Oleh Andhika Wahyudiono*
Belum lama ini, Ma’had Al-Zaytun, sebuah lembaga pendidikan ternama di Indramayu, Jawa Barat, menjadi sorotan karena ajaran-ajaran kontroversial yang diterapkan di dalamnya. Hingga kini pesantren itu masih ramai diperbincangkan publik.
Beberapa penyimpangan dari ajaran Islam terjadi di ma’had tersebut, di antaranya penyusunan shaf dalam Sholat Idul Fitri tanpa memperhatikan jarak antar-shaf dan mencampurkan antara wanita dan pria dalam satu shaf. Selain itu, ada klaim mengenai mengikuti madzhab Bung Karno, praktik salam dan nyanyian lagu Yahudi, keyakinan bahwa haji dapat dilaksanakan di Indramayu, dan pandangan. bahwa dosa dapat ditebus dengan harta atau uang.
Penyimpangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam yang seharusnya diikuti. Contoh pertama adalah penyimpangan dalam sholat dengan mencampurkan shaf pria dan wanita, padahal Islam memiliki ketentuan pemisahan yang jelas. Klaim mengenai adopsi madzhab Bung
Karno juga tidak relevan, karena Bung Karno bukanlah tokoh agama.
Selanjutnya, pandangan bahwa haji dapat dilaksanakan di Indramayu, bertentangan dengan keyakinan umat Islam yang menganggap Makkah sebagai tempat suci dan pusat ibadah haji yang harus diikuti dengan tata
cara yang telah ditetapkan.
Semua penyimpangan tersebut melenceng dari ajaran agama Islam dan syariat yang seharusnya diikuti. Oleh karena itu, perlu diwaspadai dan dipertimbangkan agar ajaran-ajaran yang benar dan sesuai dengan agama Islam yang otentik tetap dijunjung tinggi.
Sebelumnya, sekitar 1.400 tahun yang lalu, Rasulullah Muhammad SAW menerima wahyu dan risalah dari Allah SWT melalui malaikat Jibril di gua Hira. Wahyu ini kemudian dicatat dalam Al-Quran, yang berfungsi sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya, yang diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya. Nabi Muhammad diakui sebagai nabi terakhir dan
penutup para nabi, sehingga tidak diperbolehkan untuk merevisi, mengubah, atau mencampuradukkan ajaran ini, seperti yang terjadi di pondok pesantren Al-Zaytun.
Perbedaan dalam Islam terutama berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi ajaran, bukan dalam ajaran itu sendiri. Mayoritas umat Islam di dunia mengikuti salah satu dari empat madzhab terkenal,
yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, dengan mengambil pandangan mereka berdasarkan Al-Quran, sunah nabi, Ijma’, dan qiyas.
Dalam penafsiran ayat atau pandangan tertentu, penting untuk mempertimbangkan sejarah, konteks historis, penafsiran ulama, dan penggunaan ayat dalam Al-Quran secara keseluruhan. Merujuk kepada ulama, ahli tafsir, atau sumber otoritatif lainnya direkomendasikan
untuk memahami ayat atau pandangan tersebut dengan lebih mendalam.
Dalam pelaksanaan ibadah, seperti sholat, ada pedoman dan anjuran terkait penyusunan shaf bagi laki-laki dan perempuan. Pada shaf laki-laki, disarankan untuk menyusun shaf yang paling awal (depan). Sedangkan pada shaf perempuan, disarankan untuk menyusun shaf yang paling
akhir (belakang).
Namun, penting untuk dicatat, bahwa ayat ini tidak secara khusus ditujukan untuk sholat. Madzhab merujuk pada metode dan pemikiran imam mujtahid dalam menetapkan hukum berdasarkan Al-Quran dan hadis. Madzhab juga mencakup fatwa atau pendapat imam mujtahid
terkait hukum dalam situasi tertentu.
Klaim, bahwa Bung Karno memiliki madzhab sendiri adalah fitnah dan kebohongan, serta melanggar prinsip kejujuran. Sementara terkait haji dan umrah, sudah jelas disebutkan, bahwa ibadah harus dilaksanakan
di tanah suci, yaitu Makkah dan Madinah. Tidak ada ulama yang membantah hal ini.
Klaim, bahwa haji dapat dilaksanakan di tempat lain bertentangan dengan prinsip-prinsip ushul fiqh yang disepakati oleh para ulama. Di Indonesia, terjadi perkembangan dinamis dalam mazhab-mazhab dan sekte-sekte.
Dinamika ini tidak hanya terbatas pada diskusi akademik, tetapi juga sudah tecermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Mayoritas umat Islam di Indonesia mengikuti mazhab Sunni,
terutama mazhab Syafi’i. Syeikh Zaitun, yang merupakan pengasuh pondok Al-Zaytun, telah melakukan beberapa reformasi dalam acara keagamaan yang kontroversial.
Mereka melaksanakan sholat Id dengan susunan shaf yang longgar dan mencampurkan antara perempuan dan laki-laki. Selain itu, mereka juga mengundang beberapa orang non-Muslim untuk berjamaah dalam sholat dengan alasan membangun toleransi antarumat beragama. Tindakan ini juga disertai dengan pelaksanaan sholat Jumat dengan khatib perempuan dan kegiatan-kegiatan lain yang kontroversial.
Mereka menisbatkan ajaran-ajaran ini pada Bung Karno, padahal beliau sendiri tidak pernah mengajarkannya. Tindakan ini dapat dianggap sebagai nisbat palsu atau penggunaan nama seseorang untuk menyebarkan kebohongan, dan dapat memiliki implikasi hukum.
Ajaran dan praktik yang dilakukan oleh pondok pesantren ini menunjukkan beberapa hal menarik. Terlihat keinginan mereka untuk melakukan protes terhadap ajaran Islam yang ada, mirip dengan apa yang dilakukan oleh Martin Luther dalam agama Kristen Katolik.
Mungkin Syeikh Zaitun merasa tidak puas dengan ajaran Islam yang ada, terutama dalam hal perempuan, seperti warisan, susunan shaf dalam sholat, hak berkhotbah, dan sebagainya. Namun, ajaran Islam sebenarnya memiliki landasan yang logis, seperti risiko daya tarik seksual dalam khutbah perempuan.
Dari sini, terlihat adanya kelemahan dalam logika gerakan ini.
Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ajaran yang diterapkan di Ma’had Al-Zaytun jelas berada di luar konteks ajaran agama Islam yang sebenarnya. Islam tidak pernah mengajarkan hal-hal tersebut, karena bertentangan dengan syariat Islam.
Terdapat banyak penyimpangan dalam ajaran di Ma’had Al-Zaytun, mulai dari mencampurkan shaf antara wanita dan pria, menganut paham Bung Karno, menjalankan ibadah haji di Indramayu, dan sebagainya. {*}
*) Andhika Wahyudiono, dosen UNTAG Banyuwangi, Jawa Timur.







