Oleh : Sila Basuki SH. MBA.
(Bhoemipoetera Bangkit)
Seorang redaktur progam radio FM di Surabaya bertanya kepada saya : “Gimana prediksi Pilkada Surabaya ; siapa yang bakal menang ?!”. Spontan saya jawab : “Yang menang adalah para penjudi dan investor”. Lhooo kok ?! ..
Ya. Gimana tidak ? Lha wong sudah bukan rahasia lagi. Hampir pasti, setiap pilpres, pilgub, pilwali, pilbup bahkan hingga pilkades, selalu saja ada yang jadi “bebotoh” (funder, pendukung dana), yang siap membiayai branding, lembaga survey dan penyelenggaraan event untuk menarik simpati rakyat calon konstituen (pemilih).
Branding dimulai dari membuat banner kecil yang dipasang menyandar ke pohon, tiang listrik atau tembok sudut kampung ; baliho atau neon sign ukuran raksasa, tapi juga bendera, tanggalan atau kaos dan topi. Lazim dan jamak, Lembaga survey dibayar untuk membuat kesan balon (bakal calon) mempunyai chance keterpilihan cukup tinggi, dengan menampilkan hasil survey “abal-abal”, angka yang “nampak” masuk akal.
Untuk lebih “josss” biasanya masih diperlukan wawancara eksklusif di tv, radio atau koran regional agar rating popularitasnya naik. Malah diperlukan juga semacam video teaser, vlog, instagram dan atau promo di media sosial lain berisi ajakan atau dukungan dari tokoh masyarakat setempat. Pilih si Fulan !
Apakah praktek tersebut juga terjadi dalam Pilwakot Surabaya ? Tak ada yang tahu. Saya juga tidak yakin. Artinya, kita masyarakat Surabaya, tentu saja dalam kegamangan, antara percaya tak percaya adanya “setingan” semacam itu. Harapan selalu yang baik dan ideal.
Kembali ke pertanyaan redaktur program radio FM di atas. Akhirnya saya harus kemukakan fakta – setidaknya asumsi yang pernah saya paparkan dalam tulisan saya sebelum ini – ada 2 kemungkinan fenomena, terkait kandidat walikota Surabaya :
(1). Head to head, terjadi real battle antara (PDI-P + Birokrat) versus (Gerindra and Gang) .. rakyat diberi suguhan tontonan kontestasi “pesta” demokrasi ala BARAT (one man one vote) … efek samping : terjadi “belah bambu” pada masyarakat yang fanatik kepada jago masing-masing ; Yang benci bakal sebanding dengan yang pro, masing-masing merasa bahwa kelompoknyalah yang baik dan benar ;
(2). Aple to aple yakni terjadi politik “sandiwara tonil”, kedua belah pihak sebenarnya adalah “wayang” yang sedang dimainkan oleh dalang – seakan bersaing, namun sesungguhnya, siapapun pemenangnya, ia adalah “boneka” di bawah kendali pemilik modal yang mau menanggung biaya di depan, namun bakal “menggarong” kekayaan rakyat, dengan menggunakan walikota (pemenang kontestasi bo’ongan) yang cuma “boneka wayang”.
Kalau ditanya, mana yang hampir pasti ? Jujur saya lebih memilih yang head to head. Maknanya, sebagai anggota masyarakat, saya lebih rekomendair “voting” untuk menentukan satu di antara dua pasangan yang memang “sejatinya” berkontestasi, adu prestasi dengan kapasitas, kredibilitas dan kapabilitas serta akuntabilitas, sehingga peroleh akseptabilitas rakyat.
Saya tak berharap bahwa pilwakot Surabaya, sesungguhnya cuma aple to aple alias kong kalikong simak sikong adu bokong, isinya bohong. Sekurang-kurangnya dua pasang kandidat hanya “tampaknya saja” seperti bersaing peroleh suara rakyat, padahal sejatinya, pasangan manapun yang menang, itu adalah kemenangan sang “bebotoh” yang “menginjakkan dua kaki” ; satu kaki ke kanan, satu kaki lainnya ke kiri.
Dua-duanya adalah pasangan boneka yang “mereka” beli. Kok “mereka” ? Ya, karena bebotoh atau funder itu bukan seorang diri, tapi sekelompok taipan atau daoke yang menyandera para “pemimpin” negeri ini. Semoga tidak demikian.
Bagaimana menurut anda ?







