Oleh Arik S. Wartono
Secara pribadi saya tidak ada masalah dengan Wahyu Nugroho, seniman Pasuruan, Jawa Timur yang dikenal telah menjadi motor penting perhelatan even seni rupa tahunan di Pasuruan, Gandeng Renteng.
Maka, tentu saya tidak ada sentimen pribadi, juga tendensi dalam kepentingan apa pun terhadap sosok beliau. Namun, dalam wacana hyper-abstract yang diusungnya, saya memantau banyak celah-cacat konseptual atas narasi yang diusungnya.
Pertama, dari sudut pandang etimologi. Kata ‘etimologi’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘etymon‘ (makna sebenarnya) dan ‘logos‘ (ilmu atau studi). Jadi, secara harfiah, etimologi berarti ilmu tentang asal-usul kata.
Etimologi adalah studi tentang asal-usul kata dan bagaimana maknanya berubah sepanjang sejarah. Secara lebih rinci, etimologi mempelajari asal-usul kata, bagaimana kata tersebut dibentuk, dan bagaimana maknanya berkembang dari waktu ke waktu.
Etimologi membantu kita memahami dari bahasa mana suatu kata berasal dan bagaimana kata tersebut masuk ke dalam bahasa lain. Etimologi juga mempelajari perubahan makna kata seiring berjalannya waktu. Makna suatu kata bisa saja bergeser atau bahkan mengalami perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu.
Memahami etimologi dapat membantu kita memahami makna kata dengan lebih mendalam, serta memahami sejarah dan perkembangan bahasa. Dalam konteks etimologi, narasi hyper-abstract yang diusung oleh Wahyu Nugroho nampaknya tidak memiliki cukup landasan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, epistemologi. Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan, termasuk sumber, metode, lingkup, dan validitasnya. Secara sederhana, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Epistemologi juga mempertanyakan bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui dan bagaimana kita bisa yakin tentang pengetahuan tersebut.
Lebih detailnya, epistemologi membahas tentang:
Sumber pengetahuan:
Dari mana pengetahuan berasal? Apakah dari pengalaman indra, akal budi, intuisi, atau wahyu?
Metode perolehan pengetahuan:
Bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan? Apakah melalui observasi, eksperimen, penalaran, atau cara lain?
Struktur pengetahuan:
Bagaimana pengetahuan tersusun dan terorganisir?
Validitas pengetahuan:
Bagaimana kita mengetahui bahwa pengetahuan yang kita miliki itu benar atau valid?
Dalam konteks wacana hyper-abstract yang diusung oleh Wahyu Nugroho, validitasnya layak diragukan.
Ketiga, sejarah seni abstrak khususnya seni lukis. Mengutip dari buku Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa (2004), sejarah perkembangan seni abstrak bermula dari Barat. Diperkirakan seni abstrak mulai dikenal di abad ke-19 di Eropa.
Kemudian pada awal abad ke-20, seni ini mulai berkembang cukup pesat di Amerika Serikat. Pada awal kemunculannya, seni abstrak berhasil memunculkan aliran seni baru di Barat, yang mana sebelumnya selalu berkutat pada aliran rasionalisme, empirisme, materialisme serta realisme.
Setelah seni abstrak makin dikenal, beberapa pelukis mulai beralih ke jenis seni ini. Para pelukis mulai merepresentasikan obyek nyata ke seni abstrak dengan mengutamakan warna simbolik dibanding warna alami.
Saat beralih ke seni abstrak, para pelukis di era itu mulai mengabaikan tiruan kenyataan atau obyek nyata alam dan lebih memilih membuat isyarat obyek tersebut. Para pelukis juga lebih mengutamakan gagasan mereka tentang karya seni yang akan dibuat, dibanding observasi.
Seni abstrak adalah salah satu jenis kesenian kontemporer yang tidak menggambarkan objek dalam dunia asli, tetapi menggunakan warna dan bentuk dalam cara non-representasional. Pada awal abad ke-20, istilah ini lebih digunakan untuk mendeskripsikan seni seperi kubisme, ekspresionisme abstrak, suprematisme, De Stijl, dan seni futuristik.
Tokoh penggeraknya yang paling terkenal: Wassily Kandinsky, Kazimir Malevich, kuga Piet Mondrian. Di Indonesia, dimotori terutama para pelukis “Blok Bandung”, seperti Ahmad Sadali, A.D. Pirous, Fadjar Sidik, dan Umi Dachlan, yang banyak disebut telah mengekplorasi seni ekspresionisme abstrak dalam karya-karyanya.
Kalau kita memeriksa kembali narasi hyper-abstract yang dinarasikan secara ngeyel oleh Wahyu Nugroho, jejak sejarahnya tidak akan ketemu. Sekarang mari kita bedah tentang garis besar wacana hyper-abstract yang diusung oleh Wahyu Nugroho
Hyper-Abstract dalam konteks seni lukis versi Wahyu Nugroho, merujuk pada gaya yang menggabungkan elemen abstraksi spontan dengan kontrol visual yang ketat dan eksplorasi teknis. Gaya ini melibatkan perpaduan antara bentuk organik yang tak terdefinisi dengan bentuk geometris tegas, menciptakan medan visual yang kaya dan kompleks.
Pertanyaan mendasar: Di mana hyper-nya, ketika memaksa dipertautkan dengan seni rupa abstrak?
Jika seni lukis abstrak disandingkan dengan kata ‘hyper‘ yang dimaknai sebagai ‘melampaui’ atau ‘ekstrem’, berikut beberapa seniman yang telah melakukan eksplorasi seni lukis abstrak yang bisa dikategorikan sebagai ‘ekstrem’, tapi kalau karya-karya mereka disebut hyper-abstract juga belum tentu.
