Oleh HAMIM FARHAN
Kaum muda selain condong memiliki hobi yang berifat rekreatif dan kegiatan bersifat hiburan, mereka juga layak menjadi pelopor aspek pembangunan dan perubahan. Dengan demikian, mereka tidak hanya bisa bernaung pada lembaga kedinasan pemuda dan olah raga, seperti pemeo masa lalu. Itu pun agar mereka tidak sekadar menjadi instrumen politik pembangunan, tetapi bagaimana dijadikan landasan basis pembangunan itu sendiri.
Dalam wacana kepemudaan, biasanya selalu muncul romantisme kesejarahan akan peran vital pemuda Indonesia dalam pergerakan Indonesia. Para pemuda umumnya merujuk peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, perjuangan kemerdekaan tahun 1945, termasuk gerakan penumpasan PKI tahun 1965.
Khusus mengenai peran pemuda pada tumbangnya Orde Baru banyak “dipertanyakan”. Romantisme terhadap heroisme dan dalam beberapa hal mendekati kenekatan sesuatu yang amat penting. Terlebih ketika keadaan lawan kerap digambarkan sebagai sebuah tembok raksasa yang harus dijebol.
Tetapi, heroisme saja tidak cukup ketika yang dihadapi adalah sebuah keadaan dalam era globalisasi. Tuntutan keadaan era globalisasi jauh berbeda dengan era sebelumnya. Globalisasi tidaklah tepat jika digambarkan sebagai sebuah tembok. Ia adalah sebuah keadaan, yang di dalamnya persaingan bebas dalam berbagai bidang kehidupan harus diterima sebagai sebuah kenyataan.
Jika di era pergerakan Indonesia tersebut dibaca dalam dikotomi hitam-putih, lawan dan kawan secara tepat dapat digunakan, maka pada era globalisasi tidak lagi begitu. Dalam masa ini orang lain didefinisikan sebagai pesaing bagi diri sendiri. Siapa yang mampu memenangkan persaingan, maka ia akan survival. Sebaliknya, yang kalah harus siap tenggelam.
Pesaing itu sendiri datang dari seluruh penjuru dunia dan secara bertahap harus dihadapi masyarakat Indonesia, termasuk pemuda di dalamnya. Secara berturut-turut bangsa Indonesia akan menghadapi persaingan bebas di bidang perdagangan ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan World Trade Organization (WTO). Hal ini berarti untuk dapat survival dalam persaingan yang seimbang, kualitas sumber daya manusia Indonesia harus setara dengan bangsa-bangsa lain, apalagi kalau mau memenangkan persaingan.
Dalam konteks ini, tak kalah pentingnya bagi pemuda memiliki kecepatan merumuskan visi dan reposisi perannya. Kritik terhadap kecilnya peran pemuda pada era transisi demokrasi, mulai dari kejatuhan kepemimpinan Soeharto hingga menjelang konsolidasi, dibanding dengan peran mahasiswa, merupakan cermin dari kelambanan pemuda dalam merumuskan visi dan reposisi peran secara tepat. Jika pemuda diharapkan mampu tampil di garda depan menghadapi globalisasi, maka perumusan visi dan reposisi perannya secara tepat menjadi sebuah keharusan. Diperlukan kesunguhan untuk mengubah kesan umum posisi peran pemuda dari alat kekuasaan di era Orde Baru ke posisi alat kehidupan bangsa dan negara sesuai dengan konteks kesejarahannya.
Untuk dapat memenangkan persaingan diperlukan kualitas SDM yang memiliki keunggulan dari sisi intelektual, kepribadian, dan keterampilan. Intelektual diperlukan, karena persaingan memerlukan kecerdikan dan kreativitas. Keterampilan diperlukan agar mampu menghasilkan atau melaksanakan sesuatu secara efektif dan efisien. Sementara kualitas kepribadian diperlukan karena persaingan memerlukakan kekokohan jiwa dan mentalitas untuk bersaing secara fair dan kemungkinan bekerja sama dengan semua pihak.
