Oleh AHMAD FAIZIN KARIMI
Situs laporcovid-19 merilis angka kematian warga saat melakukan isolasi mandiri (isoman) sebanyak 2.300-an jiwa. Saya yakin jumlah riilnya jauh lebih besar dari angka itu.
Di antara kematian saat isoman yang terjadi, ironisnya tidak sedikit yang baru diketahui ketika jasad penderita sudah membusuk. Mengapa ini mesti terjadi?
Penyebabnya, karena banyak sekali pasien isoman yang tidak mendapatkan kebutuhan sebagaimana layaknya seorang pasien. Apa itu? Di antaranya obat-obatan, logistik (makanan), pendampingan mental, pemantauan status, kebutuhan tambahan (seperti oksigen), serta penanganan jika terjadi kematian.
Isolasi Mandiri bukan berarti kewajiban negara lepas dari warga yang melakukannya. Warga negara melakukan isolasi mandiri, karena sistem layanan kesehatan tidak mampu menampungnya. Ini tidak bisa serta-merta dibiarkan oleh negara, dalam hal ini pemerintah.
Kesehatan merupakan salah satu hak dasar warga. Pasal 28 H ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Catat: berhak memperoleh pelayanan kesehatan! Maka, jika ia berjuang sehat di rumahnya sendiri, negara masih wajib membantunya. “Negara sudah tidak mampu, tidak ada cukup uang dan tenaga untuk mengurusi semua warganya,” alasan ini kerap terdengar.
Alasan itu omong kosong. Bukannya tidak mampu, tapi negara kurang berinisiatif membuat sistem layanan kesehatan darurat yang memadai. Saya termasuk yang tidak percaya negara kehabisan uang. Uangnya ada, namun cenderung digunakan –atau disalahgunakan– secara serampangan.
Petugas lapangan yang bertugas selama ini, saya kira sudah melakukan tugasnya secara maksimal. Persoalannya adalah pada regulasi yang lebih preventif, holistik, dan integratif.
Pertama, soal pilihan isoman atau masuk rumah sakit. Ketika ibu saya dalam kondisi kritis, kami anak-anaknya tidak bisa mendapatkan pelayanan rumah sakit. Semua penuh. Oke, itu bisa dimaklumi dalam situasi seperti ini.
Tapi ada satu kejadian yang mengganjal. Ketika adik saya mendapat konfirmasi tempat di salah satu rumah sakit di Surabaya lalu dengan susah payah kami membawa ibu ke sana, eh begitu tiba di sana ditolak oleh pihak rumah sakit dengan alasan kondisinya kritis. Bukankah pasien dengan kondisi seperti itu yang harus diprioritaskan?
Belakangan muncul berita isu soal permainan rumah “sakit nakal” yang memang lebih memilih pasien ringan, karena lebih rendah risiko, namun klaimnya tetap tinggi.
Kedua, ketika pasien harus isoman, ia tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh negara. Pengalaman ketika saya isoman dengan gejala sedang beberapa waktu lalu, alhamdulillah masih bisa mengakses berbagai kebutuhan pasien. Hal ini karena saya punya jejaring pertemanan dan organisasi yang sigap. Tetapi, bagaimana dengan mereka yang memiliki keterbatasan uang dan keterbatasan akses? Apa saja yang dibutuhkan pasien dan bagaimana seharusnya cara negara hadir?
Meski saya tidak paham dunia medis, namun setidaknya beberapa hal ini harus disediakan.
- Pemantauan kondisi kesehatan. Ini mencakup kondisi tubuh pasien isoman, seperti apakah punya komorbid, berapa saturasi oksigennya, berapa tingkat gula darahnya, kolesterolnya, dan sebagainya.
Saya yakin banyak pasien isoman meninggal karena kurangnya data tersebut sebagai dasar acuan pelakukan tindakan. Beruntung ketika menjalani isoman saya dibantu teman Pemuda Muhammadiyah untuk membeli alat tes gula darah dan oksimeter, sehingga tahu harus seperti apa dan makanan apa yang boleh saya konsumsi selama isoman.
“Tidak mungkin dokter keliling melayani pasien-pasien yang isoman,” mungkin muncul keraguan semacam itu. Maka, di sinilah negara harus hadir. Pelayanan seperti ini bisa dilakukan oleh relawan yang direkrut tim Gugus Tugas tingkat kabupaten. Syukur jika relawan itu punya latar belakang keilmuan medis. Namun, tidak punya pun tidak apa-apa.
Relawan perlu dibiayai dan mendapatkan gaji, serta perlengkapan memadai selama bertugas. Syukur-syukur jika bisa dilakukan tes swab kepada pasien isoman ini. Hasil tes ini bisa memudahkan pasien isoman mendapatkan layanan lain selanjutnya.
Kami sempat kesulitan mendapatkan layanan pemulasaraan standar Covid-19 untuk ibu yang meninggal, karena tidak punya keterangan hasil swab. Bagaimana bisa swab, lha serumah sakit semua, sulit keluar rumah, plus biaya swab yang tentu besar bagi kami yang jumlah keluarganya banyak (ada 12 orang di rumah).