- Jackson Pollock (Amerika): Dikenal dengan teknik dripping dan splashing cat, Pollock menciptakan karya-karya abstrak yang sangat ekspresif dan dinamis.
- Mark Rothko (Amerika): Meskipun tidak sepenuhnya hyper-abstract, Rothko dikenal dengan karya-karya abstraknya yang menggunakan bidang warna besar dan intens.
- Willem de Kooning (Belanda-Amerika): Sebagai salah satu pelopor ekspresionisme abstrak, de Kooning menciptakan karya-karya yang sangat ekspresif dan abstrak.
- Cy Twombly (Amerika): Twombly dikenal dengan karya-karya abstraknya yang menggunakan goresan-goresan seperti graffiti dan simbol-simbol yang tidak jelas.
- Gerhard Richter (Jerman): Richter dikenal dengan karya-karya abstraknya yang menggunakan teknik-teknik yang beragam, termasuk penggosokan dan pengaburan cat.
- Julie Mehretu (Etiopia-Amerika): Mehretu menciptakan karya-karya abstrak yang kompleks dan berlapis, menggunakan teknik-teknik seperti arsitektur dan grafiti.
Seniman-seniman ini dan banyak lainnya telah melakukan eksplorasi seni lukis abstrak ekstrem dan menciptakan karya-karya yang sangat unik dan inovatif. Apakah karya-karya mereka ini bisa dikategorikan hyper-abstract?
Kita ambil contoh Mark Rothko (Latvia: Markus Rotkovičs, Rusia: Марк Ротко; lahir Маркус Яковлевич Роткович, Marcus Yakovlevich Rothkowitz, September 1903 – 25 Februari 1970) adalah seorang pelukis dari Amerika keturunan Yahudi Rusia. Ia umumnya diidentifikasi sebagai abstrak ekspresionisme, meskipun Ia sendiri menolak label ini dan bahkan menolak klasifikasi sebagai “pelukis abstrak”. Dengan Jackson Pollock dan Willem de Kooning, ia adalah salah satu seniman Amerika yang paling terkenal pasca perang.
Meski Rothko ngeyel menolak karya-karyanya diidentifikasi sebagai seni lukis abstrak, tetap saja identifikasi oleh kurasi dunia seni lukis mengarah pada hal tersebut, dan apakah ini termasuk hyper-abstract?
Tawaran Solusi
Tentu tidak elok jika saya meyanggah narasi yang diusung oleh Wahyu Nugroho tanpa saya memberian tawaran solusi. Memeriksa detail wacana hyper-abstract-nya Wahyu Nugroho, dalam pengamatan saya justru lebih cocok jika karya-karya beliau diidentifikasi sebagai jenis karya lukis abstrak kontemplatif (contemplative-abstract).
Istilah abstrak-kontemplatif saya adopsi dari terminologi contemplative-photography atau yang lebih populer dengan istilah fotografi miksang. Miksang, berasal dari bahasa Nepal yang jika diterjemahkan berarti good eye. Ia diperkenalkan oleh dua orang fotografer yang berguru pada seorang bikshu bernama Chögyam Trungpa yang juga seorang seniman dharma art.
Miksang fotografi adalah pendekatan fotografi kontemplatif yang menekankan pada “melihat” dengan cara yang jernih dan tanpa filter, serta mengekspresikan pengalaman visual secara langsung melalui kamera. Ini bukan hanya tentang mengambil gambar, tetapi tentang menyelaraskan mata, pikiran, dan hati dalam menangkap esensi dari apa yang dilihat. Miksang, yang berarti “mata baik” dalam bahasa Tibet, mengajarkan untuk melihat dunia apa adanya, tanpa prasangka atau penilaian.
Fotografi Miksang didasarkan pada pengalaman visual autentik yang diungkapkan persis seperti yang terlihat,true to Life. Miksang adalah bentuk fotografi kontemplatif yang mengajak kita melihat dunia dengan cara baru. Dalam beberapa hal, Miksang tampak sangat sederhana, tetapi tidak selalu mudah.
Jika kita dapat memusatkan perhatian pikiran kita, kesadaran kita, pada indra penglihatan kita, kita akan melihat persepsi yang hidup dan memukau secara utuh dan menyeluruh, tanpa gangguan. Dan ketika itu terjadi, kita dapat terhubung dengan apa yang kita lihat secara mendalam dan intim.
Hal ini memerlukan ketenangan pikiran, kesabaran, dan keinginan untuk benar-benar melihat apa yang ada di sana, sehingga kita dapat memahami cara mengekspresikan apa yang kita lihat dengan kamera kita secara sederhana dan tepat.
Miksang adalah fotografi di mana kita menggunakan kamera untuk mengekspresikan persepsi visual kita persis seperti yang kita alami. Karena kita tahu bagaimana mempersiapkan diri untuk menerima persepsi ketika kita melihatnya, dan kita tahu bagaimana memahami dengan tepat apa yang telah kita lihat, kita pun tahu persis bagaimana mengekspresikannya dengan kamera kita. Gambar yang dihasilkan merupakan ekspresi persis dari mata, pikiran, dan hati kita saat terhubung dengan persepsi tersebut.
Pengamatan saya atas visual karya-karya lukis Wahyu Nugroho yang disebutnya dengan narasi hyper-abstract, justru lebih terhubung dengan narasi contemplative-photography atau fotografi Miksang, mulai dari pemahaman konsep detail indra penglihatan, persepsi yang hidup, sekaligus kesadaran atas kedalaman objek yang didekati secara intim oleh sang seniman. (*)
Malang, 4 Agustus 2025
*) Arik S. Wartono, Kurator seni rupa, Pendiri dan Pembina Sanggar DAUN







