(Jungkir Balik Memahami Karya Ariel Ramadhan, Arik S. Wartono, dan Saiful Hadjar)
Oleh Aji Ramadhan
Tiga perupa menyelenggarakan pameran seni rupa di Arts.id Surabaya, 24 Agustus 2025 – 25 Oktober 2025. Tajuk pameran seni rupa itu adalah Tiga Masa. Barangkali, pemilihan tajuk itu, karena tiga perupa terlahir pada masa berbeda. Sebut saja: Ariel Ramadhan (kelahiran tahun 1999), Arik S. Wartono (kelahiran tahun 1974), dan Saiful Hadjar (kelahiran tahun 1959).
Pada pameran seni rupa Tiga Masa ini, Ariel Ramadhan dan Arik S. Wartono sama-sama menyajikan 5 karya. Sedangkan Saiful Hadjar menyuguhkan 6 karya.
Ariel Ramadhan
Saya mengenal Ariel Ramadhan adalah salah satu murid DAUN Children Art School (Sanggar DAUN) yang berpameran tunggal paling banyak daripada murid yang lain. Terhitung, Ariel Ramadhan sudah enam kali berpameran tunggal. Ketika Arik S. Wartono, Pembina DAUN Children Art School, mengirimkan semua e-katalog pameran tunggal Ariel Ramadhan, saya mengamati kecenderungan setiap lukisan, terlihat ketertarikannya terhadap laut.
Selama menggarap laut, Ariel Ramadhan —lewat setiap lukisan di semua e-katalog pameran tunggalnya— telah memasukkan aneka objek, di antaranya: kapal, perahu, terumbu karang, ikan, sampah, hingga monster laut. Lima lukisan Ariel Ramadhan di pameran Tiga Masa ini masih bernada sama dengan semua lukisannya di e-katalog pameran tunggal keenam (pameran bertajuk Segara Warna di Galeri Merah Putih, Balai Pemuda, Surabaya pada 9-14 Agustus 2025). Kesamaan nada itu bisa jadi disebabkan proses kreatif yang berdekatan (lukisan di e-katalog pameran tunggal keenam dan pameran seni rupa Tiga Masa sama-sama bertarikh tahun 2025).
Juga, kesamaan nada menandakan kelanjutan Ariel Ramadhan yang masih ingin menyentuh bagaimana misteri kedalaman laut. Sehingga, ada benang merah ketika menyandingkan semua lukisan di e-katalog pameran tunggal keenam dengan lima lukisan di pameran seni rupa Tiga Masa (lukisan Manusia Laut; lukisan Kehidupan dalam Laut; lukisan Laut dalam Kantong Plastik #3; lukisan Pergi dan Kembali; serta lukisan Perjuangan Hidup). Benang merah itu menarik, untuk melihat dunia laut yang “keluh”.
Karena itu, lukisan karya Ariel Ramadhan di pameran seni rupa Tiga Masa ke arah aneka makhluk yang saling bertumpuk sangat terasa. Seolah, laut dari sudut pandang Ariel Ramadhan bukanlah sebentang ruang raksasa bagi kanvasnya. Apalagi jika ditelisik, lukisan Laut dalam Kantong Plastik #3, keluasan laut bisa diukur hanya dengan seluas kantong plastik. Atau, dalam lukisan Laut dalam Kantong Plastik #3, Ariel Ramadhan menganggap, bahwa keindahan laut beserta isinya terlalu sempit. Toh, dua belas kantong plastik yang kosong tidak kebagian menampung laut.
Atau, bisa juga, laut terlalu mencekam, atau terbayang tempat bertempur, misalnya jika diamati detail gigi tajam milik aneka ikan atau makhluk asing dalam lukisan Kehidupan Laut dan lukisan Perjuangan Hidup. Atau, laut mengalami perubahan siklus, ada tiga figur siluet manusia di atas beberapa paus yang membentuk setengah lingkaran dalam lukisan Manusia Laut, serta keambiguan batas antara lautan dan daratan ketika aneka penghuni laut bersanding dengan kapal dan bangunan yang samar dalam lukisan Pergi dan Kembali.

