Banyak kalangan menilai, status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) merupakan capaian prestasi dan prestise gemilang dan membanggakan di dunia pendidikan tinggi. Karena itu tak heran, banyak kampus berburu status tersebut dan berbagai upaya dilakukan untuk meraihnya. Kemandirian dalam pengelolaan kampus, termasuk terkait pengelolaan dan pengembangan aset kampus, jadi penanda dan konsekuensi yang mesti dipertaruhkan oleh pengelola PTN.
Namun, tidak demikian di mata anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PAN, yang juga mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Prof Dr Zainuddin Maliki, MSi. Bagi dia, status PTN BH tak ubahnya dengan pengembangan semangat dan orientasi bernuansa bisnis. Maka, tak heran muncul pandangan satire atas pengembangan PTN BH dengan ungkapan, “Selamat datang, industri pendidikan di tanah air.”
Apa yang mesti dibenahi, berikut wawancara khusus jurnalis RadarJatim.id, Suhartoko dengan Prof Dr Zainuddin Maliki, MSi seputar fenomena merebaknya PTN BH di negeri ini. Wawancara berlangsung di Rumah Tahfidz Perguruan Muhammadiyah Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Sabtu (5/11/2022).
Assalamu’alaikum Prof Zainuddin. Bagaimana Anda memandang fenomena Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) terkait upaya menjadikan pendidikan tinggi yang berkualitas?
Wa’alaikum salam Warahmatullah wabarakatuh. Pengembangan status PTN BH menurut saya sudah memicu beberapa masalah, atau munculnya masalah. Jadi, karena statusnya berbadan hukum, lalu tingkat kemandirian yang begitu dikedepankan, sehingga cenderung menggambarkan ketidaksiapan mereka untuk mandiri.
Lalu yang dilakukan kemudian justru bertolak belakang dengan nilai-nilai dan prinsip pendidikan itu sendiri. Bertolak belakang dengan usaha-usaha untuk menjadikan pendidikan lebih berkualitas. Mengapa? Karena kemudian semangatnya adalah menghidupi dirinya sendiri, baik dari segi sarana/prasarana maupun segi finansial.
Yang terjadi kemudian, rekrutmen atau penerimaan mahasiswa menjadi tidak terukur. Jumlah mahasiswa yang ditampung tidak sebanding dengan sarpras (sarana/prasarana) yang dimiliki, tidak sebanding juga dengan jumlah dosen yang ada. Tentu saja ini juga sekaligus terkait dengan kualitasnya, karena orientasinya mengejar omzet sebanyak-banyaknya.
Jadi, jumlah mahasiswa yang ditampung itu melebihi kapasitas: kapasitas dosen, kapasitas infrastruktur yang dibutuhkan. Bahkan, tak heran kemudian ada yang terpeleset melakukan penyimpangan. Kemungkinan untuk terjebak melakukan tindakan penyimpangan telah terjadi selama ini, misalnya kasus Universitas Lampung dan beberapa universitas lainnya, yang kemudian menajdi objek pemeriksaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ini salah satu pangkalnya adalah dikembangkannya PTN BH itu.
Konsekuensi terburuk bagi kulitas pendidikan?
Upaya untuk membangun perguruan tinggi yang berkialitas menjadi terhambat, karena hanya mengejar kuantitas. Dari sisi kualitas sulit, karena proporsi dosen-mahasiswa jadi tak terpenuhi. Ini kan sulit untuk meningkatgkan proses belajar mengajar (PBM), teaching and learning yang bagus kalau tidak proporsional.
Apalagi jika infrastrukturnya tidak menunjang syarat untuk bisa mendapatkan pembelajaran atau perkuliahan atau pendidikan tinggi yang bagus. Konsekuensinya adalah keberadaan dosen yang kompeten, yang proporsi mahasiswa yang dibimbimbing atau yang diajar itu proporsional. Apalagi ketika kompetensi dosen yang ada masih perlu ditingkatkan, lalu dibebani dengan jumlah mahasiswa yang begitu besar, ini merupakan hambatan yang sangat berat untuk mendorong kualitas pendidikan kita.