- Layanan diagnosis dan obat. Ini tentu dilakukan oleh dokter. Pasien isoman melaporkan perkembangan kondisi tubuhnya. Lalu oleh dokter, petugas diberi obat sesuai kondisi pasien. Obat ini diantar ke rumah pasien isoman.
Di lapangan, banyak masyarakat yang tidak punya akses informasi, tidak tahu harus beli obat apa dan kalaupun dapat nama obatnya, tidak bisa membelinya ke apotek karena harus dapat resep dokter. Sedangkan dokter tidak mau memberikan resep jika tidak memeriksanya langsung.
- Bantuan logistik makanan. Tentu tidak semua pasien isoman perlu dibantu pemberian makanan. Jika asesmen dari relawan pemantau menyimpulkan pasien isoman tersebut kategori rentan ekonomi, maka perlu diberikan bantuan makanan dan nutrisi selama isolasi.
Cara pemberian bantuannya seperti apa? Menurut saya jangan diberi makanan yang dimasak di dapur umum tingkat kabupaten, bahkan kementerian. Beri kesempatan kepada pedagang makanan di sekitar rumah pasien untuk membuatkan makanan sesuai arahan kebutuhan nutrisi dan kondisi pasien. Selain biayanya lebih murah, lebih praktis, juga memberdayakan masyarakat kecil.
- Penyediaan kebutuhan tambahan (misal oksigen). Saat sakit, saya masih beruntung ada teman-teman Pemuda Muhammadiyah yang sigap mencarikan tabung dan oksigennya. Berkat tambahan oksigen itu kondisi saya membaik drastis.
Tetapi, tidak semua masyarakat punya jaringan yang bisa membantu. Plus tidak semua punya uang untuk membeli tabung, regulator, dan isi oksigennya. Saya heran, mengapa soal tabung, regulator, dan oksigen saja pemerintah tidak bisa mengatasi. Ini kan soal remeh untuk level negara.
Negara atau pemerintah bisa “menekan” industri memproduksi tabung dengan cepat. Lalu soal isinya, kurang pas jika oksigen gratis ditempatkan di kantor pemerintahan, karena itu ada nuansa proyek. Lebih baik, perbanyak jumlah jasa pengisian oksigen. Atur harga jual tertinggi.
Lalu pasien isoman yang sudah terpantau, diberi surat keterangan yang bisa dipakai untuk isi oksigen gratis di mana pun tempat pengisiannya. Biayanya diklaimkan kepada negara. Sekali lagi, ini bisa membantu memberdayakan ekonomi masyarakat.
- Pendampingan mental. Ini penting karena pasien isoman yang terisolasi, secara sosial cenderung berpikiran negatif tentang perkembangan dirinya. Pikiran negatif ini akan memicu penurunan imunnya. Saya pribadi beruntung selama sakit dibantu oleh istri yang punya pikiran positif untuk melakukan percakapan-percakapan afirmasi positif. Juga sempat diberi penguat oleh rekan-rekan RS Muhammadiyah Gresik melalui virtual meeting bersama semua teman aktivis se-organisasi yang sakit.
Rekrut tenaga pendamping mental, dari kalangan agamawan dan psikolog. Sapa pasien isoman dan ajak berpikir positif. Beri mereka advice yang konstruktif. Rekrutmen relawan pendamping mental ini juga menjadi bagian dari pemberdayaan ekonomi, utamanya kepada pemuka agama.
- Layanan penanganan kematian. Kami sempat kesulitan dalam penanganan jenazah ibu. Akhirnya kami putuskan untuk memandikan dan mengafani sendiri. Persoalannya justru pada ketersediaan ambulans untuk membawa jenazah ke pemakaman di desa.
Harusnya soal ketersediaan ambulans ini tidak menjadi masalah. Faktanya banyak warga yang kesulitan akses ambulans. Padahal apa sih sulitnya menambah armada ambulans, atau khusus mobil jenazah? Mobil pemerintah yang bisa disulap jadi layanan semacam itu banyak sekali. Bisa juga dengan menggandeng berbagai elemen masyarakat (ormas atau LSM) dan membuat koordinasi layanan transportasi jenazah.
Kalau mau lebih bernuansa pemberdayaan, buka peluang kepada masyarakat untuk terlibat. Misalnya agensi transportasi yang mengalami kontraksi akibat pembatasan aktivitas masyarakat bisa ikut menyediakan kendaraan plus sopirnya. Tentu harus ada perhitungan biayanya plus standar operasionalnya.
Di tengah kasus kematian Covid-19 yang masih meningkat secara faktual–meski ada isu pengurangan kasus dalam laporan resmi pemerintah– hal-hal di atas perlu segera dilakukan. Negara harus hadir, wajib hadir, karena itu adalah amanat UUD.
Lakukan penanganan yang efektif dan punya dampak ekonomi kepada warga masyarakat, jangan lagi berpikir proyek-proyek untuk elite aparatur sipil negara (ASN) di berbagai tingkatan. Jangan biarkan rakyat kecil berjuang sendiri. Jangan paksa rakyat sehat jika negaranya sendiri yang sakit. Kita harus sehat bersama. Semoga terwujud. (*)
*) Ahmad Faizin Karimi, Ketua Peneliti Faqih Usman Center (FUC)







