GRESIK (RadarJatim.id) — Seseorang tidak boleh didiskriminasi oleh kuatnya aspek agama, suku, ras, kewarganegaraan, preferensi politik, gender, orientasi seksual, dan identitas lainnya. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dengan tidak ada pengecualian.
Artinya, dalam penegakan hukum, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama. Meski demikian, terkait tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap mewarnai kehiduoan masyarakat, penyelesaiannya sebisa mungkin tidak dibawa ke ranah hukum untuk menghindari peluang munculnya masalah yang lebih kompleks.
Hal itu mengemuka dalam seminar dan diskusi “Kesadaran Hukum Berperspektif Gender” yang digelar Faqih Usman Center di hotel Horison Gresik, Sabtu (10/9/2022).
Faqih Usman, SE, MSi, anggota DPRD Gresik yang menjadi salah satu narasumber dalam seminar itu mengungkapkan, analisis gender adalah identifikasi secara sistematis tentang isu-isu gender yang disebabkan adanya pembedaan peran, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki.
Menurut Ketua DPD PAN Gresik itu, analisis gender perlu dilakukan. Sebab, pembedaan peran laki-laki dan perempuan, bukan hanya menyebabkan adanya perbedaan keduanya dalam pengalaman, kebutuhan, pengetahuan, juga perhatian, tetapi juga berimplikasi pada pembedaan dalam memperoleh akses dan manfaat dari hasil pembangunan, berpartisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya pembangunan.
“Analisis gender dalam studi hukum dan perundang-undangan mensyarat akan adanya penelitian asumsi dan pemikiran di belakang teks dan norma yang ada di masyarakat, yang mempertahankan atau menimbulkan ketidakadilan gender,” ujarnya.
Sementara Sekretaris Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (KBPPPA) Gresik, Ir Soerati Mardhiyaningsih, MSi, yang juga menjadi narasumber seminar mengemukakan, penyelesaian kasus-kasus KDRT yang terjadi di masyarakat kerap dilematis.
Karena itu ia berharap, penyelesaiannya sebisa mungkin tak ditarik ke ranah hukum. Alasannya, jika itu dilakukan, peluang terjadinya masalah susulan yang lebih kompleks bisa terjadi. Di antaranya terkait peluang terganggunya keberlangsungan pemenuhan kebutuhan ekonomis, masa dengan anak, terutama terkait perkembangan psikis, juga hubungan sosial dengan masyarakat.
“Lapor ke polisi kalau benar-benar terpaksa dan menjadi pilihan terakhir karena memang tak ada jalan lain. Sebab, kalau bapak atau ibunya dipenjara, apalagi jika sudah divonis di sidang pengadilan, tentu hal hal yang akan berpengaruh dalam rumah tangga. Belum lagi soal bagaimana perkembangan anak-anaknya ke depan. Ini memang delima dan kompleks.” kata Ningsih.
Dikatakan, banyak kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak-anak yang tak mencuat publik. Pasalnya, dengan berbagai pertimbangan, tak ada keberanian perempuan yang umumnya menjadi korban, untuk mengungkap ke publik.
“Kalau diungkap ke publik atau dilaporkan ke polisi, bagaimana kalau nanti suaminya dipenjara, terus gimana nasib anak-anaknya, dan sebagainya, Karena itu, meski harus ngempet, biasanya, perempuan memilih diam dan mengalah,” katanya.
Drs Hamim Farhan, MSi yang hadir dalam seminar selaku pengurus Faqih Usman Center memiliki perspeksif agak berbeda dalam menyikapi kasus-kasus KDRT yang banyak menimpa kaum perempuan sebagai korban. Meski sepakat, bahwa setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, sama kedudukannya di depan hukum, banyak hal jadi pertimbangan sehingga hukum tidak menjadi pilihan utama dalam penyelesaian masalah.
“Masalah agama dan budaya dalam masyarakat tak bisa dikesampingkan dan kerap jadi pertimbangan dalam mengambil sikap dan model penyelesaian ketika terjadi KDRT atau kasus lainnya dalam rumah tangga. Kalau dibawa ke ranah hukum, istri pasti mikir, gimana kalau bapaknya anak-anak sampai dipenjara. Apalagi beban psikologis yang harus dihadapi anak-anaknya,” ujar dosen Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) ini. (sto)







