Oleh Sabarnuddin*
Mendekati pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang diagendakan berlangbsung pada 27 November 2024, memantik berbagai diskursus. Pilkada telah terjadi berulang kali dan menghasilkan para kepala daerah yang secara kualitatif masih meninggalkan residu bagi daerah yang dipimpinnya.
Esensinya, seorang kepala daerah adalah orang yang secara personal, gagasan, serta relasi mampu memajukan daerahnya dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Nalar utamanya, kepala daerah tentu telah melihat apa yang menjadi persoalan di daerahnya dan gagasan yang ia janjikan pada masyarakatnya. Di sinilah letak determinan yang sebenarnya. Pada akhirnya semua janji yang disampaikan oleh calon kepala daerah berujung pada keputusan rakyat yang menentukan.
Secara kronologis calon kepala daerah yang menawarkan diri dengan berbagai risikonya harus memiliki kontrak kerja sama yang baik dengan partai politik (parpol) yang mengusungnya, kecuali calon independen. Dalam hal ini partai politik sebagai pemberi rekomendasi berhak menentukan kriteria dan konsekuensi kepada calon kepala daerah yang akan diusungnya.
Realitanya, partai politik selama ini hanya sekadar memberikan rekomendasi sebagai syarat untuk mendaftar ke KPU. Idealnya sebagai pengusung dan penentu apakah orang tersebut layak atau tidak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, partai politik harus mampu menilai kesesuaian antara visi misi calon dengan problematika yang ada.
Korelasi antara gagasan dan problematika menjadi acuan utama. faktanya, justru “isi tas” lebih menentukan ketimbang gagasan sang calon. Ini menjadi catatan utama bagi perjalanan pilkada selama ini. Pilkada sebagai ajang mencari keuntungan partai dan ini publik tidak mengetahuinya secara utuh. Sampai kapan praktik ini akan berlanjut dan akankah hal ini menjadi momok yang melekat dalam perjalanan politik tanpa ada usaha untuk mengevaluasi letak kesalahan awal ada pada partai politik?
Dalam UU, yang dapat menurunkan jabatan kepala daerah tidak ada elemen partai politik. Hal ini menjadi ambigu sekaligus disparitas, di awal kepala daerah diminta untuk mendapatkan rekomendasi partai politik, namun dalam perjalanannya saat ini pemimpin partai politik tidak lagi memiliki kuasa atau peran. Berbeda halnya dengan pemilihan anggota legislatif, anggota DPR baik pusat dan daerah dievaluasi kinerjanya oleh partai dan tidak jarang terjadi pergantian antar-waktu (PAW) dan itu menjadi domain partai sepenuhnya. Maka, ketakutan anggota dewan terhadap “pemecatan” mendadak dari partai selalu menjadi ancaman tersendiri.
Dalam pilkada menjadi problem serius yang harus dibenahi, karena hal ini menyangkut hak rakyat dan anggaran negara yang esensinya dapat digunakan untuk membangun berbagai kemajuan di daerah. Para kepala daerah menjadi lebih kuat dan efisien dengan pertanggungjawaban yang konkrie. Utamanya, dalam hal ini partai politik sebagai pengusung atau pemberi amanah untuk didudukkan sebagai kepala daerah.
Setelah memahami berbagai problem dan kepala daerah memiliki tenggat waktu 2-3 tahun untuk menyelesaikannya. Konsekuensi ini menjadi alternatif betapa kepala daerah seolah tidak terpantau oleh publik kinerjanya dan merasa aman. Padahal, anggaran negara yang banyak akan mampu membuat merata ekonomi masyarakat bila dipimpin oleh orang yang paham tupoksi-nya dengan benar.
Kedudukan partai politik di negeri ini sangat krusial, namun seolah hanya menjadi ajang pengusung dan pemberi dukungan yang secara pertanggungjawaban politik hanya bualan semata. Semua pembelaan atau penolakan dapat dicarikan dalilnya bergantung kepentingan siapa dan berapa “isi tas” yang dikeluarkan. Seolah publik tidak paham seperti apa di balik layar hitam yang tak ditembus oleh cahaya kebenaran, namun dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Partai Politik Kehilangan Integritas
Fenomena yang menjadi realita publik, partai politik seolah kehilangan jati diri. Partai politik yang sejak awal dirancang sebagai penjaga demokrasi agar berjalan sesuai relnya, namun seolah partai politik pula yang menjadi pelaku utama kehancuran demokrasi. Apalah artinya demokrasi jika hanya memanfaatkan uang sebagai penentu utama? Jika pun ada partai politik yang tidak mementingkan uang sebagai penentu pencalonan, baik di daerah maupun di pusat, bisa dipastikan partai tersebut tidak segagah partai besar yang spanduknya berseliweran di jalanan.
