Oleh Moh. Husen*
Bagi orang yang beranggapan, bahwa perbedaan pendapat tak seseram dengan sulitnya mencari makan atau pinjam uang, maka mau pemilu satu putaran atau dua putaran, tidaklah masalah. Namun, bagi yang tak tahan dengan argumen yang beragam di pemilu, ia pun berucap pilu: “Ya Allah, percepat satu putaran saja, agar riuh rendah perdebatan ini selesai.”
Meskipun pemilu 2024 telah usai pada 14 Februari lalu, namun perbincangan seputar pemilu dengan berbagai macam asumsi masih terus berjalan. Paling ramai di media sosial, terutama di TikTok, Twitter (X) dan YouTube. Termasuk di beberapa grup WhatsApp, ada yang nggak kuat dengan segala perdebatan, lantas keluar dari grup media sosial (medsos) ini.
Medsos memang membantu dengan cepat dan mudah berbagai sebaran informasi. Para tokoh dan orang-orang pandai tak usah menunggu diwawancarai awak media atau diajak masuk televisi. Kalau memang berani ngomong, bisa langsung tancap gas via medsos atau website pribadi mereka masing-masing yang bisa dilakukan di tempatnya seketika.
Saya sendiri rutin ngecek website atau channel YouTube tokoh tertentu. Hari ini mereka ngomong apa, menulis apa, dan seterusnya. Nampaknya televisi dan “koran online” sudah mereka tinggalkan, demi percepatan dan mempermudah publikasi informasi. Mereka tak harus terjebak macet dan terpaksa meninggalkan aktivitas pokok demi menuju stasiun televisi.
Pemilu telah berlalu. Proses rekapitulasi perolehan penghitungan suara sedang berjalan berjenjang dari kecamatan hingga ke KPU. Deretan dugaan temuan kecurangan juga ramai diperbincangkan dan siap dilaporkan. Mereka yang protes terkait dugaan kecurangan ini, berbeda dengan tak setuju hasil pemilu yang kelak dibacakan oleh KPU.
Setiap perjuangan akan menghasilkan dua kemungkinan, yakni gagal atau berhasil. Mental pejuang tak akan surut sebelum segala sesuatunya telah memasuki garis finish perjuangan. Nanti, kalau gagal ya gagal. Gagal itu tidak apa-apa. Apalagi gagal nyapres atau nyaleg. Mereka tetap akan mendapat apresiasi dan pujian bahwa mereka telah berjuang.
Yang susah adalah kegagalan wong cilik. Pokoknya, kalau mereka gagal bayar utang, gagal menebus ijazah anaknya, gagal memperbaiki atap rumahnya yang bocor, gagal cari pekerjaan, gagal dan gagal dan gagal, mereka tidak akan mendapatkan apresiasi perjuangan hidup sebagaimana perjuangan capres dan caleg.
Masih beruntung jika wong cilik mampu tidak gagal dalam berpartisipasi memilih pemimpin cukup dengan serangan fajar lima puluh ribu atau seratus ribu rupiah. Sedangkan “tetangga sebelah” harus terima cash ratusan juta rupiah terlebih dahulu untuk bersedia memilih pemimpin tanpa kriteria yang jelas, bahkan meskipun punya rekam jejak suka mencuri hak wong cilik.
Hari ini, Dahlan Iskan menulis Setelah Putaran di disway.id, pada paragraf akhir ia bertutur: “Rakyat pasti setuju Pilkada serentak maju ke September. Uang ceperan dari Pilpres dan Pileg sudah habis. Mereka perlu sumber uang politik yang lain lagi. Dari para calon kepala daerah.”
Dahlan menegaskan, bahwa rakyat tidak berdaya. Dan ia berkelakar: “Jangankan September, kalau perlu minggu depan. Bisa untuk sangu Ramadan.”
Banyuwangi, 23 Februari 2024
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







