KEDIRI (RadarJatim.id) – Keluhan terkait buruknya infrastruktur jalan di Kabupaten Kediri terus bermunculan. Di berbagai titik, warga bahkan terpaksa menanam pohon pisang, menaruh pot tanaman, hingga memasang rambu darurat seadanya, karena tak kunjung ada perbaikan dari pihak pemerintah.
Fenomena ini dianggap menjadi simbol ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap keselamatan warganya. Di sebelah Selatan MTsN 7 Kediri/JK Kencong, Kecamatan Kepung, misalnya, pohon pisang setinggi lebih dari dua meter berdiri tegak di tengah jalan berlubang.
Langkah serupa juga dilakukan oleh warga di Gang Lawu, Kelurahan/Kecamatan Pare, yang menaruh tanaman di tengah lubang besar agar pengendara tidak terperosok. Di Dusun Templek, Desa Darungan, Kecamatan Pare, warga juga menanam sebuah pohon pisang setinggi dua meter sebagai penanda jalan rusak.
Sementara di Jalan Cisadane, Desa Sumberbendo, Kecamatan Pare, warga memanfaatkan rambu lalu lintas resmi—yang seharusnya dipasang pemerintah—untuk menutup lubang jalan yang dinilai membahayakan.
Di Desa Siman, Kecamatan Kepung, kondisi jalan dibiarkan rusak tanpa satu pun tanda maupun peringatan, membuat pengendara harus mengandalkan insting saat melintas di malam hari. Keluhan juga datang dari Jalan Harinjing, Dusun Kepung Timur, Desa Kepung, yang kembali ditanami pohon pisang akibat rusaknya jalan yang tak kunjung diperbaiki.
Di wilayah Puncu, Jalan Semboja dari jembatan Sungai Serinjing hingga area pemakaman Puncu dibiarkan rusak tanpa penanganan. Begitu pula di Dusun Templek, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu, di sebelah Utara Balai Desa Gadungan, jalan berlubang dibiarkan tanpa tanda apa pun. Beberapa warga pun menggerutu.
“Kalau pemerintah tidak melihat, ya terpaksa dengan cara ini kami buat mereka melihat,” ungkap warga, Selasa (2/12/2025).
Adanya fenomena ini membuat sebagian besar warga di Kabupaten Kediri menjadi geram dan kecewa. Sejumlah warga saat didtemui menyampaikan kekecewaan mereka. Salah satu warga di Kecamatan Kepung menuturkan:
“Kami sudah bosan lapor. Jalan ini rusak bertahun-tahun. Kalau menanam pisang saja baru bisa membuat pemerintah sadar, ya terpaksa kami lakukan. Lebih baik ditanami daripada ada korban”.
Warga di Pare juga mengeluhkan minimnya respons:
“Setiap hari ada yang hampir jatuh. Daripada menunggu korban, kami taruh tanaman. Itu pun bukan solusi, tapi minimal orang melambat,”.
Sementara warga Puncu menyayangkan sikap pemerintah:
“Padahal pajak kami dipungut terus. Tapi jalan ke rumah kami saja tidak diurus. Pemerintah ini kerja apa sebenarnya?”.
Fenomena penanaman pohon pisang di jalan rusak seharusnya menjadi alarm keras bagi Pemerintah Kabupaten Kediri. Jika warga sampai menggunakan cara-cara simbolis dan satire seperti itu, berarti ruang pengaduan, laporan, dan permohonan perbaikan sudah dianggap tidak efektif.
Bukan hanya estetika yang dipertaruhkan, tetapi keselamatan. Jalan-jalan rusak itu dilalui pelajar, pekerja, ibu-ibu, hingga jamaah dari berbagai daerah. Sudah saatnya pemerintah berhenti memberikan janji dan mulai bergerak. Infrastruktur bukan sekadar proyek, tetapi bukti hadirnya negara di tengah masyarakat.
Bila warga sudah berulang kali memberikan sinyal, menggunakan tanaman sekalipun sebagai tanda bahaya, namun tak juga direspons, maka wajar jika muncul dugaan bahwa pemerintah justru memilih diam. (rul)