Kalau dibanding dengan pendidikan di negara tetangga, misalnya Malaysia?
PTN kita yang terbaik menurut World University Rangking, seperti UI, UGM, ITB, IPB, ITS, Unair, itu semua masih di bawah 5 perguruan tinggi terbaiknya Malaysia. Malaysia punya 5 perguruan tinggi yang lebih baik dari perguruan terbaik kita. Ini kan kita bisa dengan mudah mengukur seberapa jauh tingkat ketertinggalan perguruan tinggi kita.
Semangatnya Menteri Nadiem (Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, Red) ke depan itu semua PTN kita menjadi PTN BH. Saya di Komisi X DPR mengharap itu dikaji terlebih dahulu, dievaluasi dahulu PTN BH itu. Perlu dibenahi, sehingga kemudian ditemukan format yang bagus. Perlu dikaji PTN BH seperti apa agar tidak terseret, terjebak untuk melakukan hal-hal yang menyimpang atau terpaksa melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak mendukung upaya perguruan tinggi yang berkualitas.
Jadi, tidak perlu ekstrem, misalnya menghapus status PTN BH itu?
Tidak perlu dihapus. PTN BH ya, tapi formatnya, manajemennya yang perlu diperbaiki. Di perguruan tinggi itu ada yang disebut dengan praktik good governance and clean governance. Jadi, segi manajemennya bagus dan kemudian pelaksana yang terlibat di dalamnnya juga ada semangat menjalankan manajemen yang bersih.
Dampak PTN BH terhadap keberlangsungan kampus-kampus swasta?
Ya jelas, PTN BH dengan semangat mengejar setoran dengan jumlah mahasiswa yang banyak, sehingga setorannya cukup dari segi finansial. Ini memberikan dampak terhadap tersisihnya, tersingkirnya atau peluang bagi perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi sangat kecil. Padahal PTS itu memberikan kontribusi luar biasa untuk mencerdaskan anak-anak bangsa kita.
Kalau PTN BH itu menjadi lebih baik, ya tidak masalah. Tapi masalahnya, ketika tidak ada keseimbangan yang proporsional antara jumlah mahasiswa dan dosen, akhirnya kualitasnya layak dipertanyakan. Apabila perguruan tinggi swasta ikut berkembang dan menjadi perguruan tinggi yang bagus, maka kesempatan melakukan pemerataan pendidikan yang berkualitas itu akan bisa dipenuhi.
Apa yang akan dilakukan Komisi X DPR RI dalam menghadapi fenomena tersebut?
Komisi X sekarang ini lagi menyusun Panja Perguruan Tinggi. Saya termasuk salah satu anggota Panja Perguruan Tinggi. Semula hanya Panja Perguruan Tinggi Swasta. Karena pelayanan perguruan tinggi swasta oleh Menteri Pendidikan (Kemendikbudrtistek, Red) ini sangat timpang. Perguruan tinggi swasta hanya dapat alokasi anggaran tidak sampai 10 persen. Yang 90 sekian persen itu alokasi anggarannya untuk perguruan tinggi negeri.
Ini ketimpangan yang luar biasa. Sehingga ada kesan, Menteri Pendidikan bukan Menteri Pendidikan di Indionesia, tapi Menteri Perguruan Tinggi Negeri. Padahal, dia harusnya memberikan layanan kepada perguruan tinggi, baik yang negeri maupun swasta.
Karena itu, Panja Perguruan Tinggi akan mengevalusi ketimpangan pelayanan PTN dengan swasta. Panja juga mengevaluasi keberadaan PTN BH, juga mengevaluasi banyak hal, misalnya akreditasi. Sebab, akreditasi itu ternyata berongkos mahal, terutama yang akreditasi mandiri. Akreditasi mandiri itu membebani perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta.
Dia harus membayar uang dengan jumlah cukup besar untuk keperluan akreditasi. Kemudian juga ada pajak pendidikan. Perguruan tinggi dikenai pajak penghasilan 25 persen. Tentu ini sangat besar. Saya kira ini nanti akan menjadi fokus pembahasan yang dilajkukan Panja Perguruan Tinggi di Komisi X DPR RI. (*)