Arik S. Wartono
Arik S. Wartono membagikan sebuah video yang merekam detail lukisan yang memiliki pengulangan nama Allah. Dan, pengulangan nama Allah membentuk beberapa garis lengkung. Pengulangan nama Allah berada dalam bidang putih. Setelah mata kamera perlahan menjauhi lukisan itu, isa disadari betapa panjang pengulangan nama Allah.
Pada bagian kosong yang tidak terkena bidang putih, terlihat warna kusam. Ketika video itu memperlihatkan lukisan secara utuh, bidang putih berubah sebagai ruang. Sehingga, dalam ruang, pengulangan nama Allah —yang telah membentuk beberapa garis lengkung— terlihat berujung bentuk spiral. Lukisan itu berjudul Relief Dzikir, salah satu karya Arik S. Wartono, untuk pameran seni rupa Tiga Masa.
Beberapa karya Arik S. Wartono yang senada dengan lukisan Relief Dzikir di pameran seni rupa Tiga Masa adalah lukisan Relief Dzikir Subhanallah dan lukisan Dzikir Mahkota Duri. Tiga lukisan itu ingin memvisualkan bagaimana spiritual bergerak secara dinamis: bermula titik, lalu titik bergerak sebagai garis, lalu garis bersatu sebagai bidang, lalu bidang berbuah ruang.
Meski begitu, dalam lukisan Relief Dzikir Subhanallah, ada batas yang disebabkan keberadaan garis-hitam, seperti celah tumpukan bata. Garis-hitam itu seolah memotong pengulangan nama Allah. Kalimat Subhanallah yang berarti Maha Suci Allah —tertera dalam lukisan Relief Dzikir Subhanallah— menandakan manusia bukanlah makhluk sempurna. Dan, objek mahkota duri dalam lukisan Dzikir Mahkota Duri mengingatkanku terhadap penderitaan dan pengorbanan.
Sedangkan, karya Arik S. Wartono yang lain, yaitu lukisan Pallete 1, 2, 3, terlihat berbeda dengan lukisan Relief Dzikir; lukisan Relief Dzikir Subhanallah; dan lukisan Dzikir Mahkota Duri. Sesuai angka dalam judulnya, lukisan Pallete 1, 2, 3 adalah tiga kanvas yang masing-masing memiliki komposisi warna berbeda.
Karena judulnya ada kata “Palette” yang berarti papan sebagai tempat menaruh dan mencampur cat, tentu aku menangkap lukisan Pallete 1, 2, 3 sebagai hasil ketidaksengajaan mengabadikan warna. Sebab, kadang muncul komposisi warna tak terduga pada kerak cat hasil kupasan dari palet.
Jadi teringat tulisan Belajar dari Affandi dalam buku Seni dan Mengoleksi Seni (2012) karya Oei Hong Djien. Dalam tulisan itu, Oei Hong Djien bercerita, bahwa istrinya bertanya kepada Affandi perihal cara menikmati lukisan abstrak. Affandi menjawab: “Bila warnanya bagus dan enak dilihat, ya bagus.”
Jika diperlebar jawaban Affandi tersebut, seorang dapat menikmati lukisan —apa pun jenis gayanya– kalau menyenangi visual dalam kanvas. Sebab itu, lukisan Pallete 1, 2, 3 termasuk menyenangkan untuk dinikmai. Sebab, dalam lukisan Pallete 1, 2, 3, kanvas pertama mengasosiasikan aurora (fenomena alam berupa pancaran cahaya warna-warni di langit malam), kanvas kedua menghubungkan kesegaran warna hijau yang mulai hancur, serta kanvas ketiga mengesankan gejolak warna hijau tua yang perlahan menggerus warna lain.
