Bahasa ibu adalah gudang penuh tumpukan pengetahuan dan kebijakan masa lampau. Ia diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Bahasa ibu menjadi ucapan pertama yang didengar bayi dari orangtuanya. Lewat bahasa ibu seorang bocah mulai belajar mengenal “ini apa, itu apa?”, belajar menangkap makna dunia sekitar. Juga belajar tentang perintah dan larangan. Secara bertahap menyerap kebenaran, kepantasan, dan keindahan dengan bahasa lokal sehari-hari yang mudah dicerna. Oleh karena itu bahasa ibu menjadi pondasi kognitif dan afektif di benak setiap anak.
Lalu datang modernisasi dan era kesejagadan (globalization) yang membuat keberadaan bahasa ibu tergerus. Dia juga terpinggirkan karena dianggap tidak begitu berguna dalam kanca pergaulan global. Bahasa ibu disebut sebagai bahasa rooming yang tidak nyambung bila dipakai dalam perbincangan lintasbahasa daerah.
Padahal bahasa ibu adalah harta karun berisi mutiara kearifan lokal, pepatah, pitutur luhur, hakikat hidup, hingga tembang dolanan. Misalnya ajaran tentang “ma lima” (pantang atau emoh melakukan lima perbuatan: maling, main (judi), madat (candu), madon (main perempuan), dan mabuk. (halaman 376).
Beruntung ada sekelompok orang yang prihatin dengan kenyataan ini. Lalu komunitas dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) ini tergerak untuk ikut nguri-uri bahasa ibu. Caranya dengan aktif mencipta puisi dwibahasa: bahasa ibu dan bahasa Indonesia. Lalu sebanyak 79 penyair dari berbagai penjuru negeri menghimpun karya hingga lahirlah antologi dengan judul “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku”. Bunga rampai dengan tebal 448 halaman ini merupakan karya seri kedua.
Membaca lembar demi lembar buku ini, saya merasa tengah berwisata budaya. Semacam menyaksikan karnaval meriah bahasa daerah. Berkesempatan menikmati karya sastra dalam aneka bahasa ibu yang unik. Tidak hanya berisi karya berbahasa mainstream Jawa, Sunda, Betawi, atawa Madura saja, tetapi juga memuat bahasa lokal beserta subdialeknya dari berbagai penjuru wilayah seperti bahasa Melayu Bengkalis Tanjung Pinang, bahasa Kaili ledo Palu, Anambas Kepri, hingga bahasa Tanah Kei Maluku.
Lewat larik-larik puisi pembaca disuguhi untaian kata dan makna dalam balutan nuansa budaya daerah yang kaya warna. Berikut ini ditampilkan beberapa di antaranya. Maaf dicuplik sebait-sebait saja, supaya tulisan ini tidak menjadi panjang. Sekadar untuk dicicipi.
Alangkualap bunting kami
Bebaju abang betabur memaniak kelap-kelip
Bekain songket alap abang pulau
Besingal ulu panjang nutup dayi nyampai ke lutut
Lum buliah tekinak pengantin
Lum buliah tekinak jemau banyak
…………………
(NUMBAK KEBAU – Maya Pransiska – hlm 205)
Syair tersebut berkisah tentang alangkah cantiknya pengantin perempuan Suku Serawai Bengkulu Selatan. Berbaju merah dengan manik kerlap-kerlip. Berkain songket, besingal panjang menutupi wajah hingga lutut. Belum boleh terlihat oleh pengantin pria. Belum boleh terlihat banyak orang.
Yang ini penggalan puisi bijak dalam bahasa Dawan Pulau Timor-NTT karya John Tubani:
………………
Tebes …
Fun hit monik kat paleona fa neu uaka
Fun neu lalan kan muifa heun neu le sin nao piut natuin
tabu in tu’in onam ntim monik in hanan amleut (hlm 181)
………………………..
Benar…
bahwa hidup tidak semestinya menunggu keberuntungan.
Sebab, rahmat yang dinanti tak bersemi pada mereka yang terus mendengkur seraya memeluk kehampaan mimpi akan hidup yang kacau.
Ada lagi bait-bait indah Fikar W. Eda berbahasa Gayo Aceh yang tertuang dalam pola mirip mantra:
…….
Puleh puleh mi penyaket e
Puleh puleh mi penyaket e
Jingerni ni semangat e
Sigep mi langkah e
Kuet mi toboh e
Tejem mi penerah e
Narumi pejangkon e
Tuju mi ala e
Uet uet mi rakyat e (hlm 127)
…..
(Sembuh-sembuhlah penyakitnya. Kuatkan semangatnya. Sigap langkahnya. Kuat tubuhnya, Terang jelas tatapnya. Jauh jangkaunya. Jelas arahnya. Bangun-bangun rakyatnya).
Menurut saya buku ini layak diapresiasi. Mengingat semakin hari bahasa daerah semakin terdegradasi. Ketika tahun 1928 diperkirakan masih ada 1.200 bahasa ibu yang meliputi dialek dan indialek digunakan oleh masyarakat di Nusantara. Tetapi kini tersisa 655 bahasa ibu (halaman vii). Kemdikbudristekdikti mencatat, 11 bahasa daerah telah punah. Provinsi Maluku paling banyak kehilangan bahasa daerah (8 bahasa), sisanya bahasa Maluku Utara, Papua barat, dan Papua.
Oh bahasa ibu, bahasa darahku. Sungguh benar pernyataan itu. (Adriono)







