SURABAYA (RadarJatim.id) – Tak banyak orang tahu, Surabaya memiliki pasar eksklusif yang menjual keris dan barang pusaka tradisional. Perajin dan penempa keris pusaka asal Kota Pahlawan ini kini bertahan dalam keterbatasan mereka di tempat penampungan sementara Pasar Turi.
Dengan kondisi seadanya, sejumlah pengrajin pusaka ini masih bertahan di tengah gempuran produk-produk impor dari Asia. Pedagang-pedagang
kecil ini berusaha mempertahankan eksistensi dari produk budaya di tengah riuh ramainya pasar modern, mall, plaza dan lain-lain.
Belasan orang yang terdiri dari perajin dan penjual keris ini bertahan dalam lapak berjualan sederhana bahkan serba terbatas. Keberadaan kios jualan mereka terhimpit oleh tinggi megahnya bangunan mall di sebelahnya. Tak mudah menemukan mereka. Untuk menuju ketempat itu harus memasuki gang kecil dekat bangunan Pasar Turi Baru.
Letaknya tersembunyi. Lapak mereka berjejer di pinggir jalan. Anda harus masuk dulu ke sebuah jalan kecil, tepatnya samping rel kereta api atau jomplangan sepur Pasar Turi lawas. Depan gedung PGS (Pusat Grosir Surabaya). Gang itu hanya bisa dilalui satu mobil saja. Jalannya pun masih berupa tanah.
Tak lebih dari 10 kios yang masih bertahan di sana. Jauh dari kesan mewah. Bentuk bangunan semi permanen yang dibuat seadanya. Saat hujan datang, seringkali air masuk ke dalam kios lewat atap yang bolong. Air terocohan bahkan tak jarang membasahi keris-keris yang dipajang. Akibatnya, tak jarang keris lebih dulu rusak sebelum terjual.
Sejak kebakaran besar yang melahap Pasar Turi 2007 silam, mereka menempati tempat penampungan sementara yang serba terbatas. Mereka para pedagang pun berjuang sendiri mendirikan dan mempertahankan lapaknya.
Tidak ada kesan mewah. Bangunan rata-rata berbahan kayu dan triplek. Etalase kaca pun tak banyak, keris lebih sering di pajang di atas meja kayu buatan tangan mereka. Bahkan, papan nama toko cukup tulisan dengan cat semprot philox hitam. Tak ada neon box. Nama toko bisa terbaca saja sudah cukup.
Beberapa pedagang meletakkan alat pande di depan kios mereka agar pembeli bisa melihat langsung proses pembuatannya. Di lain soal lahan yang terbatas, mereka juga berharap cara ini bisa menarik minat pengunjung. Meski masih bisa berproduksi, namun mereka bersusah payah dengan fasilitas seadanya. Waktu untuk produksi pun tak bisa menentu.
Empu Handy, salah satu perajin keris mengatakan, selama
ini dirinya hanya berjuang untuk mempertahankan warisan leluhur mereka. Beberapa tahun ini, demi memproduksi keris, mereka harus bersusah payah dan berjuang sendirian dalam semua keterbatasan.
Salah satu misalnya, dari ketersediaan air yang cukup untuk melakukan proses pande atau menempa besi. “Seringkali harus beli air jerikenan. beli jerikenan kan juga nggak murah, dan perlu air yang cukup,” ujar Empu Handy.
Handy mengakui, kiosnya maupun pedagang lain tak lagi seramai dulu. Namun, demi bertahan hidup dan kewajiban mewarisi kemampuan dari orang tua dia enggan menyerah. Meskipun kiosnya makin sepi pembeli, dia terus bertahan. Bahkan ironisnya, lanjut Handy dalam waktu setahun pun belum tentu bisa laku satu buah kerisnya.
Padahal, menurut Empu Handy, keris yang ia jual harganya bervariasi. Mulai dari Rp 150 ribu hingga puluhan juta. Dia juga membuat pusaka lainnya, ada parang, golok dan senjata tradisional lokal.
“Kami berusaha bertahan meski kondisi tidak memungkinkan. Ada satu hal yang selalu kami pegang, yakni amanat keluarga untuk terus melestarikan warisan budaya. Tapi semoga kami mendapat sedikit perhatian pihak pemerintah, terutama soal fasilitas dan kelayakan kios kami agar seperti dulu lagi,”ungkapnya.
Lanjut Handy, kondisi saat ini jauh berbeda dengan kondisi sebelum kebakaran. Dahulu, peminat datang dari berbagai wilayah. Tak jarang para pedagang silih berganti melayani pesanan ekspor ke luar negeri untuk memenuhi permintaan konsumen. Namun, setelah kebakaran hebat meluluhlantakan Pasar Turi kiosnya ikut amblas.
“Sejak kepindahan kios, omset turun drastis, pedagang tak lagi diuntungkan. Bahkan, dulu dari 50 orang yang pedagang (keris dan pusaka), kini hanya bertahan beberapa saja,” cerita dia.
Sidak, Wakil Ketua DPRD Surabaya Ikut Prihatin
Wakil Ketua DPRD Surabaya, A.H Thony turut prihatin setelah menyaksikan kondisi para pedagang Pasar Turi, khususnya kelompok perajin keris dan pusaka. Dia menyayangkan, puluhan tahun tidak ada keperdulian dari Pemerintah kota Surabaya, hingga pedagang ini harus bertahan di dalam keterbatasan. Padahal, para perajin ini juga berjuang dan menjaga kepedulian mereka demi menguri-uri budaya lokal yang mulai tergeser ini.
“Mereka merupakan pedagang terdampak kebakaran Pasar Turi 2007 lalu. Kini, mereka menempati kios yang dibangun sendiri di daerah tersebut. Belum ada perhatian serius pada kelompok perajin dan pedagang benda pusaka ini,” ujar AH Thony pada RadarJatim.id, Sabtu (24/10/2020).
Menurut Thony, keris dan benda pusaka merupakan aset budaya bangsa. Selebihnya, keberadaan pengrajin keris di Surabaya seharusnya bisa lebih diapresiasi. Apalagi di saat mereka bertahan meski terseok-seok di penampungan Pasar Turi Surabaya.
“Kebanyakan keris didatangkan dari Jawa Tengah. Padahal, kan kita lihat sekarang di Surabaya juga ada pengrajinnya. Buatan mereka tak kalah baik juga. Sayang mereka ini luput dari sorotan dan perhatian Pemerintah. Jika terus dibiarkan, keris buatan asli Surabaya bisa-bisa lenyap,”ujar politisi Partai Gerindra ini.
Thony mengapresiasi para pengrajin keris ini punya tekad kuat berjuang meski tanpa bantuan pihak lain. Dia meminta Pemkot Surabaya hadir mendampingi para pengrajin bisa bangkit. Salah satu pekerjaan ialah, merevitalisasi segera lapak pedagang Pasar Turi yang menempati penampungan agar bisa berproduksi dengan baik.
“Ini artinya, pemerintah tidak hadir di tengah upaya intuk melestarikan
kebudayaan lokal. Padahal, kami semua mengharapkan perhatian dari
pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Thony, Pemkot Surabaya bisa sekaligus menggandeng para perajin ini untuk melestarikan budaya lokal. Pemkot bisa memberi dukungan dengan menyediakan galeri ataupun workshop untuk pande keris yang lebih layak. Sehingga pembeli bisa lebih mudah untuk melihat produk-produk tersebut.
“Alangkah indahnya, jika area tersebut direvitalisasi dan dijadikan sentra kebudayaan, maka pengrajin keris bisa menjaga eksistensinya,” ujarnya. (Phaksy/Red)







