Oleh Moh. Husen
Minggu-minggu ini beberapa media online ramai memberitakan kasus dugaan bullying hingga terjadi perkelahian dua siswa SMP Negeri di Banyuwangi, Jawa Timur, yang ujungnya ada korban masuk rumah sakit dan melakukan pelaporan ke polisi.
Saya tidak menyebutkan nama sekolahnya secara detail, bukan untuk melindungi nama baik sekolah. Namun, terus terang saja, saya agak “malas” dengan sekolah.
Bukan berarti saya antisekolah. Akan tetapi, kesan saya pada sebagian besar sekolah (tidak semuanya) adalah sekolah merasa seakan-akan Tuhan yang tidak bisa salah. Yang membunuh proses demokrasi paling pagi adalah sekolah. Ada wali murid usul sedikit saja, asalkan bertentangan dengan kemauan sekolah: ia segera dicap suka cari perkara.
Sekolah, terutama sekolah negeri, seolah-olah tak pernah mengkhianati aturan yang dibuatnya sendiri. Terutama yang paling kentara adalah menerima siswa dari pintu belakang dengan harga kasak-kusuk per-bangku bisa sampai 10 jutaan rupiah. Dan, hampir tidak ada wali murid memberikan cap bajingan kepada mereka, meskipun wali murid tahu perihal pintu belakang.
Mereka tidak pernah mencerminkan sikap “rendah hati” sedikit pun, apalagi sikap pernah dan bisa salah, sehingga mereka benar-benar merasa sok suci. Sekurang ajar apa pun sikap dan kebijakan mereka, mereka selalu mantap dengan perasaan tak bisa salah. Maka, mereka tenteram salat 5 waktunya. Mereka tidak gelisah apa-apa. Yakin sedang salih dan salihah.
Pokoknya begitu masyarakat menyebut mereka dengan panggilan guru, kepala sekolah, apalagi–mohon maaf–pak haji dan bu haji, mereka menjadi yakin betul tidak bisa salah, tidak mungkin bodoh, dan pasti pintar. Bisa-bisa kita orang kecil yang suka begadang di warung kopi ini malah dikecam: “Guru kok dianggap mungkin bodoh dan bisa salah, ya gak mungkin dong!”
Namun, sekali lagi, tidak semua pihak sekolah seperti ini.
Di sekolah yang lain, saya menjumpai kepala sekolah rapat dengan wali murid, sang kepala sekolah malah tidak membuka ruang tanya jawab dengan wali murid. Padahal pihak nomor satu yang harus mengetahui secara langsung suara wali murid adalah kepala sekolah, yang nantinya dalam mengambil kebijakan tidak berdasarkan “bisik-bisik” dari pihak lain.
Mungkin para psikolog akan menguraikan sedemikian rupa berbagai faktor seorang anak melakukan bullying kepada temannya. Sedangkan tulisan ini sekedar tegur sapa bahwa sekolah beserta lembaga terkait, termasuk dinas pendidikan, hendaknya tidak abai dengan berbagai masukan dari berbagai pihak terkait kasus bullying dan perkelahian yang berujung rumah sakit ini.
Sekolah boleh beralasan apa saja, namun hendaknya juga mendengar komentar para tokoh, misalnya mengenai lemahnya kontrol pengawasan dari pihak sekolah. Serta para wartawan dan lembaga swadaya masyarakat yang datang tanya ini itu ke sekolah, mohon jangan terlalu ngawur dengan menganggap mereka adalah pihak-pihak yang suka cari perkara.
Sekolah bisa salah. Kita semua bisa salah. Oleh karena itu, wajar jika ada pihak yang mengkritik dan mengingatkan. {*}
Banyuwangi, 17 Oktober 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







