Oleh Moh. Husen
Nama aslinya Joko Wiyono. Nama bekennya Joko Tama. Kalau dipanggil sebagai Joko Tama, dia sebenarnya bisa berkilah meniru Syekh Siti Jenar: “Maaf, tak ada Joko Tama. Yang ada Joko Wiyono.” Namun dia tergolong tertib administratif, sehingga tak pernah bergurau semacam itu.
Dalam dunia jurnalistik, kita mungkin pernah mendengar istilah names make news, yakni nama-nama orang tertentu yang membuat berita memiliki daya tarik. Biasanya mereka orang yang lagi populer dan melejit di publik. Mereka bisa seorang penyanyi, pejabat, artis, politisi, ustadz, dan lain-lain.
Gara-gara names make news ini, terkadang kita jengkel kepada media: mentang-mentang artis Anu lagi naik daun, ada peristiwa apa saja, artis Anu ini selalu diminta berkomentar. Ada bencana alam bukannya mencari BMKG sebagai narasumber yang kredibel, melainkan mengejar si artis Anu.
Lantas tayang dengan judul: “Begini Komentar Artis Anu Terkait Meletusnya Gunung Merapi.”
Kalau kita belok sedikit: biarpun pandai, tidak suka main sunat amplop alias tidak korup, hatinya tidak tega dengan kemiskinan masyarakat, serta memang layak menjadi pemimpin, namun bisa kalah–dalam sebuah pemilihan yang demokratis–dengan orang yang terkenal.
Media massa bisa tidak laku–kalau istilah online sekarang tidak di-klik–kalau sering menampilkan nama-nama tidak terkenal. Tidak peduli entah terkenal karena berani berpose seksi, berani jalan kaki Banyuwangi-Jakarta tanpa pakaian, asalkan karena itu dia terkenal, oplah rating klik media tersebut akan naik.
Meskipun perlu dicatat, names make news dalam media massa itu tidak mesti karena sensualitas belaka. Melainkan ada juga orang yang akhirnya “punya nama” karena memiliki kredibilitas, konsistensi, serta berbagai prestasi, inovasi dan pemikiran yang bermanfaat bagi masyarakat.
Satu hal lagi: karena media massa terkadang “menolak” nama yang tidak populer, maka kita bisa berkompromi “melawan” konsep names make news ini dengan cara pemikiran cerdas para hamba Allah itu bisa kita jadikan tokoh fiksi seperti dalam esai-esai para budayawan. Misalnya Emha Ainun Nadjib memiliki tokoh fiksi Markesot, Kiai Sudrun, Jon Pakir, dan lain-lain.
Adapun lakon saya Joko Wiyono ini bukan tokoh fiksi, meskipun bukan orang terkenal, bukan calon legislatif, bukan buronan KPK, bukan bintang film ternama, maka wajar jika banyak orang tidak mengenalnya. Andai dia seorang caleg, mungkin bisa agak terkenal sedikit.
Baliho atau flyernya akan menjadi barang perbincangan: foto siapa itu? Apakah dia pernah menyumbang masjid? Apa dia pernah menyantuni anak-anak yatim piatu? Apakah dia bermanfaat untuk masyarakat atau justru sampah masyarakat? Apakah dia pernah mbayari ngopi?
Dan, kalau berdasarkan teori names make news, maka saya harus siap-siap didamprat oleh Pemred saya: “Ngapain kamu nulis Joko Wiyono? Mending kamu nulis Ikke Nurjanah, Paramitha Rusady, Erie Susan atau Manchester United…”
Banyuwangi, 24 September 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







