Oleh FADHILAH ALIANNAH
Siapa menyangka, sebuah kendaraan yang kini tak lagi menarik perhatian dan nyaris punah, justru menjadi benda yang sangat berarti dan berharga. Bahkan, saking berharganya, si empunya rela melepasnya untuk bekal pulang ke kampung abadi, akhirat. Loh, kok bisa?
Bagi seorang Ahmad Syafi’i, becak bukan sekadar benda atau kendaraan yang digunakan untuk mencari nafkah semata. Ia yakin, Allah Yang Maha Pemurah, telah memberikan barang terbaik untuk dirinya agar digunakan sebagaimana layaknya. Dan, yang terpenting, itu menjadi sarana ibadah kepada Rabb-nya.
Becak tua itu merupakan cara Allah untuk memuliakan dirinya, istri, juga anak-anaknya. Setelah berhasil mengantarkan ke-3 anaknya hingga lulus kuliah, juga menyekolahkan adik iparnya sampai perguruan tinggi, kendaraan uzur itu, akhirnya ia relakan sebagai tabungan akhiratnya.
Dengan berat hati, namun penuh keikhlasan akan tujuannya, ia jual becak itu. Lalu uang hasil menjual becak disumbangkan sseluruhnya untuk kepentingan perluasan masjid yang sudah puluhan tahun ia akrabi, karena sehari-hari pria 67 tahun ini sebagai marbot.
Setia dan Sabar
Tanpa harus menelisik terlalu jauh, orang tentu paham bagaimana penghasilan pengayuh becak. Di saat para buruh berdemo menuntut kenaikan upah kepada manajemen perusahaan dan pemerintah, pengayuh becak hanya bisa menonton sambil berharap, para pendemo itu memanggil dan meminta jasanya untuk mengantar mereka pulang.
Ia tak mungkin ikut berdemo meminta kenaikan upah. Ada yang meminta jasa untuk diantar dengan menumpang becaknya saja sudah beruntung dan membuatnya girang. Apalagi kini jasa transportasi online makin memanjakan pelanggan dan praktis menggerus pelanggan Pak Mad. Becak, secara alami memang harus tergusur dan menjadi benda antik oleh ganasnya perkembangan zaman.
Ya, Pak Mad, panggilan akrab Ahmad Syafi’i, sang pengayuh becak, memahami benar keterbatasan dirinya yang kian renta dan juga moda becaknya yang tak lagi mampu bersaing dengan kendaraan angkutan penumpang lain. Namun, ia selalu mensyukuri berapa pun penghasilan yang diperolehnya.
Tak jarang ia harus memilih berpuasa demi bisa menabung, agar saat pulang kampung, ia bisa membuat tersenyum istri dan anak-anaknya. Demi mengirit pengeluaran, ia memilih tidak indekos. Setiap hari ia membersihkan dan menjadi penjaga masjid, sekaligus tidur di rumah ibadah ini kalau istirahat.
Di masjid Al Muttaqien di kawasan Morokrembangan, Surabaya ini, ia sehari-hari tinggal dan sangat bertanggung jawab akan tugasnya sebagai marbot. Masjid yang berdiri sejak tahun 1972 itu selalu terlihat bersih. Bahkan, tanpa pernah meminta upah, ia dengan sukarela mengatur parkir dan menjaga kendaraan jamaah masjid itu.
Muhammad Yusuf, seorang jamaah yang juga Ketua Perluasan/Pembangunan Masjid sudah mengenal Pak Mad sejak ia masih muda. Ia menggambarkan Pak Mad begini. “Masya Allah, beliau itu orangnya penyabar dan rajin bekerja”.
Lelaki berperawakan gemuk itu sudah mengenal Pak Mad sejak 20 tahun lalu, sementara Pak Mad sudah berada di masjid milik Muhammadiyah itu sejak 10 tahun sebelumnya. Dan, masjid selama itu selalu terjaga dengan baik, tak ada keluhan apa pun dari jamaah. Malah mereka merasa sangat terbantu dengan kehadiran Pak Mad yang dengan setia mengurus masjid.
