JAKARTA (RadarJatim.id) — Biennale Seni Rupa Anak Indonesia (Kids Biennale Indonesia) 2025 mulai dibuka untuk undangan khusus, Kamis (3/7/2025). Sementara untuk publik, pameran baru dibuka mulai Jumat (4/7/2025), pukul 15.00 WIB dan berlangsung hingga 31 Juli 2025, pukul 09.00 – 19.00 WIB, di Galeri Nasional Indonesia (Galnas), yang menempati gedung B dan D.
Sanggar DAUN terlibat dalam pameran ini. Dua anak DAUN tampil sebagai pameris di antara karya-karya seni rupa anak lainnya dari seluruh Indonesia. Salah satu karya yang tampil dalam pameran ini adalah lukisan Kurikulum Boneka karya Isabell Roses, asal Gresik, Jawa Timur.
Hasil karya remaja kelahiran 31 Juli 2011 yang tahun ini berusia 14 tahun, diselesaikan tahun 2025, dengan media Gouahce pada kanvas, ukuran 60 x 70 Cm.
Pada 8-13 September 2024 tahun lalu, di Galeri Merah Putih kompleks Balai Pemuda Alun-alun Surabaya, Isabell Roses telah menggelar pameran tunggalnya yang pertama dengan judul “ISABELL ROSES: GEN Z MENJELAJAHI LAWASAN”.
Ia menampilkan 18 karya media cat air dan akrilik pada kanvas dalam berbagai ukuran yang dikerjakan dengan teknik realis yang sangat baik untuk ukuran anak seusianya. Tema karya-karyanya tentang permainan anak zaman dulu, tradisi lokal Indonesia, khususnya masyarakat Jawa dan Madura, serta dogeng rakyat.
Menurut Arik S. Wartono, Kurator Seni Rupa Anak, Pendiri dan Pembina Sanggar DAUN, melukis sejak usia 4 tahun, Isabell Roses adalah anak Sanggar DAUN yang terbaik dalam teknik realis, sampai hari ini belum ada yang mengungguli kemampuan teknik realisnya Isabell, sejak anak DAUN generasi awal sampai hari ini.

Isabell Roses dan karyanya.
Isabell Roses yang saat ini bersekolah kelas 8 di UPT SMPN 24 Gresik (baru naik kelas 2 SMP) merupakan putri dari pasangan Fakhrudin Mawardi dan Dian Handayani. Isabell Roses berdarah campuran Kecamatan Cerme dan Bawean, Gresik.
Konsep Karya Kurikulum Boneka
Arik menjelaskan, dalam konsep karya Kurikulum Boneka, seorang anak nampak tekun belajar di dalam ruang mungil nan teratur, dan nampak terlalu teratur. Ruang miniatur itu seperti panggung, tempat ia menjadi pemeran utama yang tidak bebas. Dari atas, sepasang tangan besar mengendalikan geraknya dengan benang seperti boneka. Ia tersenyum, tapi senyum itu mengandung ironi: Senyum dari seseorang yang tak benar-benar merdeka.
Dengan latar biru-ungu seperti semesta (universe) yang megah dan ruang sempit yang membatasi, karya ini menyampaikan kritik tajam terhadap sistem pendidikan yang terlalu kaku, terlalu mengatur, terlalu mendikte. Kurikulum Boneka adalah refleksi dari suara-suara muda yang sering terbungkam, yang dibentuk sesuai cetakan, bukan diberi ruang untuk tumbuh alami.
“Lukisan ini bukan sekadar visual, melainkan jeritan halus dari generasi yang ingin bebas menjadi dirinya sendiri. Apakah pendidikan kita membebaskan, atau justru menjadikan anak-anak sebagai boneka dalam rumah kaca? Apakah mungkin anak tumbuh tanpa takut, jika tiap langkahnya dikendalikan oleh tali tak terlihat?” ungkap Arik.
Dalam karya ini, sambung alumni Unesa ini, seorang anak duduk di dalam ruang miniatur, dikelilingi buku-buku dan simbol rutinitas anak-remaja. Sementara dua tangan besar dari langit menggerakkannya seperti boneka. Senyumnya manis, tapi penuh tanda tanya, apakah itu senyum kebahagiaan, atau sekadar topeng dari sistem yang mengatur segalanya?
Ditambahkan, Kurikulum Boneka adalah suara lirih yang mewakili anak-anak yang tumbuh dalam tekanan ekspektasi, dalam sistem pendidikan yang lebih sibuk mencetak, bukan memeluk. Mereka belajar, bukan karena cinta pengetahuan, tetapi karena takut salah, takut gagal, takut tidak sesuai kurikulum.
“Dalam lukisan ini, Isabell Roses mengajak merenung: bisakah kita menciptakan ruang belajar yang membebaskan, bukan mengikat? Tempat anak-anak bisa tumbuh, bukan diatur? Bermimpi, bukan hanya menuruti? Karena tumbuh seharusnya tak butuh takut. Hanya butuh dipercaya, dan diberi ruang,” pungkasnya. (har)







