SIDOARJO (RadarJatim.id) – Suhu politik di Kabupaten Sidoarjo terus memanas dan seakan-akan tidak bisa dipadamkan, karena pihak-pihak yang bertikai tidak juga menurunkan egonya masing-masing.
Panasnya suhu politik pertama kali muncul dengan statemennya H. Bupati Sidoarjo terkait statemennya yang mengatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menghambur-hamburkan uang.
Sebagian besar anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo meradang dengan menuntut Bupati Subandi untuk melakukan klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka melalui media online serta media sosial (medsos).
Bupati Subandi sudah meminta maaf secara terbuka, namun permintaan maaf itu dianggap tidak tulus dan ikhlas sehingga beberapa kali rapat Pandangan Akhir (PA) fraksi-fraksi DPRD Sidoarjo tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati Sidoarjo 2024 tidak memenuhi kuorum.
Beberapa kali rapat paripurna PA fraksi-fraksi yang tidak kuorum itu disambut Bupati Subandi dengan mengatakan akan mengeluarkan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang Peraturan Daerah (Perda) LKPj 2024.
Ternyata statemen Bupati Subandi yang akan mengeluarkan Perkada itu tidak mampu mendinginkan suasana, bahkan semakin menyulut kemarahan sebagian besar anggota DPRD Sidoarjo.
Puncaknya pada rapat paripurna tanggal 16 Juli 2025 lalu, ada 5 fraksi di DPRD Sidoarjo yang menyatakan menolak dan 2 fraksi yang menyatakan menerima dengan catatan LKPj Bupati Sidoarjo 2024.
Bahkan ada 7 partai politik (parpol) yang akhirnya membuat koalisi baru dengan nama Koalisi Sidoarjo Maju, yaitu Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, NasDem, PKS, PPP dan PDI-P.
Dr. Jamil, SH, MM, Ahli Hukum Tatanegara dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya mengatakan bahwa adanya implikasi hukum maupun politik atas penolakan tersebut, Minggu (20/7/2025).
“Secara sederhana LKPj merupakan laporan kinerja yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah selama 1 tahun anggaran. Laporan ini memuat hasil penyelenggaran urusan pemerintah dan wajib dilaporkan kepada DPRD (Sidoarjo, red) melalui sidang paripurna,” katanya.
LKPj akan diformalkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) manakala proses pembuatannya sudah terpenuhi semua. Namun, apabila Raperda yang berisi LKPj tersebut ditolak dalam pembicaraan tingkat 2 atau tingkat pengesahan.
“Maka, Reperda itu tidak dapat dibahas kembali dalam masa sidang tersebut. Raperda itu hanya dapat dibahas kembali dalam masa sidang berikutnya,” tambahnya.
Dosen Fakultas Hukum Ubhara Surabaya tersebut menyampaikan bahwa LKPj merupakan dokumen wajib yang harus dibuat oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Serta diatur secara khusus dengan 3 produk hukum pemerintah pusat, yaitu di Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri dalam Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2020.
Bahkan bagi Pemda yang tidak menjalankan kewajiban memberikan LKPj diberikan kewenangan kepada DPRD, sesuai dengan tingkatannya untuk menggunakan hak interplasinya sebagaimana termaktub dalam pasal 73 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014.
“Penolakan LKPj ini tidak bisa dianggap enteng. Secara politik, dia bisa menjadi bola liar yang akan terus menggelinding. Dan, bukan tidak mungkin bergerak kearah penggunaan hak-hak DPRD, seperti hak interplasi, hak angket hingga hak menyatakan pendapat,” terangnya. (mams)