Begitu pula di mata keluarganya. Oleh anak-anaknya, Pak Mad dan istrinya dikenal sebagai figur yang ngayomi, penyabar, dan nyaris tak pernah terlihat marah atau berucap dengan nada tinggi.
“Kedua orang tua kami hampir tidak pernah marah-marah, apalagi dengan nada tinggi,” kata anak tertua Pak Mad, Luluk Khumaidah.
Mengutamakan Pendidikan Anak
Pria kelahiran 7 Mei 1955 ini bukanlah seorang berpendidikan tinggi. Namun, ia memiliki pemikiran yang luar biasa akan pentingnya ilmu pengetahuan atau pendidikan. Baginya, pedidikan yang baik bagi anak-anaknya akan menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih baik. Karena itu, bagaimanapun kondisinya,pendidikan anak-anaknya mendapat tempat istimewa baginya.
Ketiga anak Pak Mad, 2 perempuan dan 1 laki-laki, semuanya lulus sarjana. Kedua anak perempuannya lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Sedangkan anak lelakinya alumni Untag Surabaya.
Tak ada yang istimewa dari cara mendidik lelaki berperawakan relatif kecil ini. Ia hanya memberikan contoh kebiasaan yang baik bagi keluarganya. Meski pertemuan dengan keluarganya tidak bisa setiap hari. Paling tidak, seminggu sekali ia bisa menemui keluarganya. Disamping merasa punya kewajiban menjaga masjid, ia juga merasa belum cukup bekal cukup jika harus pulang tiap hari.
“Kalau pulang dari Surabaya, Bapak rajin mengajinya dan sholat yang selalu tepat waktu,” timpal Uswatun Khasanaj, anak kedua Pak Mad.
Obsesi Pak Mad tak muluk-muluk. Ia hanya berharap anak-anaknya kelak menjadi pribadi berakhlak mulia dan berpendidikan, tidak seperti dirinya. Harapan itu agar apa yang ia lakoni dalam perjalanan hidupnya, tak dialami oleh anak-anaknya.
“Sering kami diberi nasihat, hanya jaga sholat dan cari ilmu yang bener, karena bapak tidak bisa ninggali apa-apa, kecuali ilmu dengan menyekolahkan kami sampai perguruan tinggi,” cerita Ahmad Ahsanul Kholqin, putra bungsu Pak Mad.
Dalam benak Pak Mad yang bersahaja ini, ia hanya menerapkan kesederhanaan dalam hidup bagi keluarganya. Dalam hal menuntut ilmu pun, ketiga anak Pak Mad sudah terbiasa hidup prihatin.
“Mungkin kami tidak seperti teman-teman kuliah lainnya. Uang bulanan teman-teman mungkin banyak. Kalau bagi kami, ya diberi sedapatnya bapak dapat dari orang yang naik becaknya,” kenang Ahsan.
Bagi mereka, uang bulanan Rp 50 ribu itu sudah banyak dan sudah biasa. Tapi, mereka merasa sudah merasa bahagia, meskipun harus sering puasa. Namun, bagi mereka, keadaan yang seperti itu sudah lebih dari cukup.
“Setiap apa yang kami butuhkan atau yang kami inginkan, selalu bisa terpenuhi. Ada saja jalan, Alhamdulillah,” ungkapnya.
Kembali ke Desa
Sebenarnya keluarga Pak Mad sudah lama menyarankan agar ia tidak bekerja lagi di Surabaya. Biarpun begitu, Pak Mad bergeming. Ia mempunyai jiwa dan semangat yang kuat untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Keluarganya pun tak dapat mencegah keinginan Bapaknya.
“Asal bapak merasa senang bisa kumpul-kumpul dengan para jamaah di masjid Al Muttaqien, kami pun bisa mengerti,” tuturnya.
Namun saat usia sudah mulai udzur dan pemakai jasanya sudah beralih ke transportasi lain, khususnya online, Pak Mad pun akhirnya menuruti anjuran keluarganya. Ia Kembali ke kampung halaman, di Desa Tanggulrejo, Kecamatan Manyar, Gresik. Di desa inilah, kini Pak Mad menikmati masa tuanya bersama istri dan anak-cucunya.
