Oleh Siti Rohmatus Sholikhah
Mendengar istilah administrasi publik, kebanyakan orang berpikirnya pasti tentang layanan negara untuk rakyat. Tetapi, kenyataannya tidaklah selalu begitu. Di lapangan, pengelolaan administrasi publik justru sering terjebak pada kesibukan mengurusi sistem dan prosedur ketimbang fokus melayani masyarakat.
Di Indonesia, urusan birokrasi umumnya masih penuh aturan yang ribet dan cenderung muter-muter alias mbulet. Proses pelayanan bukannya berlangsung cepat dan gampang, sehingga membuat nyaman yang dilayani. Sebaliknya para pegawai atau petugas yang melayani banyak menghabiskan waktu untuk menangani ceklis, laporan, dan dokumen yang sebenarnya lebih bersifat formalitas.
Hal-hal seperti ini tidak langsung nyambung dengan kebutuhan masyarakat yang menghendaki proses layanan bisa cepat. Makanya, wajar jika kemudian memunculkan pertanyaan: sebenarnya layanan publik ini ada buat bantu rakyat, atau cuma buat jaga-jaga supaya sistem birokrasinya tetap jalan?
Cara kerja birokrasi yang cenderung kaku dan kurang merespon terhadap berbagai keluhan publik, meninggalkan kesan, bahwa masyarakat cuma dianggap penerima, bukan bagian dari solusi. Bahkan, masukan dari masyarakat terkadang malah dianggap gangguan. Padahal, mestinya itu bisa jadi bahan evaluasi untuk perbaikan layanan. Pada gilirannya, pelayanan yang seharusnya berorientasi pada penyesuaian kebutuhan warga yang dilayani, malah terjebak pada pola yang kurang fleksibel.
Padahal, di zaman sekarang pemerintah seharusnya bisa lebih responsif dan terbuka. Layanan publik idealnya dibentuk berdasarkan apa yang dibutuhkan masyarakat, bukan kaku dan bersifat prosedural karena berdasar sistem yang baku dan kaku. Banyak kendala justru datang dari pemberlakukan sistem yang kurang adaptif dan fleksibel. Aturannya terkesan tumpang tindih, antarlembaga tidak sinkron, dan pengawasannya lebih fokus pada urusan administrasi daripada hasil konkret bagi masyarakat.
Lebih parahnya lagi, banyak pegawai menjadi takut mengambil inisiatif, karena khawatir melanggar aturan. Akhirnya, mereka pun lebih memilih cara aman, mengikuti prosedur saja, meski sebenarnya bisa mencoba cara yang lebih baik dan fleksibel dalam melayani masyarakat.
Karena itu, untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat, saatnya berubah. Layanan administrasi harus lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat yang dilayani. Kalau mau berubah, cara pikirnya juga harus diubah. Administrasi publik harus kembali ke niat awal, yakni melayani rakyat. Gimana caranya? Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan.
- Sederhanakan birokrasi, potong tahapan proses yang dianggap tidak penting, utamakan hasil, bukan tumpukan dokumen.
- Nilai kinerja dari dampaknya. Ini bisa dilakukan dengan mengevaluasi kinerja pegawai dari seberapa besar manfaatnya buat masyarakat.
- Ajak masyarakat terlibat, bukalah ruang buat warga menyampaikan kritik konstruktif untuk mengawal langsung proses layanan publik.
- Ubah budaya kerja, caranya dengan mendorong pegawai biar berani bermikir kreatif dan terus mencari solusi, bukan sekadar menjalani aturan.
Lebih dari itu, penting juga meningkatkan literasi publik terkait hak-haknya dalam mendapatkan pelayanan yang optimal. Banyak warga yang sebenarnya tidak mengetahui, bahwa mereka berhak mendapatkan pelayanan yang cepat dan tepat. Pemerintah juga harus aktif jemput bola, bukan cuma menunggu laporan.
Administrasi publik tidak hanya fokus pada efisiensi, tetapi juga pada rasa empati publik. Apa artinya sebuah sistem yang diselenggarakan jika masih ada warga yang menghadapi kesulitan dalam mengurus dokumen dasar mereka?
Perlu dipahami, bahwa tujuan utama dari semua layanan adminitrasi publik ini adalah kesejahteraan masyarakat. Jika kebijakan hanya sekadar berdasar angka dalam laporan, dan warga tetap sulit mendapatkan akses layanan, itu menunjukkan ada yang tidak beres.
Oleh karena itu, pegawai publik seharusnya dilengkapi dengan lebih dari sekadar keterampilan teknis. Mereka juga perlu memiliki sikap humanis dan kepekaan terhadap kondisi sosial. Apabila setiap orang dalam sistem ini memiliki kesadaran tersebut, barulah dapat dikatakan, bahwa administrasi publik benar-benar ada untuk melayani masyarakat. Sekarang bisa direnungkan, apakah sudah siap untuk membangun sistem yang benar-benar mengutamakan mesyarakat yang dilayani?
Salah satu penyebab mengapa administrasi publik terasa terputus dari masyarakat adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Banyak keputusan yang diterima masyarakat tanpa adanya penjelasan yang tuntas. Proses pembuatan kebijakan sering berlangsung di balik pintu tertutup, tanpa keterlibatan masyarakat yang memadai. Padahal, transparansi tidak hanya berkait dengan keterbukaan data, tetapi juga komunikasi yang jujur dan jelas tentang apa yang dilakukan.
Akuntabilitas tetap menjadi masalah besar. Ketika terjadi kesalahan dalam layanan, jarang ada pihak yang benar-betul bertanggung jawab. Masalah sering dipindahkan antarinstansi dan masyarakat harus bersabar menunggu tanpa kepastian. Ini menunjukkan, bahwa sistem tersebut belum memiliki mekanisme yang efektif untuk melakukan perbaikan.
Masalah lain yang muncul adalah ketidaksetaraan dalam memperoleh layanan. Masyarakat yang berada di daerah perkotaan cenderung memiliki akses yang lebih cepat dan mudah terhadap layanan publik. Kondisi ini berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau wilayah yang kurang berkembang. Padahal, kebutuhan mereka sama-sama mendesak dalam menerima layanan.
Ironisnya, sering masyarakat yang paling membutuhkan layanan justru menjadi yang paling terpinggirkan. Apakah itu disebabkan oleh jarak yang jauh, minimnya infrastruktur, atau karena kerumitan birokrasi yang tidak bersifat inklusif?
Pemerintah harus memahami, bahwa layanan yang adil bukanlah tentang memberikan hal yang sama untuk semua, melainkan tentang memenuhi kebutuhan secara individu. Harapan untuk ke depannya, bagaimana terwujud pelayanan yang benar-benar berpihak pada masyarakat, bukan hanya tunduk pada proses yang bersifat administratif atau prosedural. (*)
*) Siti Rohmatus Sholikhah, Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.







