SURABAYA (RadarJatim.id). Harian Sore Surabaya Post secara resmi sudah terlikuidasi sejak 1 April 2002, tetapi para jurnalisnya tak pernah berhenti berkarya meski keberadaan mereka telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Mereka tetap mengikat diri dalam persaudaraan saklawase (selamanya) lewat jalinan silaturahmi yang kokoh.
Menandai spirit literasi di luar kompetensi mereka dalam memproduksi berita dan genre lainnya dalam jurnalistik, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1446 H, 1 April 2025, 39 wartawan eks-Surabaya Post (SP) meluncurkan karya bersama dalam bentuk buku antologi puisi berjudul Setelah Tanpa Deadline. Buku bertebal 300 halaman ini, rencananya juga di-shoft launching yang dikemas bersama halalbihalal pada Jumat, 18 April 2025 di Surabaya.
“Kebetulan pas Idul Fitri. Dipilih 1 April karena tanggal tersebut sangat bersejarah bagi SP. Bapak A. Azis dan Ibu Toety Azis mendirikan SP pada tanggal 1 April 1953. Lalu setelah 49 tahun, SP dilikuidasi pada tanggal 1 April 2002,” ujar Imung Mulyanto, Project Officer penerbitan buku tersebut dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (4/4/2025).
Buku dengan cover lukisan sampulnya dibuat Yusuf Susilo Hartono, jurnalis eks-Surabaya Post Biro Jakarta ini dibiayai secara swadaya oleh para awak media eks-SP. Setiap penulis mengirimkan 3-5 karya, sehingga totalnya 150 lebih judul puisi tersaji dalam buku ini. Temanya sangat beragam. Demikian pula ragam penelusinnya, ada yang puisi konvensional, puisi naratif, puisi esai, geguritan, parikan, bahkan puisi khas Jepang: haiku dan senryu.
“Setelah Tanpa Deadline dipilih sebagai judul buku lantaran selepas dari SP dan memasuki usia senja, para mantan merasa hidupnya sudah tak lagi di-uber-uber tenggat waktu seperti saat kerja dulu,” tambahnya.
Tjuk Suwarsono yang dianggap “suhu” jurnalistik oleh para wartawan SP dalam catatan pengantarnya menjelaskan, sebagai koran sore, wartawan SP dihadapkan pada pola kerja yang cepat, tidak seperti koran pagi. Himpitan waktu, lanjutnya, butuh pola berpikir dan teknologi serba bergegas, dituntut sigap berpikir dan bertindak rikat. Butuh penulisan beres tanpa editing (presklaar, fit to print), dan nir-kesalahan.
Namun, tandas Mas Tjuk, sapaan akrabnya, yang dikembangkan SP tidak hanya kecepatan. Jurnalisme, menurut dia, adalah sebuah gaya (style), sebuah sikap dan pilihan ekspresi, bahwa komunikasi tak berhenti sebatas narasi atau sajian visual. Jurnalisme adalah cara jurnalis menjalani proses pembudayaan (civilization) diri sendiri maupun warga pembacanya. Harus tercipta serangkaian proses mendidik masyarakat dengan jujur, santun, akurat, dan rendah hati. Berita bukan sekadar menu untuk perut, melainkan santapan otak dan rokhani.
“SP waktu itu memilih jurnalisme yang peduli, berempati dan rendah hati, semata didorong kesadaran wartawan sebagai penghidang berita, bukanlah manusia tanpa cacat. Di sadari, bahwa di luar sana selalu ada yang lebih baik. Wartawan, sebagaimana profesi lainnya, terbebani dan bahkan terbentuk oleh perilaku sehari-hari,” kata Mas Tjuk, salah satu anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur (YPWJT) yang membawahkan Stikosa-AWS.
Sementara M. Anis, wartawan senior SP yang dulu laporan-laporannya dikenal sangat fenomenal dalam catatan pengantarnya mengatakan, sebenarnya silaturahmi yang dimaksud di dalam buku puisi ini lebih merujuk kepada silaturahmi intelektual. Ini kebiasaan yang dulu selalu dilakukan para wartawan SP.
Mengenai relasi antara berita dan puisi, menurut Anis yang sebelum menjadi wartawan dikenal sebagai penyair, puisi itu seperti sebongkah batu. Agar lebih tepat menggambarkannya, dalam bahasa Jawa: wungkul, utuh, sekaligus personal. Sedangkan berita seperti sebongkah tanah liat. Bisa dibentuk apa pun, asal masih dalam koridor kaidah jurnalistik. Bahkan bisa dikerjakan beramai-ramai.
“Bagi penyair, menulis puisi tidak sesulit menulis berita. Bagi wartawan, menulis berita tidak sesulit menulis puisi. Tapi bagi saya, sungguh, menulis catatan pengantar ini ternyata jauh lebih sulit dari keduanya. Jadi harap maklum,” ujarnya bercanda.

Tribute to SP
Imung Mulyanto menjelaskan, sejak SP dilikuidasi pada 2002, para mantan awak media SP semburat, berkiprah dan berdiaspora di berbagai lembaga. Ada yang mendirikan media baru, bergabung dengan media besar, menjadi dosen, pengusaha, konsultan, dan lain sebagainya.
“Sepak terjang para mantan SP kemudian mewarnai dunia pers di Indonesia. Namun mereka masih aktif menjalin silaturahmi dalam ikatan keluarga besar SP,” ujarnya.
Pascapenerbitan buku antologi puisi Setelah Tanpa Deadline ini, segera menyusul buku kumpulan esai yang judulnya Menunggu Deadline. Maksudnya, menunggu panggilan Illahi. “Kali ini baru soft launching. Malah sudah dua kali. Pertama saat buka puasa bersama tanggal 16 Maret lalu di kediaman Mas M. Anis di kawasan Ampel Surabaya,” kata Imung.
Kedua buku tersebut rencananya akan grand launching pada pergelaran acara “Tribute to SP” yang akan dihelat dalam waktu dekat. Dalam kesempatan itu juga akan diterbitkan Harian Sore Surabaya Post Edisi Khusus sebagai kenangan, bahwa di Surabaya pernah ada media legendaris.
Acara tersebut dirancang sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan bagi SP yang ibarat kampus, berhasil menelorkan lulusan yang tangguh. Hajatan ini selain melibatkan para mantan SP, juga mantan mitra dan pelanggan yang ikut membesarkan SP kala itu.
Ditamnahkan, sebagai bentuk penghormatan, buku ini juga memuat karya awak media SP yang sudah wafat, yakni RM Yunani Prawiranegara dan Syirikit Syah. Karya Yunani yang ditulis menjelang wafat terasa sangat liris dan sublim. (sha)