“Semenjak pandemi, Bapak di rumah. Ini sudah setahun lebih. Kami sebagai anak mencoba menyarankan agar bapak tidak kembali ke Surabaya,” kenang anak pertamanya.
Akhirnya Pak Mad menyetujui dan memutuskan berkumpul bersama keluarga: istri dan anak cucunya. Hal ini disambut gembira oleh seluruh keluarganya karena Pak Mad adalah sosok yang penuh perhatian. Mereka merasa mendapat sentuhan kasih sayang yang tiada henti dari bapak dan kakeknya.
Jual Becak untuk Perluasan Masjid
Kepindahannya ke kampung halamannya, tak membuat Pak Mad melupakan Masjid yang sudah menjadi bagian hidupnya. Kedekatan pengurus masjid dengan sosok penyabar sudah selayaknya orang tua dan anaknya. Maka, saat Ketua Perluasan Pembangunan Masjid, Muhammad Yusuf, SThI, berkunjung ke rumahnya dan menyampaikan kabar bahwa panitia sudah berhasil membeli rumah di sebalah masjid untuk perluasan, ia gembira bukan kepalang.
”Cak Mad, omah sebelah wetan (rumah sebelah Timur) masjid Insya Allah kita beli,” ungkap Yusuf mengabarkan.
Sontak, Pak Mad yang berkulit gelap karena kerap tersengat matahari ini menangis penuh syukur dan tak mengira sebelumnya. Sembari bersujud syukur ,ia berucap,” Ya Allah, Pak. Impinanku 30 tahun terwujud,” ucapnya terbata-bata.
Pak Mad memutuskan menjual becaknya. Uang hasil penjualan becak kemudian disedekahkan untuk membantu pembebasan lahan bagi Masjid Al Muttaqien Surabaya. Hatinya tergerak untuk menyumbangkan harta paling berharga dalam hidupnya itu agar tanah dan bangunan di sebelah masjid segera terbeli.
Dengan berurai air mata –karena keharuan yang begitu mendalam–, kepada panitia, saat itu Pak Mad bilang, “Saya hanya punya ini, becak yang dulu selalu menemani saya mencari nafkah. Tolong dijualkan untuk pembebasan lahan masjid Al Muttaqin”.
Letak Masjid Al Muttaqien berada persis di samping SPBU (pom bensin) Mbah Ratu, Morokrembangan, Surabaya. Sedang di sisi timurnya terdapat Hotel Antariksa. Namun letak yang strategis ini belum didukung oleh tempat yang memadai untuk tempat parkir jamaah masjid.
Halaman masjid hanya selebar 2 meter dengan panjang sekitar 7 meter. Lebih tepat disebut lorong ketimbang halaman masjid. Masjid yang juga memiliki TK sebagai amal usaha ini terhalang oleh bangunan rumah penduduk yang berada di kanan kirinya. Dengan demikian, lahan masjid tidak dapat menampung kendaraan jamaah yang kian hari bertambah banyak. Jamaah beserta kendaraannya meluber hingga ke jalan raya.
Keadaan ini menyebabkan kenyamanan jamaah tidak bisa terpenuhi dengan baik. Berbagai kendaraan, baik kendaraan pribadi dan kendaraan besar seperti truk dan kontainer padat berseliweran di jalan yang beredekatan dengan masjid ini.
Hal itulah yang membuat takmir masjid dan jamaah selalu berupaya mencari jalan keluar atas ketidaknyamanan ini. Hingga akhirnya mendapat kabar, pemilik salah satu tanah dan bangunan di sebelah pintu masuk masjid bersedia menjualnya.
Kesempatan ini tidak disia-siakan takmir masjid. “Kami optimis, rumah dan bangunan itu mampu kami beli dengan izin Allah,” kata Yusuf, panggilan akrab Ketua Panita Perluasan Masjid saat dihubungi melalui telepon.
“Kami sudah memiliki sekitar 350 juta, masih kurang 650 juta lagi,” imbuhnya.
