Oleh M. ISA ANSORI
Tak disangka, sejak mewabah dan akhirnya dinyatakan sebagai pandemi, virus corona (Covid-19) praktis menghentikan berbagai aktivitas yang biasanya berjalan secara langsung dan normal. Seluruh aktivitas layanan pemerintahan nyaris berhenti dan stagnan. Tak terkecuali di dunia pendidikan. Ujian nasional sebagai “ritual tahunan” pendidikan yang sering memantik perdebatan pun kena imbasnya dan tahun ini ditiadakan.
Mulailah dunia pendidikan di negeri ini dibiasakan dengan proses belajar secara dalam jaringan (daring/online) melalui internet, tanpa harus bertatap muka secara langsung. Proses belajar pun berjalan secara tertatih-tatih. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dengan gagahnya membanggakan sistem ini dengan mengatakan, pembelajaran jarak jauh melalui internet akan diperpanjang, bahkan berpeluang dipermanenkan. Bahkan tak kurang sejumlah pegiat sekolah dan aktivis pendidikan secara “genit” mengklaim, atas nama kesehatan, anak-anak lebih baik dan harus tetap belajar di rumah melalui internet.
Saya menyadari, kesehatan merupakan hal penting. Tetapi, pendidikan juga merupakan sesuatu yang tak kalah pentingnya. Sebab, dari “rahim” pendidikan itulah akan muncul kesadaran peserta didik akan pentingnya kesehatan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun kita lupa, bahwa pendidikan tidak sekadar sebuah proses transfer of knowledge.
Pendidikan merupakan proses perubahan perilaku dan membangun kesadaran, dimulai dari kesadaran akan sebuah kebenaran pengetahuan, dilanjutkan menuju kesadaran kebenaran dalam laku. Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai sebuah tindakan: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani.
Di masa pandemi Covid-19, ketika para pihak mendewakan pentingnya kesehatan dan menolak proses bertemu langsung dalam proses pendidikan, teknologi dan internet menjadi sebuah keniscayaan dan pembenar, bahwa pendidikan tidak harus berlangsung di sekolah Pendidikan bisa dilaksanakan di rumah dengan menggunakan jaringan internet.
Para “pemuja” deschoolling dan homeschooling mendapatkan pembenar, bahwa sekolah dan persekolahan sudah ambruk. Sekolah tak bisa lagi dianggap satu-satunya cara mencerdaskan anak atau peserta didik. Saya sependapat, bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar. Ada tanggung jawab lain sebagai tempat belajar, yaitu rumah dan orang tua. Memang orang tualah madrasah utama dalam proses pendidikan anak.
Lalu apakah dengan begitu pendidikan jarak jauh melalui jaringan internet mampu mengemban amanah pendidikan secara utuh, tidak hanya sekadar transfer of knowledge, tapi juga transfer of behavior?
Faktanya, pendidikan kita ternyata belum siap dilakukan dengan jarak jauh melalui internet. Ketika dipaksakan, justru kegaduhan yang muncul. Anak-anak tidak hanya mengalami kejenuhan, tapi mereka juga tidak mendapatkan pengalaman dan sentuhan belajar dari gurunya, apalagi orang tuanya. Terlebih jika anak-anak yang berasal dari kelompok berkebutuan khusus, baik itu secara ekonomi, pendidikan orang tua atau kekhususan secara mental dan fisik. Lengkaplah sudah anak-anak menjadi korban. Mereka tidak mendapatkan pengawasan secara langsung dari guru dan bahkan orang tua dalam proses belajar.
Kini, mereka lebih menjadi “anak kandung” lingkungan di luar sekolah dan rumah. Tentu kita tidak akan khawatir jika lingkungannya baik. Tetapi, kalau lingkungan melingkupi mereka tidak baik, maka yang terjadi adalah secara fisik mungkin sehat, namun secara sosial dan moral akan menjadi lebih berbahaya dibanding bahaya Covid-19 itu sendiri.
Pendidikan jarak jauh yang diprogramkan oleh pemerintah pun kini makin menjauh dari nilai nilai dan ruh pendidikan. Anak-anak tak mendapatkan pendampingan secara maksimal. Anak-anak lebih banyak“diasuh” oleh lingkungan yang tak terkontrol. Kini anak-anak pun lebih banyak belajar di warung-warung kopi dan kafe-kafe yang menyediakan jaringan internet. Pertanyaannya, apakah warung dan kafe itu ketika dikunjungi anak-anak untuk belajar, pengelolanya juga menyediakan pendampingan? Apakah ketentuan protokol kesehatan juga diterapkan?
Lalu masihkah kita tetap bertahan dengan sekolah diliburkan dan tetap belajar daring jarak jauh dengan membiarkan anak-anak di tempat-tempat publik yang tidak terkontrol? Saatnya kita merenung dengan nalar yang bijak dan sehat. Lebih penting mana meliburkan dan membiarkan anak-anak berada di warung dan kafe, belajar atas nama daring dan kesehatan, tapi tidak terkontrol protokol kesehatan dan pengaruh sosialnya. Ataukah sekolah diaktifkan kembali dengan protokol kesehatan dan anak-anak mendapat sentuhan pembelajaran dari gurunya langsung serta pengawasan orang tua.
Jangan biarkan anak-anak kita menjadi korban dari sebuah proses yang menjauhkan mereka dari guru atas nama kesehatan. Sekolah penting, kesehatan juga penting. Lebih penting lagi adalah sekolah sehat dan protokol kesehatan dijalankan. (*)
*) Penulis adalah dosen, Pegiat Sosial Kemasyarakatan di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim dan Keluarga Besar Rakyat Surabaya (KBRS).







