelami kedalaman laut, mengeksplorasi misteri dan keindahan yang tersembunyi di bawah permukaan. Laut menjadi metafora bagi kehidupan, dengan segala kegelisahan dan keindahan yang menyertainya.
Karya “Laut Dalam Dua Kantong Plastik“, cat akrilik di atas kanvas 60×80 cm, 2025, merupakan salah satu karya terbarunya untuk seri karya “Laut Dalam Kantong Plastik” yang fenomenal, yang salah satu karya serinya dengan tema ini yakni “Save the Ocean from Plastic Waste“, cat akrilik di atas kanvas, 60×100 cm, 2022, telah meraih penghargaan dari Internasional Ocean Art Festival (ACS-IQAF) Asian Federation of Arts and Sciences Jeju – South Korea (2022).

Dalam karyanya ini, Ariel Ramadhan mengajak kita memasuki dunia imaji yang memesona, namun menusuk kesadaran. Dua kantong plastik transparan, seolah-olah menjadi jendela untuk melihat apa yang terjadi pada kehidupan ekosistem laut kita. Kapal kayu tradisional yang berlayar di dalamnya, simbol harapan dan keberanian, namun juga kerapuhan.
Ariel dengan cerdas memainkan ironi: plastik, simbol modernitas yang justru menjadi ancaman terbesar bagi lautan. Namun, dalam karyanya, plastik menjadi medium untuk mengkritik, mengingatkan kita akan tanggung jawab bersama untuk menjaga kekayaan alam ini. Dengan warna background merah menyala, menghadirkan suasana kontras yang bergejolak, seolah warning bagi kita semua tentang pentingnya menjaga lautan.
Karya seri “Lautan Dalam Kantong Plastik” bukan sekadar lukisan, tapi seruan untuk bertindak, untuk menyelamatkan lautan dari jerat plastik. Karya ini mengingatkan kita bahwa imaji bisa menjadi kekuatan untuk perubahan.
Karya Ariel paling anyar yakni “Pinisi Dalam Pusaran Badai“, mixmedia cat akrilik, tekstur gipsum-paperclay, prada emas di atas kanvas diameter 120 cm, 2025, tentu menarik untuk diulas, karena Ariel mulai menampilkan tekstur nyata dalam eksplorasi teknik melukisnya. Tekstur tebal yang dilapisi cat akrilik menghasilkan nuansa yang berbeda dari karya-karya Ariel sebelumnya.
Dalam pusaran badai, Pinisi berdiri tegak, melambangkan kekuatan dan ketabahan jiwa manusia. Karya ini mengajak kita merenungkan perjalanan hidup, bahwa badai adalah metafora tantangan yang harus dihadapi dengan keberanian dan keyakinan. Pusaran badai yang membentuk sebuah lingkaran mengingatkan kita, bahwa hidup adalah siklus yang terus berputar, dan setiap badai membawa kita pada pelajaran penting dalam setiap fase kehidupan.
Pinisi, sebagai warisan budaya, mengajarkan kita tentang ketabahan dan harapan. Kapal layar tradisional yang berasal dari Sulawesi Selatan, Indonesia ini telah diakui sebagai warisan budaya tak benda UNESCO sejak tahun 2017.
Salah satu karya seri Ariel Ramadhan dengan tema “Pinisi Dalam Pusaran Badai” juga sedang dipersiapkan untuk sebuah pameran internasional di Korea Selatan tahun 2026.
Goenawan Mohamad, dalam salah satu tulisannya, pernah mengatakan, “Seni adalah cara kita memahami dunia, dan memahami diri kita sendiri” [2]. Dalam pameran ini, melalui bahasa ekspresi-simbolik visual laut, Ariel Ramadhan mengajak kita untuk memahami dunia, memahami diri kita sendiri, sekaligus memahami kompleksitas hidup yang tersembunyi di balik realitas.
Satu hal yang juga menarik adalah karya seri Ariel Ramadhan tentang laut yang dibuatnya dengan material pigment kopi di atas kertas khusus cat air berukuran A3, sebuah upaya manajemen seni yang cerdas karena dia berusaha mencari kesesuaian antara tema pamerannya dengan tempat berpameran, yakni Kopi BuJend yang beralamat di Jl. Dharmahusada Utara no. 11 Surabaya.
Pameran ini dibuka hari Minggu, 21 Desember 2025 dan berlangsung sampai 4 Januari 2026. Ariel tidak kehilangan kekuatan narasi karya-karyanya, meski pada saat yang sama hal ini mudah kita baca sebagai strategi merangkul pasar untuk karya-karya lukisnya.
Bukan pula hanya kebetulan jika judul pameran tunggalnya Ariel Ramadhan yang ke-7 ini hampir identik dengan judul novel karya Leila S. Chudori yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta pada tahun 2017, “Laut Bercerita” [3]. Novel ini yang telah diadaptasi ke dalam film pendek pada tahun 2017, dan sekarang sedang dalam proses produksi untuk diadaptasi menjadi film layar lebar yang dijadwalkan tayang di bioskop pada tahun 2026.
Film itu berkisah tentang persahabatan, cinta, keluarga, dan kehilangan para tokoh-tokohnya. Mengambil latar sosial kehidupan mahasiswa pada tahun 90-an dan 2000, membuat novel ini bisa membawa pembaca untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa di masa lalu sebagai bahan renungan untuk menjalani hidup saat ini dan yang akan datang.
Seperti kata William Faulkner: “The past is never dead. It’s not even past.” Dalam konteks yang luas, dapat dilihat sebagai sebuah peringatan tentang pentingnya memahami dan menghormati sejarah, serta mengakui bagaimana masa lalu dapat mempengaruhi kita dalam cara-cara yang tidak kita sadari. (*)
Gresik, 19 Desember 2025
Referensi:
[1]. Faulkner, W. 1951. Requiem for a Nun. New York: Random House.
[2]. Mohamad, Goenawan. 1992. Asmaradana. Gramedia Widiasarana Indonesia.
[3]. Chudori, Lela S. 2017. Laut Bercerita, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
*) Arik S. Wartono, Kurator, Pendiri dan Pembina Sanggar DAUN







