Oleh: Moh. Husen*
Saya terbiasa memanggilnya Mas Bin. Ada yang memanggilnya Lik Bin. Nama beliau Sidik Bintoro. Domisili desa Pengatigan, kecamatan Rogojampi. Beliau pemilik Banyuwangi 1 TV. Sosok yang bersahaja, suka diajak ngobrol ngolor-ngidul, dan ini yang penting: beliau senantiasa semangat dan menikmati saat melakukan sebuah liputan.
Beliau wartawan senior di Banyuwangi yang masih sering turun ke lapangan. Kalau pada suatu malam saya diterima begadang sampai jam 2 dini hari di cafe sebelah kantornya itu: bukan berarti saya termasuk “anak kemarin sore” yang punya privilage khusus. Melainkan Mas Bin memang rendah hati, menerima, menyapa, dan merangkul siapa saja.
Beliau tipe pekerja keras dan tidak rewel. Ada berita masuk jam berapapun jika tidak benar-benar sibuk, sering beliau kerjakan sendiri. Edit gambar sendiri. VO alias voice over narasi berita sendiri. Tentu beliau memiliki kru di masing-masing bidang itu. Tapi selama beliau bisa dan ada waktu, terkadang semuanya beliau lakukan sendiri.
Usai Maghrib, saya baru dapat info, beliau mendadak tidak sadar di rumahnya dan dibawa ke ruang IGD PKU Muhammadiyah Rogojampi, Minggu (6/10/2024). Saya datang ke sana. Bertemu rekan-rekan Banyuwangi 1 TV yang mengatakan beliau sudah sadar. Namun sekitar 30 menit kemudian, Mas Bin telah tiada untuk selamanya.
“Ya Allah, kematian memang pasti. Tapi kenapa Mas Bin harus secepat itu pergi,” demikian spontan batin ini berucap, sedih.
Segeralah kabar duka tersebut menyebar ke medsos, ke grup-grup WhatsApp, hingga ke grup WA yang aktif memperbincangkan Pilkada 2024 terpaksa harus jeda sejenak: ada yang mengucapkan belasungkawa, otw ke rumah duka dan doa-doa atas berpulangnya beliau di usia 51 tahun.
Kalau kita menengok berbagai macam pemilihan yang berlangsung secara demokratis, kita bisa merenung betapa sangat mungkin sampai kematian kita tiba, kita tidak pernah satu kali pun terpilih menjadi ketua ormas, anggota DPR, bupati, kepala desa, gubernur atau presiden.
Namun andai sepanjang hidup ini kita tidur saja, tak pernah kerja atau usaha apa-apa, hingga usia 100 tahun, kematian tetap pasti akan menghampiri kita. Kita belum tentu dilahirkan di muka bumi ini. Tetapi begitu kita dilahirkan, kepastian yang begitu pasti menimpa kita adalah kematian.
Kita sudah hafal kalimat yang lazim diucapkan di setiap musibah kematian: inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Kita milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Karena Allah yang memiliki kita, maka keadaan separah apapun belum tentu mampu mengambil nyawa kita.
Tapi begitu pemiliknya yakni Allah berkehendak mengambilnya, tak ada kuasa apapun yang bisa menghalangi kehendakNya. Demikianlah yang terjadi bila ajal kematian seseorang telah tiba: ia datang tepat waktu, tidak bisa dihalangi, ditunda, bahkan dimajukan barang sedetik pun.
Mas Bin, selamat berpulang. Engkau sahabat, guru, dan senior yang senantiasa terbuka dan baik kepada kami. Allahummaghfir lahu war hamhu, wa’afihi wa’fu anhu. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad. (*)
Banyuwangi, 13 Oktober 2024
*Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.
