SIDOARJO (RadarJatim.id) – Perseteruan atau konflik antar elite politik di Kabupaten Sidoarjo memasuki babak baru, khususnya hubungan antara Bupati Sidoarjo, H. Subandi, SH, M.Kn dengan Wakil Bupati (Wabup) Sidoarjo, Hj. Mimik Idayana.
“Ruang rekonsiliasi kian tertutup setelah perang pernyataan terbuka antara dua kubu menyeruak ke ruang publik,” kata Nanang Haromain pemerhati politik Sidoarjo saat menanggapi dinamika politik yang kembali memanas, Sabtu (8/11/2025).
Semakin memanasnya hubungan Bupati Subandi dengan Wabup Mimik Idayana setelah beredarnya kabar adanya pemeriksaan sejumlah pejabat di Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo pada Kamis (6/11/2025) lalu.
Namun, kabar itu segera dibantah langsung oleh Bupati Subandi dengan menyentil sejumlah pihak yang dianggap memperkeruh suasana. Dan, pernyataan inilah yang kemudian memicu reaksi balik dari kubu Wabup Mimik Idayana.
Nanang Haromain mengatakan bahwa publik sebenarnya sudah lama mengetahui adanya ketidakharmonisan diantara dua pimpinan daerah di Kabupaten Sidoarjo tersebut. Namun kali ini, situasinya berbeda.
“Kalau dulu hanya ramai di warung kopi (warkop, red), sekarang sudah jadi perang statement terbuka. Saling sindir, saling sentil,” katanya.
Nanang menilai bahwa fase ini semakin menutup peluang dialog dan memperkecil kemungkinan ‘rujuk politik’ antara dua orang yang disahkan sebagai pasangan Bupati-Wabup Sidoarjo periode 2025-2030 itu.
“Ibarat rumah tangga, ini sudah talak tiga,” ujar Nanang Haromain setengah berkelakar.
Meski demikian, Nanang Haromain mengajak publik Sidoarjo agar tidak tergesa-gesa menilai konflik dua orang pimpinan daerah ini secara negatif.
“Politik yang terlalu rukun juga berbahaya, biarlah sedikit panas. Dari situ publik bisa melihat siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang hanya sedang bermain peran,” terangnya.
Sebab, menurut Nanang Haromain bahwa persekongkolan justru tumbuh dari keakraban yang berlebihan.
“Kalau terlalu rukun, biasanya saling lindungi. Tidak ada yang mengawasi,” ujarnya.
Ditambahkan oleh Nanang Haromain bahwa situasi politik di Kabupaten Sidoarjo yang memanas seharusnya tidak langsung disebut krisis.
“Kadang kebenaran memang lahir dari pertengkaran. Justru ini tanda sistem masih hidup,” tambahnya.
Lebih jauh, Nanang menilai karakter masyarakat di Kabupaten Sidoarjo yang religius dan guyub juga punya sisi lain. Sangat sensitif terhadap dinamika kekuasaan.
“Dalam kultur seperti ini, konflik elite tidak berhenti diatas. Ia menjalar kebawah, keobrolan warga, bahkan kedunia maya,” terangnya.
Dari sinilah muncul istilah ‘Korut’ dan ‘Korsel’. pelabelan yang ia sebut sebagai ‘mekanisme psikologi sosial’ untuk menandai polarisasi yang berkembang.
“Fenomena ini bukan baru. Dulu kita punya istilah cebong–kampret, sekarang Sidoarjo punya versinya sendiri,” pungkasnya. (mams)







