KEDIRI (RadarJatim.id) — Ratusan warga di Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menolak penetapan lahan fasilitas sosial (fasos) di wilayah yang selama ini digarap para petani. Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Tani Puncu Makmur (PTPM) itu menyuarakan aksi di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kediri, Kamis (28/8/2024).
Perwakilan dari Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Gerakan Masyarakat Kehutanan Sosial Indonesia, Jawa Timur, Jihad Kusumawan, mengatakan, lokasi fasos yang dipatok pemerintah tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Ia menyampaikan, bahwa lahan yang dipatok pemerintah saat ini berada di kebun G3536.
Padahal seharusnya, lahan tersebut berada di area Cengkehan, sesuai hasil redistribusi tanah (redis) tahun 2024 dengan luas 60 hektare.
“Ini sudah termasuk menyalahi prosedur. Kan kesepakatan awalnya 60 hektare untuk rakyat, sisanya untuk fasos. Bukan malah kebalikannya,” jelas Jihad.
Menurutnya, lahan tersebut sebelumnya termasuk tanah hak guna usaha (HGU) yang dikelola PT Mangli Dian Perkasa. Namun, sejak 2020 izinnya habis dan tidak diperpanjang masa kontraknya hingga batas akhir 2022.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 Pasal 14-15, jika tidak ada pengajuan perpanjangan dua tahun sebelum atau sesudah masa berlaku, maka tanah tersebut secara otomatis menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
“Kalau HGU sudah habis dan tidak diperpanjang, otomatis tanah kembali menjadi tanah negara bebas dan bisa didistribusikan untuk rakyat. Apalagi, petani di sini sudah lama menggarap sebelum izin HGU berakhir,” tambahnya.
Warga mengaku kecewa karena penetapan lokasi fasos dilakukan tanpa sosialisasi. Bahkan diketahui, saat pematokan, lahan masih ditanami jagung, cabai, dan nanas oleh para petani.
Sunarto, Dewan Penasihat Paguyuban Tani Puncu Makmur, menilai, langkah pemerintah tidak adil karena justru merugikan rakyat kecil.
“Negara harusnya memberikan lahan kepada rakyat miskin yang tidak punya tanah, bukan merampas lahan garapan petani untuk dijadikan aset desa,” kata Sunarto, seraya menambahkan, wilayah tersebut rawan bencana longsor jika lahan produktif dialihfungsikan.
Aksi ini digelar oleh petani Puncu. Mereka menegaskan akan terus menolak pematokan lahan di luar kesepakatan dan mendesak BPN, serta Pemkab Kediri mengembalikan lokasi fasilitas sosial (fasos) ke titik awal. Jika tuntutan tak dipenuhi, warga siap menggelar aksi lanjutan dengan massa lebih besar.
Penolak penetapan lahan fasilitas sosial (fasos) dari warga di Kecamatan Puncu itu, direspon baik oleh pihak BPN/ATR Kabupaten Kediri. Mereka diajak bermediasi di kantor BPN/ATR untuk mencari jalan tengah atas permasalahan itu.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri, Junaedi Hutasoit, menjelaskan, bahwa persoalan ini muncul akibat kesalahpahaman data. Awalnya, pihak BPN/ATR menerima surat bahwa masyarakat Puncu menolak pengukuran fassos yang dimohon pemerintah daerah. Namun setelah klarifikasi, ternyata mereka tidak menolak pengukuran atau sertifikasi.
“Mereka hanya menilai ada lokasi yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal di Tahun 2020 lalu,” terang Junaedi usai mediasi.
Menurut Junaedi, warga keberatan dengan posisi salah satu blok fassos yang dinilai tidak berada di lokasi seharusnya. Pihaknya pun meminta masyarakat menyiapkan dokumen pendukung sebagai bahan pertimbangan.
“Minggu depan kami tunggu peta dari masyarakat. Akan kami bandingkan dengan data pemerintah. Kalau ada kekeliruan, pasti kami koreksi,” tegasnya.
Dalam pertemuan itu, BPN juga memaparkan data fasos yang dimaksud, termasuk lahan makam, jalan, saluran, dan aset pertanian daerah. Namun warga mengklaim, posisi tertentu tidak sesuai dengan semestinya. Mediasi lanjutan akan dilakukan setelah dokumen pembanding diterima. (rul)







