Oleh HAMIM FARHAN
Gresik secara historikal sebagai kota santri memiliki modal sosial dan kearifan lokal yang cukup potensial. Namun, sisi lain Gresik sebagai kota industri atau yang sedang mengindustrialisasi, tentunya meniscayakan sebagai kota dimanis, terbuka dengan tingkat pluralitas tinggi, multikulturalis, baik suku, ras, budaya dan agama. Ini konsekuensi logis adanya migrasi para pendatang yang masuk sebagai pegawai dan pekerja di kota wali ini.
Mengawal arah dan kebijakan pembangunan ke depan (perubahan menuju Gresik baru), dibutuhkan modal sosial yang besar, apalagi menghadapi tahun politik 2024. Mulai tingkat daerah hingga pusat dalam bentuk kontestasi Pilpres, Pileg, diperlukan kekuatan sinergis lintas elemen untuk memperkuat harmonisasi, kerukunan dan penguatan kebangsaan sebagai investasi pembangunan. Upaya untuk mewujudkan kerukunan dan persatuan (nilai sila ke-3Pancasila) meniscayakan perwujudan keadilan sosial bagi rakyat (sila ke-5 Pancasila). Gresik memiliki peran tanggung jawab membangun kesejahteraan bagi masyarakatnya dengan segala prospek dan tantangannya.
Kalau kita ber-iqra’ pada masa lampau, sesungguhnya perkembangan peradaban yang menyangkut teknologi dan industri itu sudah sangat maju sesuai dengan zamannya. Begitu juga kemajuan dan kedewasaan cara berpikir keagamaan juga selalu tersandingkan dengan pesatnya peradaban itu sendiri.
Dinasti Syailendra, misalnya, mampu menunjukkan tingkat teknologi dan industrinya dengan membangun megaproyek Candi Borobudur di Magelang. Itu pun belum berdiri pabrik semen, seperti Semen Gresik, Semen Tonasa, Semen Tiga Roda dan lainnya. Kemegahan bangunan itu, di aspek desain dan konstruksi pun belum ada tenaga yang lulusan Tenik Sipil, Teknik Arsitektur, Geologi, dan Geodesi. Bahkan untuk mengangkat setupa di puncak candi yang bobotnya 50 ton itu pun belum ada teknologi mobil derek, belum ada bego, teknologi crain dan sejenisnya.
Begitu juga kehebatan masa Singosari, Empu Gandring yang mampu menciptakan dan mendesain keris dan konstruknya, belum mengenal teknologi mesin bubut, belum ada teknologi las karbit, las listrik, las doc dan sebagainya, tapi hasil karyanya mampu mendunia.
Jika Dinasti Syailendra saat kepemimpinan Samaratugga pada tahun 842 M pernah mengukir sejarah dengan membangun megahproyek Candi Borobudur yang masuk deretan dari 7 keajaiban dunia oleh Unesco, tanpa serupiah pun ngutang dana IMF. Majapahit juga pernah berhasil membangun basis maritim yang sekarang menjadi bagian penting pembangunan komplek marinir di Jawa Timur. Itu pun tidak sepersen pun minta bantuanBank Dunia.
Kebesaran Majapahit
Mojopait atau Majapahit merupakan sebuah teritorial kekuasaan yang pernah diperhitungkan di mata dunia. Setuju atau tidak, Majapahit adalah negara besar yang melebihi luas besarnya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Bahkan bala tentara dan kekuatan armada perangnya tidak kalah dengan pasukan Hitler di Jerman atau tentara pasukan Benito Mussolini di Itali. Rakyat dan penduduknya pernah merasakan kemakmuran dan kelimpahan sandang, pangan dan papan. Tidak ada berita busung lapar yang mengganas.
Pada masa itu, tidak dijumpai ributnya rakyat yang saling berebut bantuan langsung tunai (BLT, PKH, kartu pintar), dan tidak harus kena imbas dari kebijakan kenaikan BBM dan minyak mentah dunia. Para gadis merasa aman dan bebas shopping dan traveling ke pasar-pasar tradisional, tanpa dihantui penodongan bersenjata api dan perampokan seperti di mall dan supemall. Serta para perempuannya masih memakai kemben (tentop Jawa) tanpa takut kena razia Satpol PP.
Yang menarik lagi, pada zaman Majapahit terdapat banyak faham dan aliran agama, tetapi mereka harmonis dan saling menjaga masing-masing kepercayaannya, meskipun belum ada MUI, belum ada Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), belum pernah diterbitkan SKB tiga atau dua menteri, kemudian meningkat menjadi PBM, dan untuk tahun 2023 ini menjadi Peraturan Presiden pada FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) ke depan. Belum ada FKDM (Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat), belum juga muncul FPK (Forum Pembauran Kebangsaan), namun mereka hidup harmonis.