Sikap optimistis lelaki bertubuh tambun ini dipicu pula oleh semangat Pak Mad yang becaknya laku terjual Rp 250.000. “Yang namanya besi tua lakunya segitu, padahal Pak Mad berharap bisa laku sejuta. Tapi karena keikhlasannya, semoga Allah menerima amal Pak Mad 700 kali lipat sesuai janji Allah SWT,” ungkapnya.
Secara matematis, dengan dana yang dimiliki saat ini, rasa sangat berat untuk dapat menutup harga tanah dan bangunan senilai Rp 1 miliar itu. Namun, Yusuf yakin, dengan dana yang terhimpun dari masyarakat, tanah dapat terbeli demi kenyamanan jamaah dalam beribadah dan kemakmuran masjid. Inna ma’al ‘usri yusro (Seseungguhnya di samping kesulitan itu ada kemudahan), demikian pesan Al Quran.
“Bismillah, kun fayakun, dana dapat terkumpul dalam 3 bulan. Kami membuka kesempatan kepada siapa pun yang ingin berinvestasi akhirat,” ujarnya dengan mengirimkan dua buah flayer.
Dalam flayer itu tertulis kontak yang bisa dihubungi, Moch. Yusuf, 085100858662 dan Darmawan 085648940965. Terdapat imbauan pula untuk menyalurkan donasi melalui Bank Syariah Indonesia (BSI) dengan nomor rekening 7190142177 atas nama Masjid Al Muttaqien atau melalui Bank Jatim 0332464451 dengan atas nama yang sama.
Impian Puluhan Tahun
Harapan dapat membeli tanah dan bangunan yang menutupi jalan masjid, bukan hanya dirasakan Pak Mad. Impian ini sudah diutarakan oleh Ketua Takmir Masjid yang pertama, Abdul Hamid Ahmady, yang merupakan ayah kandung Taufiqullah Ahmady, mantan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik.
Masjid Al Muttaqien memiliki nilai sejarah yang mendalam bagi Taufiqullah. Ayahnya dahulu adalah penasihat sekaligus imam rawatib di masjid itu. Ditanya mengenai kabar pembebasan lahan yang berada di pintu masuk masjid, Taufiqullah merasa bersyukur.
“Dulu rumah yang berpagar hitam itu milik orang Banjar, Kalimantan. Teman bapak dan sudah meninggal. Dahulu ahli warisnya masih keberatan, tapi sekarang sudah dilepas,” katanya sambil menambahkan, betapa kesempatan itu jangan sampai lepas.
Taufiqullah sangat berharap panitia mampu membeli tanah dan bangunan itu. Dengan terbebaskannya tanah tersebut, wajah dan bangunan masjid itu bisa terlihat langsung dari jalan raya. Jadi takmir lebih mudah mengatur pengembangannya. “Insya Allah masjid akan semakin makmur pada masa yang akan datang,” tuturnya.
Di tengah upaya mendapatkan dana untuk pembebasan lahan, takmir masjid tak pernah surut melanjutkan kegiatan berbagi kepada para jamaah dan masyarakat sekitar. “Masjid ini berjiwa filantropi sesuai anjuran Kiai Ahmad Dahlan, memberi dan memberi,” ujar Yusuf.
Takmir masjid rutin membagikan nasi bungkus setiap Jumat pagi dan setiap shalat Jumat pekan kedua. “Saat shalat Jumat masjid kami selalu ramai. Kami menyediakan 180 hingga 200 nasi bungkus setiap pekan kedua. Jumlah itu selalu habis, dan semua kebagian,” jelasnya saat ditanya mengenai program unggulan masjid.
Selain itu ada pula kegiatan pengajian yang dilanjutkan dengan pembagian sembako, bahkan pernah juga dibagikan roti kaleng besar. “Jika saat ini minyak menjadi barang langka, kami telah siap membagikan minyak saat acara pengajian,” imbuhnya. (*)
*) FADHILAH ALIANNAH, Guru di SMA Muhammadiyah 1 Gresik.







