Oleh ADRIONO
Sudah sepekan ini saya mencoba pola hidup baru, yaitu melakukan “pemadaman” handphone. Meniru kebijakan PLN, yang memadamkan listrik secara bergiliran, saya pun rutin mematikan sambungan seluler sejak pagi sampai siang hari.
Cara ini terpaksa saya lakukan, karena ada proyek penulisan buku yang harus kelar. Dikejar deadline, Cak. Apalagi jenis pekerjaan saya ini hanya terdiri atas dua pilihan: kalau tidak ‘mendadak’, ya ‘mendadak sekali.’
Ternyata ada enaknya “menulikan” telinga dan “menbutakan” mata barang sejenak dari dunia media sosial (Medsos). Ada nyamannya “membudegkan” diri, meski cuma setengah hari. Saya jadi bisa fokus bekerja. Kegiatan menulis menjadi lancar, karena tidak terinterupsi keisengan-keisengan kecil yang tanpa sengaja selalu saya lakukan.
Betapa tidak. Biasanya di saat bekerja, saya kerap tanpa sadar meraih hape. Lalu scroll-scroll, baca ini, baca itu, lihat meme, nonton video, lantas tergerak memberikkan komentar, pencet imoticon, atau kasih jempol.
Kadang tujuan saya mau mencari referensi atau mencari arti dari kata-kata sulit di Google. Tetapi, begitu membuka layar, yang ditengok malah grup What’sApp dan saya jadi lupa tujuan semula. Yang dicari apa, yang di-klik mana. Dan itu terjadi berulang kali.
Pada mulanya, hidup tanpa didampingi hape menyala rasanya memang tidak nyaman, agak tersiksa. Seperti ada yang hilang, dan khawatir jangan-jangan nanti ada yang mencari saya. Tangan jadi kikuk, persis seperti hari-hari pertama orang sedang mencoba berhenti merokok. Tapi saya berusaha bertahan dalam kondisi offline Medsos. Untungnya, jika saya butuh update data, masih bisa mengintip website lewat laptop.
Setengah hari tanpa direcoki dengan komunikasi daring (online) ternyata menjadi saat yang sangat berharga. Benar-benar waktu emas, my time. Buktinya, saya dapat mengerjakan pekerjaan dengan efektif dan banyak aktivitas tambahan dapat terselesaikan.
Saya memang merasa seperti mundur sekian puluh tahun ke belakang, ketika dunia belum begitu terkoneksi. Ketika kita masih leluasa menjadwal waktu berdasar program pribadi kita sendiri, bukan tergoda oleh ajakan ketemuan mendadak oleh teman dunia maya, dikendalikan permintaan klien yang tak kunjung habis, atau keasyikan chatting yang tidak penting.
Tentu ada risiko yang harus ditanggung. Satu dua kontak penting jadi lepas. Beberapa teman juga uring-uringan, “Angel temen golekane!” Koordinasi jadi sedikir terhambat. Juga kadang telat membaca unggahan yang diawali dengan kata “innalilahi”. Tak apa. Itu konsekuensi logis.
Agaknya pola seperti itu akan saya jalankan di hari-hari mendatang. Menurut saya, mencipta kebiasaan baru yang mempribadi itu perlu dicoba. Agar saya tetap dapat mengendarai sang waktu, bukan terus-terusan diburu waktu.
Memang tingkat ketergantungan dan kepentingan setiap orang terhadap koneksi jaringan tidaklah sama. Akan tetapi, menjaga kewarasan agar tidak sepenuhnya larut dalam dunia online perlu tetap dijaga. Sebab, kita ini spesies dunia nyata, bukan dunia maya, apalagi dunia lain. (*)






