Oleh Moh. Husen
Menurut seorang kawan, dalam pergaulan sehari-hari tidak semua orang memiliki tradisi pribadi untuk meminta maaf ketika ia bersalah kepada orang lain. Seorang kawan yang lain menulis dalam akun media sosialnya, bahwa sejak dulu ia tidak pernah malu meminta maaf duluan. Lebaran kali ini ia telah mengirim permintaan maaf kepada tiga ribuan nama dalam kontak ponselnya.
Ada lagi seorang kawan yang menyatakan, betapa beratnya menjadi manusia berakhlak. Siapa yang menjamin, bahwa hidup kita selama ini telah lulus menjadi manusia berakhlak? Apalagi berakhlak kepada orang kecil, tidak menyakiti hatinya, tidak menyerobot lahan rezekinya. Yang mungkin gampang “lulus” adalah berakhlak kepada atasan, pimpinan, dan “para raja” lainnya.
Maka, tatkala Idul Fitri tiba, ia pun bersimpuh: “Ya Allah, terimalah puasaku yang hanya sekadar lapar dan haus ini. Maafkan aku, Ya Allah, jika puasaku belum menyehatkan pikiranku serta perilakuku dalam kehidupan sehari-hari. Akhlakku buruk, puasaku pun buruk. Betapa celaka diriku jika Engkau nilai hidupku tanpa Engkau ampuni aku. Ampuni aku, Ya Allah, ampuni aku.”
Setelah melewati satu minggu lebaran, seseorang memberikan nasihat, bahwa mengucapkan ‘alhamdullilah’ di mulut itu ada waktunya. Kalau masih miskin dan demi bersyukur karena diberi nikmat hidup dan sehat, ‘alhamdulillah‘-nya di hati saja. Sebab, tak semua orang setuju dengan fakta: miskin dan kerja buruh kita hingga hari ini adalah proses menuju kaya esok hari.
Tentu banyak sekali catatan lebaran yang kita alami. Era internet memudahkan kita untuk membaca berbagai catatan lebaran, terutama membaca catatan kaum cerdik pandai, intelektual, serta para rohaniawan yang ide-idenya dibimbing Tuhan. Kalau dulu harus menunggu masuk koran atau tidak, masuk televisi atau tidak. Sekarang tinggal browsing di handphone kita masing-masing.
Betapa kita sesungguhnya berutang budi yang tak terkirakan kepada para penulis. Dari catatan mereka kita bisa tahu mengenai nasib buruh, perlunya demokrasi, pentingnya kritik, indahnya membaca Quran, pemimpin yang patut dicontoh, orang kelaparan, kejamnya ghibah, korban keadaan, takbiran kok musiknya koplo, protes jalanan, serta kekotoran dan kebodohan diri kita sendiri.
Dari catatan-catatan lebaran itu, yang menggelitik hati adalah, betapa celaka jika Tuhan benar-benar hanya menilai perilaku dan ibadah kita, tanpa mengampuni kita. Adakah di antara kita yang yakin, bahwa nilai perilaku dan ibadah kita pasti aman di hadapan Allah Yang Mahateliti tanpa ampunan-Nya?
Minal ‘aidin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.
Banyuwangi, 2 Mei 2023
*) Catatan kultural Moh. Husen, jurnalis RadarJatim.id, inggal di Rogojampi-Banyuwangi.






