BANYUWANGI (RadarJatim.id) – Pencopotan papan nama Persyarikatan Dakwah Muhammadiyah di Desa Tampo, Kecamatan Cluring Banyuwangi, Jawa Timur mendapat respons dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Banyuwangi dengan menempuh jalur hukum.
Pencopotan plang tersebut terjadi dengan dalih untuk kondusivitas warga. Aksi sejumlah warga ini disaksikan dan di-support pula oleh Kepala Desa Tampo Hasim Ashari, Camat Cluring Hendri Suhartono, dan Babinsa Tampo. Mereka menyaksikan langsung eksekusi yang dilakukan oleh sejumlah warga dengan alasan melaksanakan kesepakatan di Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka).
“Terkait kasus ini, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyuwangi mendelegasikan ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum, Red) Muhammadiyah untuk menempuh jalur hukum,” ujar Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Banyuwangi, Ainur Rofiq.
Kepala Desa Tampo Hasim Ashari yang juga hadir menyaksikan warga yang melakukan eksekusi, tanpa adanya surat untuk melakukan tindakan tersebut. Ia membantah ikut campur dalam insiden tersebut, namun tidak juga melakukan pencegahan.
“Saya tidak tahu mas apa motifnya. Untuk lebih jelasnya, sampean menghubungi pimpinan atas, yakni Pak Camat terkait eksekusi tersebut,” ujarnya.
Diketahui, demi alasan kondusivitas lingkungan sekitar Masjid Al-Hidayah Dusun Krajan, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka) Cluring beserta Pemerintah Desa Tampo dan beberapa warga menurunkan paksa papan nama Pusat Dakwah Muhammadiyah Ranting Tampo pada Jumat, (25/2/2022) lalu.
Tindakan ini merupakan buntut dari tuntutan beberapa warga kepada takmir masjid dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Tampo. Menurut warga, selama masih ada papan nama tersebut, masjid itu tidak bisa menampung keinginan warga yang ingin beribadah. Masjid tersebut berdiri di area tanah yang sudah diwakafkan kepada nadzir yang juga merupakan PRM Tampo.
Bahkan sebelum eksekusi ini dilaksanakan, sudah beberapa kali dilakukan mediasi, baik di masjid dan kantor desa bersama pemerintah desa, serta di kecamatan bersama Forpimka. Namun sedianya mediasi yang dilakukan belum menemui titik temu bagi kedua pihak, Forpimka berkesimpulan untuk segera menurunkan papan nama tersebut dengan alasan untuk menjaga agar konflik tidak berkepanjangan.
“Jadi sesuai hasil kesimpulan kami saat mediasi di kantor kecamatan, maka terhitung hari Jumat setelah sholat jumat, maka takmir masjid untuk bisa melepas papan nama yang ada. Kedatangan kami ke masjid ini adalah melaksanakan keputusan mediasi dan agar lingkungan masjid bisa tenteram, semua masyarakat enak beribadah,” ujar Camat Cluring, Henry Suhartono saat menyampaikan maksud kedatangan rombongannya kepada PRM Tampo.
Namun hal ini dijawab oleh Takmir Masjid Al-Hidayah bersama PRM Tampo dan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PRM) Cluring, bahwa sebelum adanya inkrah atau keputusan dari pengadilan yang mengikat terkait legalitas dan pengelolaan masjid itu, maka sebaiknya tidak diturunkan lebih dahulu.
“Saya rasa apa yang menjadi kesimpulan dari Forpimka tersebut belum bisa menjadi solusi penengah bagi permasalahan masjid ini, dan juga kami masih perlu berkoordinasi dengan pimpinan kami yang di atas lagi seperti pimpinan daerah. Tapi sepertinya tindakan ini sangat dipaksakan oleh camat, padahal camat tidak berwenang untuk melepas papan nama jika belum ada kepastian hukum,” ujar Sudarto Efendi, Ketua PRM Tampo.
Komandan Kodim 0825 Banyuwangi Letkol Eko Julianto ketika dikonfirmasi mengakui adanya anggotanya, yakni Babinsa di lokasi masjid Masjid Al-Hidayah. Namun, katanya memastikan, kehadirannya untuk mengamankan agar tidak terjadi kekisruhan.
“Babinsa ada di sana bukan untuk eksekusi, tapi memonitor jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, jangan sampai terjadi keributan, itu aja. Terkait pencopotan silakan menanyakan kepada pihak yang berhak menjawab,” ujar Dandim 0825 Banyuwangi, seperti dikutip seblang.com.
