Oleh M. YAZID MAR’I
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki desa melalui penyertaan modal langsung yang berasal dari kekayaan desa. Lembaga ini digadang-gadang sebagai kekuatan yang akan mampu mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat desa dengan cara menciptakan produktivitas ekonomi yang didasarkan pada potensi yang dimiliki.
Karena BUMDes lahir atas kehendak warga desa yang diputuskan melalui Musyawarah Desa (Musdes), yaitu forum tertinggi untuk melahirkan berbagai keputusan utama dalam BUMDes, mulai dari nama lembaga, pemilihan pengurus, hingga jenis usaha yang bakal dijalankan. Maka, dalam prosesnya setidaknya ada dua pertemuan besar yang melibatkan seluruh elemen penting warga desa secara perwakilan.
Yang pertama, sosialisasi dan pembentukan tim yang bertugas mengawal seluruh proses pembentukan. Yang kedua, untuk melahirkan berbagai keputusan final. Seluruh proses ini tentu saja menjadi tanggung jawab Pemerintah Desa sebagai penyelenggaranya. Semua proses itu, paling tidak telah dilalui oleh Desa Pacul, Kec. Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro, dengan merestrukturisasi dan sekaligus reorganisasi kepengurusan BUMDes untuk satu pereode ke depan.
Sebagai upaya mengubur persoalan BUMDes sebelumnya, bersama Pemerintah Desa dan lembaga desa lainnya memutuskan menggunakan nama baru untuk BUMDes, yaitu “Ngudi Utama”, yang dalam bahasa indonesia berarti ‘menggapai keutamaan’.
Sesuai namanya, langkah-langkah restrukturisasi unit usaha BUMDes pun dilakukan, mulai dari unit simpan pinjam, unit pertokohan, unit pengelolaan lapangan, unit pengelolaan sumber air pertanian, sekaligus menambah satu unit baru, yakni katering.
Ke depan, yang perlu dipikirkan adalah lahirnya unit-unit baru yang mampu mengakomodasi secara optimal berbagai potensi desa. Di antaranya, unit usaha produktif, sebagai sarana yang mampu mewadai produk lokal desa, seperti industri tempe dan pertanian hortikultura, juga usaha-usaha lain yang memungkinkan.
Sebai ilustrasi, alangkah indahnya jika setiap pagi bisa menemui warga yang menjajakan sayuran di depan unit pertokoan yang ada. Sementara pada malam harinya menyaksikan warga lainnya menjajakan makanan olahan sebagai ragam kuliner khas Bojonegoro. Tentu obsesi ini bukanlah mengada-ada dan mustahil untuk direalisasikan.
Apakah lahirnya BUMDes berarti harus bertanggung jawab penuh terhadap urusan pemberdayaan ekonomi desa? Ini yang sering disalahpahami. BUMDes lahir sebagai lembaga desa yang berfungsi menciptakan kesejahteraan warga dengan memanfaatkan aset dan potensi yang dimiliki desa dan di-suport modal penyertaan dari desa.
Konsekuensinya, tentu tidak mungkin semua urusan pemberdayaan ekonomi menjadi tanggungjawab BUMDes. Semuanya tetap menjadi tanggung jawab kepala desa, sebagaimana filosofi keberadaan Undang-Undang (UU) Desa. Karena itu, seorang kepala desa yang memiliki kemampuan berwira usaha (enterpreneur) merupakan modal utama bagi berkembangan ekonomi desa.
Dalam UU itu disebutkan, seorang kepala desa dan perangkat desa bukanlah sekadar menjalankan fungsi administratif, melainkan leadhersip dan enterpreneursip sekaligus. Manajemen desa mesti mampu bersinergi dengan lembaga desa yang ada, untuk bersama memajukan desa. Satu di antara sekian indikatornya adalah memiliki kemampuan adaptif serta mampu mendengar dan membaca peluang ya ada.
Apa yang ada di Desa Pacul, Bojonegoro adalah satu dari sedikit BUMDes yang eksis dan memiliki potensi berkembang untuk selanjutnya men-support pemanfaatan berbagai potensi ekonomi desa untuk kesejahteraan warganya. Ini bisa menjadi inspirasi dan pemantik upaya mengembangkan BUMDes di desa-desa lain. Sebab, tak dimungkiri, terlalu banyak BUMDes yang eksistensinya hanya ditandai oleh berdirinya papan nama yang berjajar di depan balai-balai desa, tanpa memberikan aktivitas dan sumbangsih konkret kepada desanya. (*)
*) Penulis adalah guru dan anggota BPD Pacul, tinggal di Bojonegoro.







