Oleh Moh. Husen*
Mungkin ekonomi keluarga kita sedang tidak baik-baik amat. Utang tak kunjung usai. Mau cari pinjaman lagi dan lagi, hati kita sudah malu. Namun, kita sudah terbiasa tersenyum, seakan-akan semua baik-baik saja. Termasuk ketika kita bercengkrama membicarakan tema politik di tempat kerja, atau di warung kopi.
Meskipun nasib dompet kita sangat menipis, tapi orang-orang sekitar kita ramai membicarakan pilpres 2024. Gibran anak presiden yang bukan cuma mendapatkan karpet merah, melainkan karpet terbang, sehingga langsung bisa menjadi bakal cawapres Prabowo. Kemudian prediksi Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Kita jadinya terpaksa harus baca-baca informasi, lihat YouTube orang-orang yang kita anggap jernih, supaya kita bisa mengimbangi perbincangan yang terus bergulir dari waktu ke waktu di sela-sela kita menikmati suasana melepas lelah di tempat angkringan atau warkop-warkop kecil di tepi jalan.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman menyodorkan kepada saya kanal YouTube milik Abraham Samad, Rocky Gerung serta beberapa kanal atau channel yang senantiasa membahas isu-isu politik secara aktual. Dia meledek saya sembari tertawa: “Jangan lihat YouTube-nya Cak Nun terus, hehehe…”
Lantas dia melanjutkan sendiri: “Jangan-jangan yang disampaikan Cak Nun dulu itu benar juga ya? Cak Nun bilang kesambet, tapi tidak dijelaskan kesambet setan atau kesambet malaikat.”
Saya pun tersenyum.
Saya iseng-iseng saja menimpali: “Yang disampaikan Eep Saefulloh Fatah dan Feri Amsari di podcast kanalnya Abraham Samad ini sangat menarik, Bung. Kita bisa banyak belajar dari apa yang mereka sampaikan, cara ngomong mereka, cara menjawab, dan lain-lain.”
Eep dan Feri membahas Gibran hingga isu pemakzulan presiden.
Nah, inti yang mau disampaikan kawan saya itu sederhana: ia berharap andai para calon pemimpin, misalnya, caleg mempunyai kanal politik di YouTube, tentu kita makin cerdas. Kita makin mendapatkan edukasi politik. Dan yang terpenting, menurutnya, kita jadi tahu siapa saja para caleg yang berani bersuara kritis dan berakal sehat.
“Maksudnya Sampeyan, kalau para caleg punya kanal YouTube politik, lantas Sampeyan beranggapan caleg yang berakal sehat adalah caleg yang berani bersuara menolak Gibran jadi wapres, sedangkan caleg yang diam, Sampeyan anggap kurang waras akal, gitu ya?” Saya sengaja memojokkan dia.
“Ya nggak gitu juga, Bung, hehehe…” dia berkilah sambil nyengir.
“Sampeyan mau usul, para caleg harus punya YouTube pribadi, gitu ya?”
“Nggak juga, Bung, hehehe…”
“Sampeyan mau beranggapan kalau ada caleg bisa ngomong di YouTube berarti dia caleg pandai dan pantas dipilih jadi legislatif, kalau nggak bisa ngomong di YouTube kayak aku ini, Sampeyan anggap bodoh, gitu ya?”
“Hahahaha…”
Dia ketawa.
“Sampeyan ini kok suka sekali bikin orang kesal. Pemimpin itu harus mendatangi masyarakat, bukan hanya hadir via YouTube. Sampeyan ini ngawur saja. Ayo bayari semuanya ini, kopi dan camilan, hahahaha…”
Dia pun mbayari sembari tertawa. Saya sukses melampiaskan kekesalan saya kepadanya secara “salih”.
Banyuwangi, 1 November 2023.
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







