SIDOARJO (Radar Jatim.id) — Sejak diterapkan sebagai SRG (Sekolah Responsif Gender) di SDN Durungbedug Kec. Candi Sidoarjo, banyak sekali mengalami perubahan. Bahkan sudah melakukan setiap hari, namun tidak tahu kalau perbuatan tersebut adalah gender. Tapi yang paling terasa perubahannya adalah sangat meminimalisir bullying.
SDN Durungbedug Candi Sidoarjo telah masuk dalam program 10 Pilot Project PSGPA (Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak) yang diselanggarakan oleh INOVASI (Inovasi Anak Untuk Sekolah Indonesia) dan Umsida (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo).
Itulah ungkapan Kepala SDN Durungbedug Kec. Candi Sidoarjo Titin Kusminarsih, S.Pd saat ditemui di sekolahnya pada (16/12/2022) pagi. Disamping itu, Ia juga menuturkan kalau kamar mandi yang dipisah-pisah selama ini masih biasa-biasa saja, setelah ada SRG anak-anak baru tahu kalau itu gender, dan ternyata sudah dijalani. “Termasuk juga di sarpras UKS tahunya hanya diberikan obat-obatan pertolongan pertama pada kecelakaan saja. Setelah mengikuti gender, kami tambahi dengan perlengkapan yang tidak memojokkan anak-anak perempuan saat mengalami menstruasi,” tuturnya.
Kami juga membuat, menempelkan slogan-slogan yang terpasang di beberapa tempat, dinding ataupun taman-taman yang isinya adalah tentang antisipasi terhadap penyimpangan gender. Diantaranya cegah marginalisasi dan gaungkan gender. “Untuk gurunya, waktu mengajar hanya menerapkan kurikulum saja, tetapi sekarang setelah ada gender kurikulum itu diramu sedemikian rupa, sehingga gender pun masuk didalamnya, yang dimasukan dalam materi pembelajaran,” jelasnya.
Padahal sebelumnya gender itu oleh guru-gurunya dianggap emansipasi wanita saja, gender itu tidak hanya memojokkan wanita saja ternyata bisa memojokkan laki-laki juga, karena strata ekonomi siswa. “Atau mungkin karena ras dan suku. Mereka selama ini pernah membedakan suku, yang suku A harus ini, yang suku B itu. Nah… dengan ada gender sekarang sudah membauh. Bullying yang seperti itu sudah minim sekali, bahkan sudah tidak ada,” tegas Bu_Titin sapaan akrabnya.

Jadi program SRG itu sangat meminimalisir adanya bullying dan sebagainya. Karena kami sekolah di desa, siswanya juga banyak dari pribumi, yang non pribumi juga masih ada. “Program SRG ini manfaatnya sangat banyak sekali. Termasuk RKS kami sebagian diarahkan untuk program SRG ternyata juga sangat bagus, diantaranya sarana perlengkapan kamar mandi,” urai Bu Titin.
Sementara dari pihak sekolah yang telah mengikuti pelatihan SRG adalah guru kelas rendah dua orang, guru kelas tinggi dua orang, bendahara dan kepala sekolah. Setelah itu kami sosialisasikan kepada yang lain, termasuk guru agama. Karena SRG ini kalau diterapkan betul, maka pembinaan akhlak ke anak tambah masuk. Begitu juga untuk kesehatan, maka guru olah raga juga harus mengetahuinya. “Jadi perubahannya sangat signifikan, makanya saya berharap tetap dilanjutkan,” harapnya.
Dengan banyaknya kebermanfaatan dalam program SRG, akhirnya kami juga menurunkan beberapa kebijakan, diantaranya tentang anti bullying, juga meramu membuat RPP mengarah ke gender dengan demikian respon para guru-gurunya juga sangat bagus sekali. “Begitu juga siswa yang sebelumnya tidak mengerti gender, sekarang sudah mulai mengerti. Kami sudah beritahukan waktu upacara dan dilanjutkan oleh para guru-gurunya di dalam kelas,” terang Bu Titin.
Di sisi lain orang tua juga sangat mendukung dengan program gender ini. Pernah waktu rapat-rapat juga kami sampaikan. Kedepan kami akan mengadakan semacam gathering kepada orang tua untuk masalah gender. “Sementara ini kendala-kendalanya hanya pada sarana dan prasarana saja. Termasuk tempat tidur di UKS, perbaikan kamar mandi dan mushola. Termasuk juga harus rajin-rajin menggerakkan para gurunya. Kalau gurunya bagus, disiplinnya bagus akan berimbas kepada siswa,” ujar Bu Titin.(mad)







