Oleh Moch. Faizul Huda
Indonesia mempunyai ribuan spesies anggrek dan sebagian besar hanya terdapat di negara kita ini. Nama-nama seperti Vanda Tricolor di Jawa, Paphiopedilum di Sumatra, hingga Dendrobium di Papua adalah saksi bisu betapa kayanya biodiversitas negeri ini.
Anggrek bukan sekadar bunga hias, tetapi puspa bangsa: simbol keindahan, kekayaan hayati Indonesia dan bagian dari identitas budaya serta aset ekonomi yang bernilai tinggi. Namun, di balik keindahan tersebut, ancaman besar tengah mengintai. Perubahan iklim global menjadi momok serius bagi kelangsungan anggrek. Suhu udara yang tidak stabil, curah hujan berubah ekstrem, kemarau panjang dan kelembaban alami hutan yang mulai terganggu menjadi penyebab rentannya habitat anggrek alami.
Hilangnya habitat alami mejadi perkebunan, tambang dan kawasan industri juga menyebabkan anggrek sulit berkembang dengan baik. Anggrek liar mempunyai protokol spesifik, sehingga tidak bisa begitu saja dipindahkan ke lingkungan baru tanpa teknologi yang tepat. Beberapa masalah yang menjadi perhatian penting adalah banyaknya permintaan pasar oleh kolektor yang berdampak meningkatnya perburuan liar. Kolektor memburu anggrek dari hutan tanpa memikirkan keberlangsungan populasi. Hal ini dapat mempercepat kepunahan, apalagi jika dikombinasikan dengan minimnya pengawasan di lapangan.
Anggrek juga dikenal sebagai tanaman sensitif, sehingga perubahan iklim yang signifikan dapat mengganggu pertumbuhan dan bahkan menggagalkan reproduksi. Hal ini menjadi alasan banyak anggrek liar yang tidak lagi berbunga di habitat asli. Selain itu, minimnya kesadaran publik, menjadikan anggrek sekadar menjadi bunga hias untuk kontes atau pajangan, bukan bagian dari warisan biodiversitas yang harus dijaga bersama.
Tentu, mengeluh bukanlah sikap bijak dan apalagi menguntungkan. Lebih dari itu, harus ada beberapa langkah strategis yang perlu nditempuh untuk menjaga anggrek di masa yang akan datang. Pertama, konservasi berbasis komunitas, masyarakat sekitar hutan harus dilibatkan sebagai penjaga utama anggrek. Program adopsi anggrek atau kebun plasma nutfah desa menjadi cara sederhana namun efektif. Masyarakat dapat merasakan manfaat ekonomi sekaligus meningkatkan kepedulian.

Anggrek Vanda Tricolor yang banyak hidup dan berkembang di daratan Jawa.
Kedua, pemanfaatan teknologi biologi modern melalui kultur jaringan, kriopreservasi, hingga rekayasa genetik dengan CRISPR-cas9 bukan lagi wacana, tetapi kebutuhan. Teknologi ini dapat memperbanyak spesies langka, sekaligus penyelamatan dan memperkuat anggrek tahan terhadap stres lingkungan.
Ketiga, sinergi perguruan tinggi dan pesantren. Hal ini menjadi kolaborasi yang dapat melahirkan pusat konservasi anggrek berbasis pendidikan dan spiritualitas. Jika pesantren menanam dan merawat anggrek dalam 10 tahun ke depan dapat mencetak gerakan konservasi yang luar biasa besar.
Keempat, regulasi khusus perlindungan harus ditegakkan. Penjagaan hutan lindung bukan hanya sekadar nama dan pemberian ruang budi daya legal untuk kebutuhan pasar. Hal ini penting sebagai bentuk hadirnya pemerintah secara nyata, mengingat anggrek masuk kategori langka yang harus dilindungi dari perdagangan bebas.
Kelima, edukasi publik yang efektif. Langkah ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan kepada generasi muda tentang pentingnya konservasi anggrek melalui festival, lomba hingga kurikulum lokal untuk mencintai anggrek untuk konservasi yang lebih terjamin.
Menyelamatkan anggrek Nusantara di tengah ancaman perubahan iklim memang tidak mudah. Namun, bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kuncinya adalah sinergi antara ilmu pengetahuan, kebijakan pemerintah, dan kepedulian masyarakat. Jika perguruan tinggi berinovasi, pemerintah melindungi, masyarakat terlibat dan generasi muda mencintai, maka harapan itu masih ada.
Anggrek adalah cermin kita. Konservasi anggrek yang terjaga merupakan bukti keberhasilan melawan krisis. Menyelamatkan anggrek berarti menyelamatkan masa depan Indonesia. (*)
*) Moch. Faizul Huda, Mahasiswa Doktor Biologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada.





