Oleh Siti Hamidah Kurniasari
Musim penghujan berpotensi memunculkan kerentanan Kabupaten Sidoarjo dalam menghadapi persoalan banjir. Genangan air yang muncul di berbagai kawasan memperlihatkan betapa lemahnya sistem administrasi publik, terutama dalam aspek perencanaan, pengelolaan drainase, dan koordinasi antarinstansi. Dalam situasi ini, pertanyaan mendasar muncul: sejauh mana birokrasi Sidoarjo serius memberikan pelayanan publik yang cepat, efektif, dan akuntabel?
Administrasi publik seharusnya menuntut sikap tanggap, transparansi, serta akuntabilitas dalam setiap tindakan. Sayangnya, di lapangan masih banyak ditemui proyek normalisasi saluran air yang dilakukan secara parsial, tanpa perencanaan yang berbasis data wilayah rawan banjir.
Proyek-proyek pembangunan infrastruktur drainase kerap muncul sebagai reaksi sesaat, bukan sebagai hasil dari analisis mendalam dan komitmen jangka panjang. Koordinasi antarlembaga, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Lingkungan Hidup, hingga pemerintahan kelurahan, juga nampak berjalan sendiri-sendiri. Di antara lintas instansi itu nyaris tidak ada integrasi sistem informasi yang mempertemukan data, prioritas, dan tindak lanjut secara efektif. Akibatnya, penanganan banjir menjadi cenderung lambat, tidak tepat sasaran, dan kerap menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.
Banjir di Sidoarjo bukan sekadar disebabkan tingginya curah hujan. Faktor lain yang memperparah situasi adalah minimnya pengawasan terhadap pembangunan permukiman baru, buruknya sistem pengelolaan sampah, serta kurangnya perawatan infrastruktur dasar, seperti saluran air dan pompa. Ini semua adalah gambaran nyata dari administrasi publik yang belum optimal dalam memenuhi hak dasar warga: hak atas lingkungan yang aman dan sehat.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan menunjukkan, bahwa sebagian besar kejadian banjir di Indonesia berkaitan dengan buruknya tata kelola ruang dan infrastruktur. Jika data ini diperhatikan secara serius, maka menjadi jelas, bahwa perbaikan birokrasi merupakan prasyarat untuk mengurangi risiko bencana. Maka, reformasi administrasi publik di Sidoarjo menjadi sebuah keharusan. Penguatan basis data wilayah rawan banjir menjadi langkah awal yang tidak bisa ditunda lagi. Tanpa data yang akurat, perencanaan hanya akan bersifat reaktif dan tambal sulam, yang bersifat sementara.
Selain itu, percepatan pembangunan sistem drainase modern harus menjadi prioritas. Tidak cukup hanya mengandalkan pengerukan sungai tahunan atau pembangunan saluran baru tanpa mempertimbangkan integrasi kawasan. Harus ada upaya sistematis yang memperhitungkan dinamika pertumbuhan kota dan perubahan iklim.
Transparansi penggunaan anggaran juga menjadi kunci penting. Masyarakat berhak tahu bagaimana anggaran penanganan banjir digunakan, proyek apa saja yang dikerjakan, dan apa indikator keberhasilannya. Ini penting untuk membangun kepercayaan yang selama ini terus terkikis.
Tak kalah penting, pemberdayaan masyarakat perlu diperkuat. Warga harus dilibatkan dalam pemetaan wilayah rawan, penyusunan prioritas program, hingga pengawasan pelaksanaan proyek. Tanpa partisipasi aktif warga, pelayanan publik akan selalu berjarak dengan kebutuhan riil di lapangan.
Banjir merupakan ujian nyata yang harus dijawab dengan tindakan konkret. Masyarakat Sidoarjo saat ini tidak lagi menanti janji-janji manis birokrasi. Mereka menunggu bukti nyata: pelayanan publik yang berpihak pada keselamatan dan kesejahteraan seluruh warga. (*)
*) Siti Hamidah Kurniasari, Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.







