(Catatan Kecil Seni lukis Aliya Murdoko)
Oleh Saiful Hadjar
Seni lukis karya Aliya Murdoko (usia 15 tahun) yang bersumber dari cerita Panji, mencari benang emas yang mampu menghubungkan sikap budaya konservatif dengan progresif. Bertolak dari cerita Panji adalah salah satu bentuk alternatif menggerakkan kehidupan seni rupa akar Indonesia yang merupakan produk budaya sebagai sumber gagasan.
Cerita Panji dalam karya lukisan Aliya Murdoko sebagai salah satu produk perkembangan seni rupa, yaitu proses pengembangan nilai-nilai masa sebelumnya. Bahwa nilai keindahan cerita Panji tidak semata-mata dihasilkan berdasarkan pertimbangan konsep yang rasional, juga pada pemikiran spiritual yang dalam. Maka, cerita Panji dalam konsep karya Aliya Murdoko tidak hanya menampilkan keindahan artistik, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan spiritual yang menghargai nilai-nilai luhur yang relevan dengan perkembangan peradaban zaman.
Bagi Aliya Murdoko, pelukis muda asal kota Malang, yang telah belajar pada sanggar lukis DAUN sejak usia 3,5 tahun, cerita Panji merupakan tradisi yang perlu diwarisi dan dieksplorasi secara kreatif. Cerita rakyat yang telah masuk daftar Memory of the World UNESCO sejak 31 Oktober 2017, sebagai wujud pengakuan dunia internasional sekaligus menetapkan asal-usul genre sastra dari Indonesia, menunjukan pentingnya kisah ini sebagai warisan budaya dunia yang perlu diwariskan.
Cerita Panji telah diwujudkan oleh leluhur kita, bangsa Nusantara, dalam berbagai bentuk seni, di antaranya tari, ketoprak, ludruk, sastra, seni rupa dan seterusnya, menjadi integral dari kekayaan budaya Indonesia.
Jadi, karya seni lukis Aliya Murdoko adalah seni yang menyampaikan pesan tentang identitas dan transformasi cerita Panji, tentang petualangan cinta antara Panji Inu Kertapati (Jenggala) dengan Dewi Sekartaji atau dikenal nama Galuh Kirana (Daha). Sebuah hikayat bercorak Hindu merupakan salah satu episode cerita Panji berasal dari Jawa Timur pada abad ke-14.
Dalam episode tersebut penyamaran Galuh Candra Kirana sebagai Panji Semirang memiliki kemampuan fleksibilitas identitas dan kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi untuk mencapai tujuan. Penyamarannya sebagai raden Panji menunjukkan keteguhan hati, keberanian dan cinta sejati yang melampaui batas tradisional, seorang wanita melampaui batas gender demi mencapai tujuan dalam masyarakat patriarki. Juga mengandung berbagai nilai budaya seperti kasih sayang, keberanian, kesetiaan dan ketangguhan hati, yang relevan dalam kehidupan sehari-hari.

“Panji Semirang”, cat minyak dan akrilik di atas kanvas, 100×150 cm, 2025.
Karya-karya lukis Aliya Murdoko (nama lengkapnya Aliya Sakina Murdoko) dipersiapkan dalam pameran tunggal ke-4: Cerita Panji, Menafsir Tradisi Topeng Malangan, di Malang Creative Center (MCC) Malang, 3 – 16 Agustus 2025. Dia seniman berdomisili di kota Malang, dengan karya-karyanya tentang cerita Panji, hasil dari pendekatan unsur-unsur tari topeng Malangan yang sangat terkenal dan jadi seni tari khas kota Malang, yaitu tarian tradisional mengunakan topeng sebagai elemen penting dalam penampilan dan penceritaan.
Kata ‘topeng’ dari seni topeng khas Malang, bisa dimaknai sebagai dunia penyamaran, sangat relevan dengan kisah Panji Semirang. Makna kata ‘panji’ selain gelar kebangsawanan pada masa kerajaan Kahuripan (Mapanji) adalah “bendera” atau simbol dari sebuah identitas sebuah kelompok, ormas, negara atau individu.
Maka dari itu, lukisan karya Aliya Murdoko merupakan tranformasi dari cerita rakyat klasik, sebuah kemampuan membangun struktur gramatikal jadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi atau menata kembali unsur-unsurnya yang ada di antara kisah cerita Panji dan tari topeng khas Malang. Mengisahkan penyamaran Galuh Candra Kirana, dengan pilihan bahasa ekspresi, bahasa visual seni lukis versi Aliya.
Dengan pijakan sistem berpikir transformasi hikayat Panji Semirang tersebut, Aliya Murdoko yang sejak usia balita hingga sekarang telah banyak mendapatkan penghargaan internasional dan berpameran di dalam maupun di luar negeri. Ia cukup berpengalaman dalam olah gagasan melalui karya-karya lukisnya.
Lihat kepiawaiannya menghadirkan background warna merah, biru, kuning, hijau dan sebagainya. Dengan gelora ekspresionis, yang menghadirkan dua sejoli dari lingkungan bangsawan atau keraton. Mereka pasangan yang mesra, bertubuh tegap berisi. (“Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji“, cat minyak dan akrilik di atas kanvas, 150×100 cm, 2025).
Juga menampilkan sosok wajah Candra Kirana, (“Sekartaji“, cat minyak dan akrilik di atas kanvas, 150×150 cm, 2025), dalam penyamaran, serta dinamikanya yang begitu ekspresif, menunjukan kekuatan permainan warna hitam, putih, coklat kehitaman, biru, kuning, keunguan dan lainnya, dengan sapuan atau tehnik penuh spontan memberi kesan tegas yang liar.
Lihat karya yang berjudul: “Candra Kirana”, “Semirang”, “Sekartaji”, “Tranformasi Panji”, “Panji Semirang” (semuanya diproduksi tahun 2025). Dengan atmosfer yang sama terdapat pada karyanya, “Pertapaan Dewi Kilisuci” (2025) guru Dewi Sekartaji yang mengajari ilmu kanuragan dan dunia penyamaran jadi sosok lelaki tangguh.
Selain itu, juga bisa melihat karya-karya Aliya Murdoko yang sedikit beda, nampak lebih rapi dengan berbagai perhitungan situasi psikis, pengendapan emosi yang tidak meledak, ketika mengisahkan Candra Kirana melarikan diri dari lingkungan keluarganya, “Pelarian Candra Kirana” (2025) juga tentang bukit Cumbri (daerah Ponorogo, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tempat pertemuan antara Panji Inu Kertapati dengan Dewi Sekartaji, setelah sekian lama dipisahkan oleh takdir dan waktu.
“Cumbri Gelang-gelang 1 dan 2″, cat minyak dan akrilik di atas kanvas 100×100 cm, 2024 dan 2025, bahasa ungkap visualnya lebih cenderung terkesan dekoratif ekspresionis. Warna-warnanya terang, penuh perhitungan setiap menghadirkan unsur yang dibutuhkan, menjadi sebuah narasi bahasa ungkap visual yang lebih komunikatif.
Maka, seni lukis Aliya Murdoko merupakan karya-karya hasil dari tranformasi hikayat (cerita rakyat) penyamaran Dewi Sekartaji dengan tari topeng dunia penyamaran khas Malang (Malangan) sebagai sumber gagasan, adalah salah satu upaya membangun kesinambungan budaya tradisi modern. Sebuah tranformasi budaya yang digulirkan sekaligus melestarikan seni tradisi dengan konsep alternatif gaya anak milenial. (*)
*) Saiful Hadjar, Penulis dan seniman, tinggal di Surabaya.





