Oleh Moh. Husen
Alkisah, seorang wartawan jengkel betul kepada sang pimpinan redaksi alias Pimred-nya yang sering mengubah judul beritanya secara kurang tepat atau ngawur. Pengubahan itu mengesankan menjadi berita yang tak sedap, buruk, bahkan cenderung memicu konflik sosial.
Setelah berita tayang, si wartawan sering dapat telpon dari narasumber: “Judulnya kok gitu Mas. Tolong judulnya diganti ya.”
Hal semacam ini tidak sekali dua kali, melainkan berkali-kali. Isi beritanya tetap, tapi karena edit judul dengan angle (sudut pandang) yang kurang tepat, menjadikan seakan-akan narasumber dalam berita tersebut menghantam pihak-pihak tertentu.
Mas wartawan ini bukan tak mau karya jurnalistiknya diedit. Dia sangat butuh editor. Dia sudah capek-capek liputan di lapangan, dan dia menyadari dalam menulis berita sangat mungkin ada yang salah ketik atau salah menata kalimat karena capek. Bagi mas wartawan, tulisan diedit itu wajar.
Akan tetapi, menjadi kurang tepat jika sebuah berita malah menjadi bias yang negatif karena bermasalah pada judul. Mas wartawan tak pernah setuju dengan jargon bad news is good news dengan cara mem-bad news-kan semua berita.
Dengan kata lain, judul porno lebih cepat viral dan dibaca orang berulang-ulang, didiskusikan berjuta-juta kali, dipublikasikan terus-menerus daripada judul-judul pengabdian, kerukunan, kebersamaan, persaudaraan dan keikhlasan. Maka, judul yang kurang porno atau tidak porno, lantas dipornokan agar viral seviral-viralnya.
Mas wartawan kemudian menyelidiki, apakah Pimred-nya dulu pernah menjadi wartawan? Apakah Pimred-nya piawai dalam menulis, atau hanya bisanya main perintah melulu? Atau Pimred-nya sedang demam arogansi kekuasaan, pokoknya kalau jadi penguasa itu nggak enak kalau nggak menyalah-nyalahkan?
Akhirnya Mas wartawan menyadari, bahwa semua orang harus mencari uang. Ditambah lagi banyak orang merasa miskin meskipun kaya. Banyak orang rakus dan tak peduli perut lapar orang lain. Dan, mas wartawan tak mau ketinggalan kereta zaman. Kalau Pimred-nya suka judul porno, dia juga terang-terangan menulis judul porno.
Kita bisa tersenyum dan bernostalgia sejenak mengenang koran atau majalah di era tahun 80-an hingga 90-an yang –jika di negeri kita– tak terlalu porno total terpampang di etalase dan kios-kios koran. Terkadang juga kita jumpai di wartel atau di warung kopi. Atau siapa tahu mungkin di antara kita dulu pernah langganan membelinya.
Cerita masa lalu ini dituturkan oleh mas wartawan kepada seorang sahabatnya di warung kopi sembari berkelakar: “Porno menurut anak muda, bisa berbeda lho dengan porno menurut orang dewasa. Lha wong kritik saja bisa dianggap porno oleh para penguasa otoriter, sehingga perlu disensor, dilarang dan dibuang, hehehehe….”.
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, tinggal di Rogojampi, Banyuwangi.