Pesan tersirat dalam lukisan-lukisan Arik S. Wartono di atas bisa berbeda dengan proses kreatifnya. Pada 21 Agustus 2025, Subuh, Arik S. Wartono mengirimkan sebuah pesan panjang via WhatsApp. Salah satu paragraf dalam pesan itu cukup menarik. Begini isinya: “Maka bisa saja aku menggunakan teknik abstrak, realis, ekspresif, impresif, atau bahkan kolase dan instalasi. Ragam teknik bisa aku pakai tanpa beban apapun, karena teknik hanyalah cara untuk menyampaikan gagasan.”
Pada paragraf selanjutnya, diketahui bahwa gagasan Arik S. Wartono adalah: semua mesti kembali pada kesadaran ilahi, itu sebabnya aku bernarasi tentang dzikir dalam karya-karyaku.
Bahasa visual memiliki banyak pintu. Salah satu pintu yang terbuka memberikan dialog. Lewat dialog itu, bisa ditangkap citra yang bisa berbeda dengan tujuan pencipta. Ambil contoh lukisan Relief Pinisi karya Arik S. Wartono (termasuk yang disajikan di pameran seni rupa Tiga Masa).
Andai Arik S. Wartono tidak memberikan semua e-katalog pameran tunggal Ariel Ramadhan, barangkali sukar membuka pintu milik lukisan Relief Pinisi. Andai pun mampu membuka pintu, lukisan Relief Pinisi hanya sekadar berdialog ke arah keberadaan objek pinisi. Padahal bukan sekadar keberadaan objek pinisi belaka ketika menghubungkan dengan Ariel Ramadhan.
Senang dapat mengetahui latar belakang lukisan Relief Pinisi sebagai hasil respon Arik S. Wartono terhadap karya yang pernah disketsa awal oleh Ariel Ramadhan pada tahun 2022. Respon itu menjadi karya baru milik Arik S. Wartono. Meski begitu, dialog dengan lukisan Relief Pinisi tidak membikin “kembali pada kesadaran ilahi”. Justru, menghasilkan citra terhadap sosok Arik S. Wartono yang telah membimbing Ariel Ramadhan di samudra kesenirupaan. Tentu saja, citra itu muncul, karena objek Pinisi —begitu kuat dimiliki Ariel Ramadhan— masih berlayar di lukisan Relief Pinisi.
Saiful Hadjar
Pada 21 Agustus 2025, sore, sebuah pesan WhatsApp dari Saiful Hadjar tiba-tiba masuk: “Kata Budi Darma, ‘Dunia sastra dunia jungkir balik.’ Hal itu juga berlaku pada kesenian yang lain, Bos…” Saya hanya menjawab: “Sepakat, Om Saiful.”
Lalu, malamnya, saya membaca tulisan Sastra: Merupakan Dunia Jungkir-Balik? dalam buku kumpulan esei sastra Solilokui (1984) karya Budi Darma. Tulisan dengan pertanyaan sebagai judul itu menginformasikan betapa banyak kemungkinan dalam dunia sastra. Hal itu terjadi karena sastra terbuka dengan aneka penafsiran.
Seni rupa seharusnya sama dengan sastra. Sebab, dua atau lebih orang dengan latar belakang yang beragam bisa saling berbeda tafsir ketika menikmati satu lukisan yang sama. Atau, seorang bisa mengalami perbedaan tafsir pada satu lukisan yang sama setelah menikmatinya di beberapa tempat berbeda. Toh, imajinasi tidak datang dari kekosongan. Sebab itu, seorang yang melihat air dapat merasakan kesegaran andai membayangkan mata air di gunung, atau justru merasakan bencana andai membayangkan tsunami.
