Oleh ADRIONO
Kebanyakan orang masih menyebutnya sebagai tukang patri atau tukang soder, walau kini dia tidak selalu membawa perangkat alat patri. Keahliannya memperbaiki alat-alat rumah tangga yang rusak. Mengganti pantat dandang yang jebol, menambal panci bocor, ceret, rantang, hingga sablukan. Segala macam kebocoran bisa diakali dan diatasi. Barangkali yang tidak bisa dia lakukan cuman satu: menambal kebocoran anggaran, hehe.
Inilah profesi jadul (lawas) yang ternyata masih beredar dan eksis hingga kini. Betapapun, dulu profesi ini pernah jaya pada zamannya. Toh, hingga saat ini masih ada saja yang membutuhkannya. Buktinya, Pak Ibnu Hajar Santoso, tetangga penjual bandeng presto, butuh memperbaiki sarangan panci yang rusak. Dan, tukang patri ini cekatan menggarap semua pekerjaan costumize dan by order seperti itu.
Tukang patri adalah salah satu profesi yang tergusur oleh zaman. Peluang kerjanya terdisrupsi oleh produk aneka peralatan rumah tangga canggih dan tidak butuh jasa tukang tambal seperti dirinya. Toh pak tukang yang satu ini tidak peduli (atau memang tak ada pilihan lain?). Ia tetap menjajakan skill kuno itu di saat zaman serbainstan, di tengah pandemi pula.
Hari demi hari ia jalani, berihtiar semampunya dengan keyakinan, bahwa suatu saat pasti ada orang yang memanfaatkan jasanya. Tugasnya hanyalah berihtiar semata, sedangkan rezeki Gusti Allah yang mengaturnya. Bahkan tersebab prasangka baiknya itu, sangat mungkin membuat Tuhan bermurah memberikan rezeki yang berkah baginya.
Dia bukannya pasrah menghadapi keadaan. Faktanya, kini dia beradaptasi dengan membawa gerobak motor untuk keliling menjajakan jasanya. Dia tidak lagi seperti masa lalu tukang patri yang memikul alat soder beserta tungku pembakarnya, hanya dengan berjakan kaki.
Hanya saja, suara penanda khas yang dipertahankan untuk menyapa pelanggan atau pengguna jasanya. Menggunakan lempengan seng tebal yang dirangkai. Mirip alat kecrek yang biasa dipancal kaki dalang saat memainkan wayang kulit. Bila alat itu dihentakkan akan terdengar bunyi ‘crek…crek..crek….’
Entah kenapa, dalam terminologi bahasa Jawa, tukang patri disebut dengan julukan “Tukang Sayang”. Seperti halnya saya tidak tahu, mengapa pengemudi cikar (pedati yang ditarik sapi) dinamakan “Bajingan”. Tetapi, tukang sayang itu memang penyayang terhadap peralatan rumah tangga. Dia sigap memperbaiki suatu barang agar dapat berfungsi kembali.
Peran mereparasi, memperbaiki, dan memelihara inilah yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Kondisi di mana telah berkembang budaya “sekali pakai lalu buang.” Situasi yang kerap diparodikan pelawak ludruk dengan berlagak sombong dia mengatakan, “Nek montorku bejat yo tak buwak, aku tuku maneh… wong sugih kok.”
Kiranya spirit tukang sayang yang terampil merawat, memelihara, dan memperbaiki sesuatu perlu tetap dibudayakan, meski ada dana untuk membeli barang yang baru.
Kini kulihat Pak Tukang Sayang itu sudah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah mendapat upah dia pergi mengendarai motornya dengan perlahan, tak lupa membunyikan kecrek khasnya. Crek…crek..crek… crek… crek.. crek…!
Suaranya berirama. Entah seirama dengan dendang hatinya yang riang atau menyuarakan irama hidupnya yang monoton. Crek… crek..crek…crek… crek… crek.…! Suaranya semakin surut di telinga karena dia semakin menjauh.
Adakah profesi tukang sayang juga ikutan hilang ditelan gemuruh teknologi canggih? Adakah budaya merawat, memperbaiki, memelihara masih terpatri? Crek… crek.. crek….! (*)