Sejarah menunjukkan banyaknya aliran dan faham dalam keyakinan agama pada masa itu. Majapahit sebagai kerajaan Hindu, tetapi pada saat itu masyarakatnya sudah majemuk. Bahkan dalam Hindu saja terdapat tiga corak keyakinan faham dan aliran, yaitu agama Brahma, agama Wisnu dan agama Syiwa. Lalu ada juga berkembang Budha Bhirawa dan aliran kepercayaan lain. Semua mendapatkan tempat yang aman di negara Majapahit tanpa ada konflik agama, bahkan mareka hidup rukun berdampingan. Tidak ada diskriminasi, apalagi bertindak anarkis, main hakim sendiri dan kriminal, saling membakar tempat ibadah, merusak rumah ibadah dan lembaga pendidikan (pesantren Shaolin dan lembaga para Biksu), walau mereka berbeda keyakinan.
Itu terjadi karena mereka memahami, bagaimana cara meluruskan aliran yang dianggap sesat. Mareka cenderung lebih baik mengajak bertobat dan menyadarkan dengan cara yang bijak atau mau’idho hasanah bagi para pemeluk yang dianggap tidak sefaham, dari pada harus merusak dan membakar tempat ibadah mereka, apalagi main hakim sendiri dan membunuh. Mereka lebih mengedepakan pendekatan ger-geran (akrab guyub), dan menghindari mendekatan gegeran (pertengkaran).
Para penganut animisme juga tergolong sangat banyak jumlahnya. Para penganut kepercayaan dan agama lain tidak saling membunuh atas nama agama. Karena Majapahit belajar dan mengambil hikmah serta mau’idhoh hasanah dari kekonyolan kerajaan terdahulu.
Sebelum masa kerajaan Majapahit, agama sering diusung, dimanfaatkan untuk saling membunuh demi merebut kekuasaan politik. Karena pada waktu itu belum ada KPU, belum ada Panwaslu, tidak ada pemilu, dan belum mengenal Pilkada, atau pemilukada serentak. Sehingga untuk berkuasa dan merebut kekuasaan harus tegah membunuh lawan politiknya. Bukan adu program pembangunan konkret, tetapi memakai pendekatan sayembara dan pengerahan massa yang cenderung brutal dan anarkhis. Tidak seperti di Indonesia yang aman-aman saja saja, semoga.
Puncak masa kelabu, malapetaka pembunuhan berantai terjadi pada zaman Singosari. Ken Arok sebagai ”staf bawahan” berani membunuh bosnya sendiri, Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Setelah itu dia ngrabi jandanya, Ken Dedes. Sang putri Ken Dedes tidak hanya simbol kecantikan seperti boneka Barbie yang perlu dipajang dan disimpan. Atau boneka India yang tidak boleh dipegang tapi boleh dipandang. Tetapi, bagi keyakinan klenek politik pada masa itu menempatkan Ken Dedes sebagai simbol kekuasaan politik. Barang siapa yang menjadi suami Ken Dedes pasti menjadi raja.
Karena klenik politik mentarjihkan, bahwa Dewa telah menitipkan titihwanti garis kekuasaan berupa andeng-andeng, –maaf — di selangkakangan organ vital Ken Dedes, yang itu diyakini dan dianggap menjadi will to power dan politic well yang terbangun atas dasar klenik politik pada zamannya.
Dan, cilakanya hal ini benar benar di praktikkan sebagai landasan berpolitik. Maklum, karena belum ada undang-undang politik. Kenyatan ini terbukti, setelah resmi menjadi suami Ken Dedes, Ken Arok lalu menambahkan titel honoriscausa ”Akuwu” sebagai perlambang bangsawan kerajaan, tanpa harus menempuh 8 semester atau mengumpulkan poin 160 SKS, atau tidak perlu menempuh program sertifikasi, sebelum menjadi raja Singosari yang akhirnya terbunuh.
Saling bunuh di antara elit politik pada ranah kental yang diusung warna kekuasaan sudah menoreh sejarah masa lalu. Akhirnya pembunuhan berantai antarelit politik Singosari berlanjut. Walaupun alasanya amat mistis, yaitu adanya kutukan dari sang maestro sekaligus pemilik ”bengkel las” dan ”pande besi” Empu Gandring yang pencipta keris. Bahkan, diyakini akan menelan nyawa penguasa sebanyak jumlah lekukan keris yang telah didesain made in Empu Gandring.
Sebelum itu juga, pernah terjadi perseteruan sengit antara kerajaan Budha Sumatera dan kerajaan Hindu Jawa. Kerajaan Bhuda Sumatera menang dan sempat beberapa generasi menaklukkan kerajaan Hindu Jawa. Para penganut Hindu menyingkir ke Jawa Timur. Pada saat itulah, lalu kerajaan Bhuda berkembang di tanah Jawa.
Pelajaran Berharga
Pelajaran berharga serta hikmah mau’idho hasanah inilah, lalu dijadikan produk hasil tanfid bagi kerajaan Majapahit untuk membangun rakyatnya. Majapahit menjadi negara besar, memberikan kesempatan beragam agama berkembang dengan damai dan berdampingan. Majapahit juga terbuka terhadap semua idiologi yang masuk, bahkan termasuk agama baru seperti Katholik Roma yang dibawa orang bule, dan Islam Ottoman yang dibawa saudagar pedagang multinasional hadir melalui Gujarat, daratan China dan Malaya, lalu masuk di tanah kerajaan Majapahit dengan aman, damai dan penuh persaudaraan ukhuwah wathoniyah, ukhuwah basyariyah.