Sayangnya untuk membangun manusia seperti tersebut bukan pekerjaan ringan dan singkat. Pepatah Jepang mengingatkan, bahwa kalau hendak menuai dalam tiga atau empat bulan ke depan, maka tanamlah padi. Jika hendak menuai satu tahun ke depan, tanamlah tebu. Jika hendak menuai empat sampai sepuluh tahun ke depan tanamlah kelapa. Sementara jika hendak menunai dua puluh lima sampai tiga puluh tahun ke depan, maka tanamlah manusia.
Perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa memang selalu memerlukan waktu panjang, tidak kurang satu generasi. Para peserta yang kini hadir dan telah menjadi “orang” ini adalah tanaman dua puluh tahun atau mungkin lebih. Itulah sebabnya, komitmen untuk menyiapkan generasi sering diidentikkan dengan komitmen pada kehidupan. Karena pada hakikatnya komitmen tersebut merupakan perwujudan dari kesanggupan untuk menyiapkan kehidupan di masa mendatang yang lebih baik.
Sebagai contoh, kemunculan para politisi muda pada pemilu 1999, pada dasarnya adalah buah dari persemaian lima belas hingga dua puluh lima tahun sebelumnya. Seperti disaksikan pemilu ‘99 telah memunculkan politisi muda yang tampil ke permukaan karena kemampuannya menembus proses persaingan secara alamiah. Berbeda dengan periode sebelumnya, kemunculan para politisi muda waktu itu kerap diidentikkan dengan koneksitas. Pertanyaannya, apakah persemaian mereka itu secara sadar memang dirancang untuk itu atau terjadi karena kebetulan?
Komitmen pada kehidupan masa mendatang mengharuskan kita untuk secara serius memikirkan calon generasi yang akan mengambil tampuk kehidupan. Kita harus memahami kemungkinan tantangan yang akan dihadapi, kesiapan mereka kini menghadapi tantangannya, dan kemudian merumuskan sikap dan tindakan yang tepat guna mendukung kesiapan generasi tersebut memasuki era mereka, yaitu era globalisasi. Dengan cara demikian, maka diharapkan para pemuda mampu memenangkan persaingan era global. Dengan demikian, sebuah daerah dengan sendirinya akan memiliki daya saing yang tinggi.
Pemuda Jadi Pusat Perhatian
Perbincangan tentang pemuda memerlukan penegasan, siapakah yang dimaksud dengan pemuda? Dalam tradisi Pemuda Muhammadiyah, misalnya, pemuda adalah mereka yang berumur kurang atau sama dengan 40 tahun. Sudah tidak dapat dikategorikan remaja, kira-kira usia 23 tahun hingga 40 tahun.
Jika batasan usia ini digunakan, maka akan ditemukan pemuda Indonesia dalam potret yang amat beragam. Di antara mereka ada yang bergabung dalam organisasi kemasyarakatan dan profesi, disamping ada yang tidak bergabung. Dari sisi pekerjaan, ada yang telah bekerja dan ada yang belum bekerja. Dari sisi kepempimpinan, ada yang menjadi pemimpin dan yang dipimpin, ada yang menjadi tempat bergantung dan ada yang bergantung.
Dari sisi pendidikan juga beragam, dari tidak lulus Sekolah Dasar (SD) hingga S3. Mereka itu pulalah yang memiliki kualitas SDM rata-rata dunia pada peringkat ke-109. Mereka seperti hasil studi International Educational Achievement (IEA), termasuk siswa SD yang rata-rata kemampuan membacanya pada urutan 38 dari 39 negara. Siswa SLTP yang kemampuan matematikanya pada urutan ke-39 dari 42 negara dan kemampuan IPA-nya pada urutan 40 dari 42 negara. Meski harus diakui, di antara mereka ada yang termasuk kualitas SDM unggulan.