Berkat mendapatkan sebuah pesan WhatsApp itu, empat lukisan dan dua grafis yang menjadi karya Saiful Hadjar untuk sajian di pameran seni rupa Tiga Masa, bisa dinikmati. Selain itu, juga bisa dinikmati sajian lain di pameran seni rupa Tiga Masa, yaitu: video yang merekam beberapa grafis karya Saiful Hadjar dalam bundel. Pada 22 Agustus 2025, siang, Saiful Hadjar mengirimkan balasan karyanya.
“Grafisku lebih berpijak memandang dehumanis dalam arti luas di pelbagai aspek kehidupan….,” ungkapnya.
Empat lukisan adalah hasil respon Saiful Hadjar terhadap dua fotografi karya Arik S. Wartono (lukisan Kamar Tidur dan Arena Perang dan lukisan Pagi Buta (Berbondong-bondong ke Pasar)) serta dua fotografi karya Ariel Ramadhan (lukisan Kucing di Dinding (Menghadap Jalan Buntu) dan lukisan Kota dan Arena Perang (Peradaban Membawa Korban). Sedangkan, dua grafis karya Saiful Hadjar memiliki judul Dehumanisasi #1 #2 #3 dan Pandemi #1 #2 #3.
Lukisan Kamar Tidur dan Arena Perang dan lukisan Kota dan Arena Perang (Peradaban Membawa Korban), mengimajinasikan arena perang mulai tercipta ketika asap membubung ke langit. Lewat dua lukisan itu, bisa diraba, bahwa wilayah arena perang tidak hanya masuk di ruang publik (kota), juga menerobos ke ruang privat (kamar tidur).
Lalu, dua lukisan itu menghubungkan imajinasi pada tiga rupa yang terikat sebagai grafis Dehumanisasi #1 #2 #3. Tiga rupa itu memperlihatkan kerusakan manusia: tangan-tangan yang ingin menggapai apa pun ketika tubuh yang masih hidup telah tenggelam di lautan mayat; dua figur yang tersakiti; dan empat figur sedang duduk, berkepala tertunduk, tangan terborgol, dan kain menutup mata.
Apakah arena perang bisa disebut pandemi? Orang-orang dalam arena perang hanya menyisakan keruntuhan kebudayaan lewat figur-figur bermasker serta kematian dalam grafis pandemi #1 #2 #3. Lalu, dari grafis pandemi #1 #2 #3, imajinasi terhubung ke arah halaman per halaman berisi grafis dalam bundel hasil kerja Saiful Hadjar pada video yang disiarkan di pameran seni rupa Tiga Masa.
Tetapi, ketika halaman berhenti pada grafis yang membekukan sembilan ekor burung sedang terbang, tiba-tiba mata teralihkan pada keberadaan sebuah traktor di belakang bundel hasil kerja Saiful Hadjar. Sebuah traktor yang sedang bergerak maju dan mundur untuk meratakan tanah.
Imajinasi mengalami jungkir balik setelah berhadapan dengan lukisan Pagi Buta (Berbondong-bondong ke Pasar) dan lukisan Kucing di Dinding (Menghadap Jalan Buntu). Pada karya itu, Saiful Hadjar ingin berbicara keterarutan lewat dua lukisan itu. Keteraturan yang termanifestasi pada: figur siluet tujuh orang sedang berbaris, tiga perbedaan ukuran pada siluet tiga pohon, lalu warna bulan yang hampir senada dengan langit malam (lukisan Pagi Buta (Berbondong-bondong ke Pasar).
Komposisi bidang lewat penempatan warna merah (barangkali termasuk warna peach), warna kuning yang beberapa bagian memiliki noda hitam, warna biru yang memberikan kesan dingin, serta sosok kucing yang bikin ganjil (lukisan Kucing di Dinding (Menghadap Jalan Buntu). Memang, imajinasi bisa mengalami jungkir balik, seolah enam karya Saiful Hadjar telah menjerat kehancuran dan keutuhan agar sama-sama bersanding. (*)
*) Aji Ramadhan, Penyair, tinggal di Gresik, lulusan Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.







