SIDOARJO (RadarJatim.id) — Program Studi Administrasi Publik (AP) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menggandeng PSKP (Pusat Studi Kebijakan Publik), kembali menggelar Forum Grup Diskusi (FGD) yang bertemakan ‘Transformasi Kampanye Politik’ pada Jum’at (20/10/2023) pagi.
Pembahasan tersebut menghadirkan pengamat politik, Nanang Haromin dan Dr. Isnaini Rodiyah, M.Si selaku Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik dan Media Umsida. Bertujuan untuk membahas secara menyeluruh teknis dan teoritis terkait Transformasi Kampanye Politik Pemilu secara menyeluruh.
Dalam acara yang dihadiri oleh seluruh asisten laboratorium dan anggota Himpunan Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Umsida tersebut, Ketua Program Studi (Kaprodi) AP Umsida Ilmi Usrotin bertugas membuka acara yang juga sekaligus melaunching Laboratorium Governance dan Manajemen Pelayanan Publik.
“Tahun ini adalah tahun kita berprestasi. Progran kerja kita telah disetujui, termasuk penambahan laboratorium AP. Sebelumnya, kita hanya memiliki laboratorium E-Government dan kebijakan publik. Sekarang, kita tambahkan satu lagi, yaitu Laboratorium governance dan manajemen kebijakan publik,” ujarnya Ilmi.
Ilmi menjelaskan bahwa, dirinya berharap agar Laboratorium baru ini bisa jadi inkubator model sistem pemerintahan dan standarisasi manajemen pelayanan publik di Pemerintah desa serta Pemerintah Kab/Kota di wilayah Provinsi Jawa Timur. “kedepan tujuan utama dari Prodi Administrasi Publik adalah rekognisi di ASEAN,” tuturnya.
Diketahui bahwa Prodi AP umsida memiliki tiga laboratorium diantaranya Lab e-government, Lab. kebijakan publik dan perencanaan pembangunan, serta lab. governance dan manajemen pelayanan publik (MPP). Penambahan laboratorium governance dan manajemen pelayanan publik adalah langkah penting untuk memperkaya pengalaman belajar mahasiswa di bidang administrasi publik. Diharapkan dengan bertambahnya laboratorium ini teman-teman mahasiswa lebih meningkatkan kreatifitasnya dan mendukung tata Kelola di laboratorium.
Nanang Haronim yang juga pengamat politik menyampaikan, “Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sangat banyak spanduk bergambar wajah para politisi yang terpampang di pinggir jalan. Padahal, saat ini belum memasuki masa kampanye,” papar Nanang.
Mantan Komisioner KPU Sidoarjo tersebut mengungkapkan bahwa, saat ini masih berlangsung masa sosialisasi dan Pendidikan politik bagi para peserta Pemilu. Sedangkan masa kampanye, baru akan berlangsung pada 28 November 2023.
“Menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pemilu (kamu saya bantu, jadi tahun 2024 kamu pilih saya). Saat ini tidak kena hukum, karena caleg belum ditetapkan secara resmi, tahapan kampanye belum juga dimulai. Jadi secara prosedur para penyelenggara dan pengawas masih abai. Baru bisa terjerat jika sudah ditetapkan sebagai bacaleg dan terdaftar calon tetap.” imbuhnya.
Sebagai pengamat politik, Nanang juga menyampaikan bahwa kampanye di kampus dan lewat media sosial menjadi senjata yang ampuh untuk menggaet pemilih, khususnya pemilih muda dan menguasai total pemilih pada pemilu nanti.
Selain itu, kampus juga diperbolehkan menjadi ruang kampanye atau ruang dialog bagi capres cawapres hingga calon anggota legislatif (caleg) karena mahasiswa merupakan salah satu golongan pemilih terbanyak di Pemilu 2024.
“Saya harap pihak aktor politik dan partai dapat memanfaatkan media sosial untuk menuangkan maupun menyampaikan ide dan gagasnya. Media sosial bukan hanya dimanfaatkan sebagai absen kegiatan sehari-hari bacaleg saja tapi beradu ide, program serta gagasannya.” harapnya.
Sementara itu, Isnaini Rodiyah yang melihat tema besar ini dalam kacamata akademisi menyampaikan bahwa, pemilu terbesar di dunia adalah pemilu serentak di Indonesia. Secara definisi, pemilu adalah suatu pilar dalam sistem demokrasi Indonesia. Dalam pemilu, warga negara memilih wakil-wakil mereka yang mewakili kepentingan masyarakat.
Namun, lanjut Isnanini, dirinya menegaskan, bahwa kampanye pemilu yang terjadi di Indonesia masih dilakukan dengan konvensional dalam bentuk arak-arakan, orasi di depan masa, spanduk, baliho, banner,dan disinyalir kurang ramah lingkungan.
“Kampanye berdampak punya dampak negatif pada lingkungan, anggaran dan intergritas politik. Kenapa demikian, karena pemasangan spanduk dan banner sebagai sarana utama kampanye memerlukan dana yang tidak kecil. Yang sering kali diperoleh dari uang pinjaman dari pihak-pihak tertentu.” terangnya
Isnaini menilai banyaknya calon yang kampanye di media sosial akan memberikan pendidikan politik bagi publik, membangun persepsi dan pilihan masyarakat , baik itu dari sisi positif atau negatif. Hal tersebut dibuktikan dari meningkatnya penyebaran hoaks atau misinformasi yang terus mengalami peningkatan jelang Pemilu 2024 seperti yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Maka kampanye melalui media sosial sebagai area kontestasasi antar para aktor dan partai politik.
Isnaini menambahkan bahwa penggunaan media sosial saat kampanye bukan isu yang baru mencuat dipermukaan. Bahkan media sosial turut menyumbangkan kemenangan kepada Donald Trump dalam pemilu AS tahun 2016 lalu. Sederhananya Trump lebih pintar menfaat media sosial twitter dengan menunjukan perhatiannya terhadap isu terkini dan sikap transparannya. Kuatnya media sosial dalam membangun publik figure, di pemilu amerika serikat tahun 2016 lalu, menjadi praktek nyata melalui digitalisasi dalam terbukanya dunia politik. Maka hal ini, seharusnya mampu direplikasi oleh aktor politik dan partai politik di Indonesia.
Hendra Sukmana, Sekretaris Program Studi Administrasi Publik, juga menyampaikan pandangannya bahwa, transformasi pemilu yang lama melakukan pendekatan konvensial, sedangkan masa kini lebih memanfaatkan media sosial. Saat ini, untuk menjadi anggota DPRD adalah salah satu cita-cita bukan mimpi semata.
“Semoga dengan diadakannya kegiatan forum ini dapat berguna dan menghasilkan diskusi kritis bagi mahasiswa dan bisa meningkatkan kualitas retorika mahasiswa kedepannya.
“tutup Hendra.(mad)