Perhatian terhadap pemuda selayaknya ditujukan kepada mereka yang belum sukses secara ekonomi maupun sosial, atau kepada mereka yang memiliki potensi sukses. Kepada mereka yang telah sukses, dalam tingkatan tertentu layak juga memperoleh perhatian agar mampu sukses lebih besar. Secara umum untuk dapat meraih sukses hidup, ada beberapa kendala yang melilitnya, terutama hambatan kultural, politis, dan sosial. Hambatan inilah yang harus direduksi melalui berbagai cara.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Dalam kerangka tersebut, apa yang telah menjadi obsesi Propenas (Undang-undang RI nomor 25 tahun 2000) dan arah kebijakannya cukup tepat. Arah yang dimaksud adalah:
1) mengembangkan iklim yang kondusif bagi generasi muda dalam mengaktualisasikan segenap potensi, bakat, dan minat dengan memberikan kesempatan dan kebebasan mengorganisasikan dirinya secara bebas dan merdeka sebagai wahana pendewasaan untuk menjadi pemimpin bangsa yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, patriotis, demokratis, mandiri dan tanggap terhadap aspirasi rakyat, 2) mengembangkan minat dan semangat kewirausahaan di kalangan generasi muda yang berdaya saing, unggul dan mandiri, dan 3) melindungi segenap generasi muda dari bahaya destruktif, terutama bahaya penyalahgunaan obat terlarang.
Logika arah Propenas ini jelas, yaitu mendorong minat, memberikan iklim dan melindungi mereka dari bahaya yang mengancam potensi pemuda. Logika ini tentu saja didasari pemahaman, bahwa pontesi pemuda sudah cukup siap bersaing secara global.
Sebagai produk alam demokrasi, Propenas adalah sesuatu yang ideal. Hanya saja, perlu segera ditambahkan, bahwa kondisi riil pemuda belum sepenuhnya dapat diperlakukan demikian. Kerendahan potensi memerlukan sentuhan tidak sekadar membangkitkan minat. Suasana yang tidak memberikan kesempatan bersaing secara fair di masa lampau bagi sementara pemuda untuk dapat segera turun gelanggang memerlukan pemanasan yang tidak singkat. Kerapuhan kaki mereka tentu saja masih sangat rentan jika harus bersaing dengan dunia luas.
Meski cukup lambat, jika dibanding dengan kedatangan globalisasi ekonomi, untuk mendorong dan memberikan peluang kepada pemuda, beberapa langkah transisional yang dapat dilakukan oleh pemerintah (kota/daerah) adalah:
- Menyusun peta potensi pemuda yang ada. Peta ini dapat dibuat dengan berbagai kategori, misalnya: jenis pekerjaan, tingkat kesuksesan, basis sosial dan organisasi, basis politiknya, juga pendidikan mereka.
- Berdasarkan peta tersebut, maka dapat dikembangkan berbagai pilihan program, di antaranya pemberdayaan bagi mereka yang memiliki hambatan kultural, perluasan akses bagi mereka yang memiliki potensi sukses, pembukaan akses ekonomi politik bagi yang belum memiliki akses.
- Program tersebut dilakukan dengan prinsip: mengakui potensi dan prestasi yang sudah ada dengan keragaman interes dan kebutuhan, memberikan peluang kepada yang sudah mampu, menolong yang belum mampu (di sinilah istilah pemberdayaan itu tepat) dan mempercepat yang sudah berjalan dengan menciptakan persaingan yang fair. Dalam mengimplemantasikan langkah tersebut, jangan sampai terjebak pada paradigma yang menempatkan pemuda sebagai alat kekuasaan. Diperlukan keikhlasan untuk menempatkan dan mendorong pemuda sebagai pengabdi kehidupan.
- Khususnya bagi pemerintah daerah (Pemda), selain peran politis melalui kebijakan afirmatif, peran-peran kultural semacam pemberian penghargaan,masih cukup menarik. Hanya saja dimensi kesuksesan dan kepeloporannya perlu diperluas. {*}
*) Penulis adalah sosiolog dan pemerhati kebijakan publik, serta akademisi, tinggal di Gresik.







