Oleh TOTO SONATA
Hari-hari puisi. Inilah yang saya rasakan –setidaknya– dalam tiga hari belakangan. Puisi telah melingkungi diri saya. Sejak Senin, 13 Desember 2021 lalu saya ingin menulis Catatan Hati dalam bentuk prosa liris. Catatan yang bercerita tentang pribadi yang mengingkari hati nuraninya sendiri.
Tapi tidak jadi. Sebab, saya anggap ini tidak layak untuk dikonsumsi oleh publik. Ini hanya perkara privat. Biarlah jadi permenungan pihak yang terlibat. Tetap jadi rahasia sampai perjalanan waktu menguburnya.
Dan, hari Rabu, 15 Desember 2021. Inilah hari-hari puisi yang lebih relevan saya ceritakan. Pada malam itu saya membaca puisi di Dapoer Mawar, tempat pameran tunggal pelukis Desemba Sagita Titaheluw.
Maka, sehabis Subuh pagi itu HP berdering, dan dari seberang ada yang berbicara tentang bagaimana sebaiknya membaca puisi. Ada juga yang mengirimkan video Taufik Ismail saat membaca puisi “Kembalikan Indonesia Padaku“. Ini mungkin bisa dijadikan bandingan. Hanya bandingan.
“Anda harus tetap jangan kehilangan jati diri Anda. Tetap yang baca puisi adalah Toto Sonata,” pesan seorang sahabat.
Saya sendiri sudah puluhan tahun tidak membaca puisi. Meski di era digital ini ada gelora menulis puisi lewat akun media sosial (Medsos), semisal Fb. Ini –tak lain– untuk mengisi hari-hari di rumah saja saat pandemi. Saya tidak pernah membayangkan atensi publik terhadap puisi, yang ternyata begitu besar.
Padahal, dulu pada dasawarsa 1970-an, saya pernah menulis di rubrik budaya sebuah koran tentang keterpencilan publik sastra. Saat itu, terjadi polemik di koran, saya dengan Slamet Utomo (alm), seorang penulis dari Banyuwangi.
Di era digital kini, saya pernah diingatkan lagi tentang polemik itu oleh Hasan Sentot (alm), mantan wartawan SCTV asal Banyuwangi, yang kemudian beralih profesi jadi pengusaha.
Ya, di masa kita kini, di era digital ini, atensi pada puisi begitu besar. Ini bisa saya lihat ketika saya menulis puisi di akun FB saya. Yang komen dan yang like bermunculan hanya dalam hitungan menit.
Jika dulu, menulis di koran, saya tidak tahu siapa pembacanya. Kini, saya tahu berapa banyak yang membacanya. Bahkan, mereka juga mendiskusikannya dengan saya. Ada yang bertanya, apa itu pengalaman pribadi saya. Ada pula yang merasa bersimpati, saya telah kehilangan seseorang dalam hidup saya.
Meski saya tegaskan, bahwa sastra itu dunia rekaan. Seorang penulis bebas berimajinasi. Termasuk perkara duka lara. Lewat kesempatan ini saya berterima kasih kepada sahabat Sugeng Santoso, Desemba Sagita, dan Binsar M. Gultom, yang dengan suka rela membantu merilis acara pembacaan puisi saya.
Dampak positif dari unggahan mereka, sambutan dan dukungan sahabat yang lainnya begitu luar biasa. Banyak yang menyampaikan ucapan selamat membaca puisi, sesuatu yang tidak saya jumpai ketika saya menulis di media konvensional dulu. Agaknya zaman telah berubah. Beberapa di antara mereka menyayangkan dirinya tidak bisa hadir, karena tempatnya jauh dan ada urusan yang sudah dijawadkan sebelumnya.
Bahkan, saya berusaha mencegah seseorang yang mau terbang ke Surabaya, hanya ingin melihat langsung pembacaan puisi itu. Padahal, dia dari “benua yang jauh”. Doamu saja yang aku inginkan. Semoga acaranya berlangsung lancar. “Always, ” jawabnya.
Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang mulia, atas dukungannya. (*)
*) TOTO SONATA, jurnalis senior dan sastrawan.