Di era kebesaran Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan. Sebagian masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang berumur 14 abad sedang mengalami puncak kejayaaan. Begitu juga Islam yang lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat. Kemaharajaan Islam Ottoman menunjukkan kebesaran pula di semenanjung kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan sebagian Eropa.
Lembaga-lembaga “Tarekat” para Rahib Katolik banyak berdiri. Begitu juga semacam lembaga dewan dakwah para da’i Islam Timur Tengah mulai mengembangkan dakwahnya. Saat itulah seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit, begitu juga para da’i yang dikoordinasikan oleh para ulama Timur Tengah melalui perdagangan di Gujarat, lalu mengenalkan dan menyampaikan ajaran Islam ke penguasa Majapahit. Katolik Roma yang dibawa orang-orang bule sebagai missionaris dengan ajaran agama yang dianggap baru yang aneh ini pun dikenalkan di Majapahit, begitu juga agama Islam. Dan, walhasil diterima oleh Majapahit dengan baik.
Setelah kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi. Saat itu, selain menguasai sebagian Eropa, pengaruh Islam juga melebar sampai India, daratan China, semenanjung Malaya, dan tanah rencong Aceh. Setelah masyarakat menganut Islam, Kerajaan Pasai tumbuh sebagai kekuatan alternatif di Nusantara. Pasai menjadi makmur dan kuat, bahkan kuatnya mengalahkan kekuatan gerakan GAM di Aceh pada waktu itu.
Pasai menjadi makmur dan kuat. Mereka lalu lupa atau sengaja melupakan dengan tidak mau setor upeti ke pusat. Bagi Majapahit, tidak setor upeti bukan urusan agama. Ini murni urusan fulus dan masalah kenegaraan. Lalu Pasai perlu diberi peringatan tanpa mengusung-usung embel-embel nama agama. Kemudian Armada laut Majapahit dikirim melakukan show of force. Dengan mudah Pasai ditaklukkan.
Lalu, seperti biasa, harta rampasan dibawa pulang, termasuk para perempuan, keluarga, para putri kerajaan Pasai. Namun, perempuan hasil ”rampasan” ini pun sama sekali tidak diusik sedikit pun, apalagi direndahkan martabatnya. Bahkan para putri Pasai yang Muslim ini diberi izin untuk membawa rombongannya. Mulai dari para tukang rias, pegawai salon dan spa, perancang desainer busana, sekretaris dan penerjemah pribadi juga diperbolehkan ikut.
Tidak heran, walau jadi tawanan Majapahit, tetapi mereka masih kelihatan cantik dan terawat seperti keadaan di tempat asalnya sendiri. Begitu juga bagi yang perempuan diperbolehkan memakai busana Muslim ala kerajaan Pasai walau dalam lingkungan kerajaan Majapahit yang Hindu. Pemerintah dan rakyat Majapahit amat menghormati ”agama baru” Islam ini. Mereka diberi permukiman, dipersilahkan membangun tempat ibadah (mushalla) tanpa dipersulit mengurus izin IMB-nya
Perkembangan sejarah menunjukkan, semakin lama komunitas Muslim semakin bertambah besar pengikutnya bukan karena beranak-pinak, tetapi karena banyak para migran pendatang baru. Para pedagang saudagar Muslim dari Pasai, Gujarat, China, dan Arab banyak yang menetap di pesisir utara Jawa. Komunitas Islam ini lalu semakin kuat. Sementara Majapahit makin loyo dan pudar pamornya.
Pada saat itulah, kemudian Kerajaan Demak Bintoro berdiri kokoh, sedangkan Kerajaan Majapahit runtuh. Islam mulai banyak pengikutnya dan hampir tanah Jawa dan Nusantara menjadi warna Islam. Gerakan dakwah Islam terus dijalankan para ulama pada zamannya. Sebuah gerakan dakwah yang sejuk, damai dan cantik. Sebuah gerakan dakwah yang mempertimbangkan aspek sosiologi dakwah, psikologi dakwah, serta menghimpun potensi kearifan lokal, kearifan nilai agama dan bukan menonjolkan klaim pembenaran terhadap agamanya sendiri. Gerakan yang diteruskan dan diarsiteki oleh 9 pemakarsa dakwah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Wali Songgo. Sebenarnya sepuluh, karena kita sudah kadung menganggap dan melupakan Syekh Siti Jenar.
Demikian kebinekaan konsep negara dan ke-ukhuwahan konsep beragama menjadi hal yang berharga dan dijaga oleh bangsa dan masyarakat sebelum negara Indonesia ini merdeka. Akhirnya, sebaran agama Islam lambat laun berkembang ke seluruh pelosok Nusantara sampai sekarang ini.{*}
*) Penulis adalah sosiolog dan pemerhati kebijakan publik, serta akademisi, tinggal di Gresik.







