SURABAYA (RadarJatim.id) – Fotografer Jurnalis senior asal Surabaya Yuyung Abdi meninggal dunia saat menjalani perawatan di RS Unair, Selasa (16/2/2021) pagi.
Fotografer dengan gelar doktor sekaligus Dosen Universitas Airlangga ini meninggal setelah mendapat perawatan intensif karena terpapar COVID-19.
Menurut informasi yang dihimpun, Almarhum Yuyung Abdi dinyatakan positif terpapar COVID-19. Dia harus dirawat di ICU sejak 2 minggu lalu. Meski sempat melewati masa kritis dan membaik, namun kehedak tuhan berkata lain. Almarhum menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 09.00 WIB.
Penulis mengenal betul jurnalis yang menempuh studi S1-S3 di Unair sejak tahun 2000 ini. Beliau jurnalis senior yang ulet dan totalitas dalam mengerjakan tugasnya.
Almarhum Yuyung juga sosok yang rendah hati dan sabar dalam membimbing wartawan baru yang awam bahkan jauh di bawahnya. Doktor lulusan sosiologi bidang fotografi ini pernah menjabat koordinator foto di harian Jawa Pos.
Saat bekerja bersama, beliau lebih sering melempar candaan keakraban, tidak pernah marah. Kami junior malah sering dibimbing dan mendapat ilmu fotografi langsung darinya.
Pesannya yang selalu diingat beberapa kolega jurnalis dalam menghasilkan suatu foto, “Bagaimana foto itu tidak hanya dilihat, Tapi perasaan, hati dan pikiran menyatu di dalamnya”.
Konsisten di Jalur yang Digeluti
Almarhum juga banyak dikenang atas karyanya yang berbau “lokasi prostitusi”. Meski demikian beliau orang yang profesional dan sangat konsisten dalam penelitian dan keseriusannya dalam mengabadikan kisah-kisah dan cerita sosial di balik kehidupan para pekerja lokalisasi yang pernah ada di Jawa Timur, bahkan daerah lain di Indonesia.
Hasil jepretannya seolah berbicara dan berkisah lewat buku foto karyanya seperti “Sex for Sale” dan yang terbaru “Prostitusi 60 Kota di Indonesia”.
Nah, judul buku terakhir ini, penulis pernah merasakan pengalaman sendiri mendampingi perjalanan riset dan investigasi Almarhum Yuyung di kawasan pesisir timur Provinsi Jatim.
Suatu hari tugas kantor datang untuk mendampingi Mas Yuyung peliputan (Jawa Pos) hari jadi Kota Banyuwangi. Tiket pesawat kami sudah disiapkan untuk berangkat, saat itu hari Jumat. Tiba-tiba beliau menolak tiket itu.
Dengan ramah, Mas Yuyung meminta agar bisa berangkat lewat darat saja. Mendengar itu saya agak kecewa, ada fasilitas enak kok ditolak. Namun, hal itu ternyata beralasan buat almarhum. Jumat sore itu kami berangkat dari Kantor Graha Pena Surabaya.
Saat itu, ternyata mobil Inova yang dipakai punya Mas Yuyung sendiri. Mobil yang lebih mirip disebut studio berjalan. Bagian belakang penuh kotak berisi perangkat lighting foto. Di bagian tengah penuh, ada makalah kuliah, buku-buku, kotak lensa tele kamera dan tas kamera. Hanya cukup satu penumpang untuk bisa bergerak nyaman perjalanan jauh Surabaya-Banyuwangi PP.
Alhasil saya duduk di depan, sebelah pengemudi. Ironisnya, saat itu kami tak didampingi sopir khusus. Di perjalanan saya baru tahu, orang yang duduk di balik kemudi ialah narasumber atau informan terpercaya Mas Yuyung.
Dia teman akrabnya Almarhum, seorang mantan preman Dolly yang usianya sudah baya. Kalau tidak salah usianya 60-an saat itu, tapi dia ngaku kuat nyetir jauh. Nyatanya, baru sekitar 50 kilometer perjalanan mobil sudah sliyutan kanan kiri di jalur tengkorak lintas Jatim.
Demi keselamatan bersama, apalagi saya duduk paling depan, saya ambil alih kemudi di sepanjang perjalanan di malam hari.
Selama perjalanan, terungkaplah tujuan perjalanan darat sengaja diambil Almarhum untuk melanjutkan penelitian dan investigasinya. Sambil menyelam, minum air. Apalagi agenda liputan dengan Bupati Banyuwangi masih agak siang di hari besoknya.
Jadilah kami singgahi satu per satu tempat yang notabene dikenal sebagai zona merah (maaf) lokalisasi. Tapi jangan salah mengira. Mas Yuyung sangat profesional dan lihai mengorek informasi dan data. Persiapannya matang. Kamera sudah diset sedemikian rupa. Begitu pula dengan tas untuk menyembunyikan kamera. Bahkan, jepretan kamera bisa membidik dari balik sebuah sarung yang disiapkannya.
Pengalaman itu sangat berarti bagi saya. Perjalanan tiga hari dua malam saya menjadi wartawan merangkap sopir tak terasa melelahkan. Hasil perjalanan investigasi selipan saat itu pula ternyata sudah terjilid dalam sebuah buku foto karya terbaik dan mungkin terakhir dari Almarhum Yuyung.
Terakhir kali, Almarhum berjanji menitipkan satu eksemplar karyanya tersebut kepada saya. Namun, karena kesibukan masing-masing, ditambah kondisi pandemi, beliau justru lebih dulu meninggalkan kita.
Banyak yang bilang, orang baik lebih cepat dipanggil oleh Sang Khalik. Saya bersaksi bahwa almarhum ialah orang yang baik dan rendah hati. Semoga beliau husnul khotimah dan ilmu yang pernah diajarkan ke semua orang menjadi amal yang terus mengalir baginya. Selamat Jalan.
Oleh: Phaksy Sukowati.
Siswi SMP Negeri 3 Sidoarjo Juara 1 Lomba Fotografi Lensa Smanisda 2025
SIDOARJO (RadarJatim.id) -- Kabar gemberi...







