KEDIRI (RadarJatim.id) – Polemik tagar #BoikotTrans7 yang ramai di media sosial (medsos) mendapat perhatian dari kalangan jurnalis daerah. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kediri Raya, Bambang Iswahyudi, menilai, karya yang menyinggung kehidupan pesantren tersebut tidak memenuhi kaidah jurnalistik.
Menurut Bambang, konten yang menimbulkan polemik itu tidak bisa disebut sebagai produk jurnalistik.
“Kalau itu memang karya jurnalistik, seharusnya ada narasumber yang ditanyakan, seperti santri, wali santri, atau warga sekitar pondok,” ujarnya, Selasa (14/10/2025).
Ia menegaskan, dalam setiap karya jurnalistik, harus didampingi dengan unsur konfirmasi hingga menjadikannya sebuah artikel yang keberimbangan.
“Pengambilan gambar dan narasi yang ditampilkan nampak hanya dari sudut pandang pribadi. Kalaupun dianggap tajuk atau opini, seharusnya tetap disertai solusi,” tambahnya.
Bambang juga mengungkapkan, karya tersebut cenderung bersifat personal dan menggiring opini publik, terlebih di dalamnya tidak disertai dengan sumber yang jelas.
“Kalau ditelaah, narasinya mengandung opini penulisnya sendiri. Hal seperti ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, karya jurnalistik, sejatinya harus menghadirkan beragam sudut pandang, termasuk dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam peristiwa.
“Kalau satu pihak sulit ditemui, wartawan bisa menggali dari sumber lain, seperti santri atau pengurus pondok,” ujarnya.
Ia mengingatkan, bahwa ilmu di dunia pesantren memiliki nilai yang tinggi dan tidak bisa diukur dengan materi.
“Ilmu itu mahal harganya, bahkan tidak bisa ditebus dengan uang. Tradisi mencium tangan guru atau memberikan hadiah adalah bentuk penghormatan, bukan komersialisasi,” terang Bambang.
Bambang mengaku, bahwa dirinya sangat memahami tradisi pesantren yang sangat menjunjung tinggi adab terhadap guru.
“Kalau saya punya guru yang pernah menimba ilmu di Arab, saya akan memberikan hadiah sebagai bentuk hormat. Itu bukan amplop berisi uang semata, tapi simbol penghargaan atas ilmunya,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menilai, video yang menyinggung soal amplop dan guru pesantren itu menimbulkan persepsi negatif terhadap tradisi di dunia pesantren.
“Padahal, bagi kami di dunia pesantren, pemberian itu bisa bermakna sedekah dan bentuk mencari barokah dari sang guru,” kata Bambang.
Ia juga mengingatkan pentingnya kode etik jurnalistik sebagai pedoman utama dalam peliputan berita. Kode etik jurnalistik adalah “kitab sucinya” wartawan. Di situ sudah diatur bagaimana cara kerja, penyusunan, dan penyajian berita secara benar.
Ia menegaskan, bahwa setiap jurnalis wajib mematuhi tahapan sebelum menayangkan berita, mulai dari riset, wawancara, hingga verifikasi.
“Dalam proses jurnalistik itu ada tahapan pengumpulan data, penyusunan naskah, dan penyuntingan oleh editor sebelum ditayangkan,” ujarnya.
Ia menilai, karya yang ditayangkan Trans7 itu mengandung unsur ujaran kebencian terselubung, karena menggiring opini publik untuk memandang negatif dunia pesantren. Padahal, lanjutnya, media seharusnya menjadi jembatan informasi, bukan alat provokasi.
Selain itu, Bambang menyoroti lemahnya penulisan narasi yang tidak mencantumkan sumber pengambilan gambar maupun latar peristiwa.
“Dalam karya jurnalistik, kejelasan sumber sangat penting agar publik bisa menilai objektivitas berita. Wartawan itu mewakili masyarakat untuk menanyakan, bukan untuk menilai. Penilaian biarlah datang dari publik,” katanya.
PWI Kediri Raya, lanjut Bambang, selalu menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, utamanya pada setiap organisasi yang manjadi wadah silaturahmi wartawan di wilayah Kediri Raya untuk menindaklanjuti isu ini.
“Kami terus berkoordinasi dan memberikan masukan agar media lebih berhati-hati dalam mengangkat tema keagamaan,” jelasnya.
Sebagai penutup, Bambang berharap, media nasional lebih memahami konteks budaya dan tradisi pesantren sebelum mempublikasikan karya jurnalistik.
“Opini boleh saja, tapi data dan narasumber harus lengkap. Jangan sampai karya jurnalistik justru menyinggung nilai luhur yang dijaga turun-temurun,” pungkasnya. (rul)