Ketika pihak Muhammadiyah meminta tanda tangan berita acara terkait pencopotan plang persyarikatan tersebut, baik pemerintahan desa maupun kecamatan menolak. Dalihnya, yang terlibat dalam Forpimka belum lengkap dan minta penandatanganan berita acara dilakukan di kantor kecamatan Cluring.
Daftar Persekusi
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Banyuwangi, banyak kasus persekusi dan ancaman kekerasan yang dialami pengurus dalam berdakwah. Berikut adalah daftar kasus yang dihadapi Muhammadiyah dalam berdakwah di Bumi Blambangan, dalam bentuk tantangan, rintangan, singgungan, benturan, ancaman, penurunan papan nama, sepanjang 2000 hingga 2022.
- Kasus di Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Peterongan, Desa Kebunrejo Kalibaru, perebutan tanah wakaf dan Masjid PRM Peterongan.
- Penurunan papan nama Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Glenmore di depan rumah Ketua PCM almarhum H Moh. Amli.
- Pemberian tanda silang merah di setiap pimpinan dan warga Muhammadiyah Kec. Genteng.
- Penurunan papan nama PRM Banjarwaru, Banyuwangi oleh tokoh masarakat setempat.
- Penolakan Jumatan di Masjid PRM Kaligung, Kecamatan Blimbingsari oleh masyarakat dengan kekerasan membawa pentungan menjelang Jumatan.
- Penolakan pembangunan Pusat Dakwah Muhammadiyah (PDM) Singojuruh pada saat menjelang peletakan batu pertama yang dilakukan masarakat sekitar lokasi.
- Ancaman pembakaran Rumah Sakit Islam (RSI) Fatimah oleh sekelompok orang yang menamakan diri Pasukan Berani Mati dari kawasan Banyuwangi Selatan.
- Perangkat desa bersama masyarakat Desa Sraten, Kecamatan Cluring menolak pembangunan Masjid Pusdamu Al Furqon PRM Sraten dengan mempermasalahkan IMB. Posisi Muhammadiyah minoritas di Sraten.
- Penolakan rencana pembangunan Pondok Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Muhammadiyah oleh masyarakat belakang Hotel Aston Banyuwangi, dengan dalih demi kondusivitas warga yang tidak sejalan dengan dakwah Muhammadiyah.
- Penurunan paksa papan nama PDM PRM Tampo Cluring dan PRA Tampo Cluring, TK ABA Tampo Cluring oleh sebagian warga masyarakat yang mendapat dukungan dari kepala desa Tampo dan Forpimka Cluring, dengan dalih masjid milik umum, bukan milik golongan/Muhammadiyah.
Menurut PDM Banyuwangi, dari kasus per kasus tersebut di atas jika ditarik kesimpulan didapat akar masalahnya. “Penyerobotan aset wakaf yang tidak tertulis jelas peruntukannya, ingin menguasai aset dan memindahkan kepemilikannya ke pribadi atau organisasi lain,” tulis PDM Banyuwangi.
Ditambahkan, dakwah Muhammadiyah yang tiada henti dan mendapat banyak pengikut atau pendukung dianggap sebagai ancaman dan ketidaknyamanan secara pengaruh ketokohan lokal, ekonomi dan politik lokal.
Selain itu, juga ada faktor kebencian secara turun-temurun, baik kultur maupun struktur di lokal masyarakat, karena merasa terancam kedudukan ketokohan dan pengaruhnya. Akibatnya, mereka melakukan penghadangan dakwah Muhammadiyah secara masif lewat kekuatan masyarakat lokal dan pejabat setempat.
Tidak hanya itu, hadir dan eksisnya lembaga pendidikan, amal usaha kesehatan, panti asuhan, Lazismu, pengajian Ahad pagi (PAP), Pusat Dakwah Muhammadiyah, taman pendidikan Alquran (TPA), taman pendidikan Quran (TPQ), perguruan tinggi, pendirian pusat keunggulan, Surya Mart, aset Muhammadiyah lainya, menjadi kecemburuan sosial.
“Kepentingan politik lokal menjadi penyerta dan penumpang kepentingan sesaat memanfaatkan kelompok lain menciptakan kondisi keruh dan memanfaatkan kelompok antikemapanan untuk cari muka, cari pengaruh, dan lain-lain,” demikian keterangan PDM Banyuwangi. (hsn/sho)