Ruh dari demokrasi hanya dapat dijalankan secara aturan oleh partai politik. Harusnya, baik-buruknya demokrasi dipelopori pula oleh partai politik. Partai politik menjadi episentrum dalam politik nasional, namun seolah perdebatan yang digembosi oleh kepentingan tertentu menjadi musibah nasional.
Dengan perdebatan yang seolah hanya menguntungkan partai A atau B, menjadi berdampak pada kebijakan pemerintah. Perdebatan yang seharusnya hanya terjadi dalam internal partai politik, namun belakangan menjadi konsumsi publik dan pemerintah me-wanti-wanti jangan sampai perang dingin antarpartai berefek pada goyangnya kursi pemerintah.
Kepala Daerah Disetir Partai Politik
Fenomena yang dirasakan oleh masyarakat selama pilkada berjalan ialah, kepala daerah yang terpilih hanya menjaga dan mementingkan partai politik tertentu. Bukan barang baru bila dibuka satu per satu kepentingan yang hanya membuka jalan bagi partai politik tertentu melanggengkan pamornya di daerah. Sebagai kepala daerah, kebijakan yang dikeluarkan harusnya mementingkan masyarakat, bukan hanya segelintir orang yang dikendalikan oleh partai. Ketimpangan ini bila diteruskan akan menjadi benih persaingan tidak sehat dan berlarut-larut di daerah.
Penuntasan masalah ini, seyogyanya partai politik ambil peran sebagai penengah dan pemberi solusi, yakni dengan memberikan kontrak politik kepada kepala daerah berjanji menuntaskan masalah untuk seluruh masyarakat. Realita di daerah, jika terdapat kepentingan dari lawan politik, maka tidak akan berjalan kebijakan strategis di tempat tersebut. Sejatinya kebijakan itu tidak melihat siapa dan di mana, namun menjadi kewajiban kepala daerah untuk adil pada masyarakatnya. Korelasi keadilan dan kemajuan sangat utama dalam mewujudkan perkembangan di daerah.
Kebijakan kepala daerah harus berpijak pada kepentingan rakyat, bukan justru sebaliknya. Berapa banyak kepala daerah yang menafikan peran masyarakat dan melihat keuntungan daerah lewat perusahaan besar. Masyarakat sampai kapan pun akan terus ada dan hidup dalam tatanan negara ini, sedangkan perusahaan atau swasta hidup oleh kekayaan alam yang terus dinikmati tak tentu sampai kapan akan habis. Penjaga keseimbangan utama itu terletak pada masyarakat. Bila peran masyarakat dikucilkan, alamat daerah akan kehilangan ruh utama bagi kemajuan daerahnya.
Krisis Moral Kepala Daerah
Potret kepala daerah yang belakangan banyak disorot oleh publik menggambarkan betapa bobroknya calon pilihan partai politik. Hal ini bukan salah partai politik secara keseluruhan, namun dapat dicegah sejak awal, bahkan partai politik memiliki perangkat yang lengkap untuk mengecek para calon kepala daerah yang diusungnya.
Berbagai kasus kepala daerah yang belakangan terjadi seolah membenarkan, bahwa politik masih berasaskan keuangan yang maha benar. Bila telah dihadapkan pada uang, siapa pun akan luluh dengan sendirinya termasuk pengadilan. Betapapun hebatnya hakim membela diri atas putusan yang di luar nalar, publik telah paham, bahwa terjadi ketimpangan hukum di pengadilan.
Partai politik harus waspada akan disintegrasi yang diakibatkan oleh kekacauan yang terjadi. Kepala daerah yang pandai dan tahu permainan dalam politik akan lolos dari radar KPK secara kasat mata. Namun masyarakat yang punya naluri akan merasakan berapa banyak uang negara yang hilang bukan untuk pembangunan, namun masuk ke kantong-kantong tertentu.
Fenomena yang telah banyak dibahas dan kajian akademis pun turut menggali fenomena politik. Eksistensi partai politik yang kehilangan marwah begitupun kepala daerah bak raja yang tidak melihat rakyat sebagai pemegang kedaulatan, justru dianggap tak berdaya yang hanya menjadi penyumbang suara lima tahunan untuk pemilu. {*}
*) Sabarnuddin, Mahasiswa Sejarah, Universitas Negeri Padang.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.