SIDOARJO (RadarJatim.id) – Hubungan Bupati Sidoarjo, H. Subandi dengan Wakil Bupati (Wabup) Sidoarjo, Hj. Mimik Idayana selalu dipenuhi dengan konflik yang seakan-akan tidak ada ujung pangkalnya.
Awal mulai konflik atau retaknya hubungan orang nomor satu (W1) dengan orang nomor dua (W2) di Kabupaten Sidoarjo itu bermula saat Wabup Sidoarjo, Hj. Mimik Idayana mengeluarkan statemen di beberapa media online bahwa dirinya merasa ditinggal oleh Bupati Subandi dalam setiap pengambilan kebijakan.
Seperti pembuatan Peraturan Bupati (Perbup) Sidoarjo yang mengatur tentang nilai besaran insentif petugas pajak atau Perbup Sidoarjo yang mengatur tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan beberapa kebijakan lainnya.
Pada awal Juni 2025 lalu, Mimik Idayana yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Sidoarjo itu, justru mendukung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo yang menuntut Bupati Subandi untuk meminta maaf atas ucapannya terkait DPR hambur-hamburkan uang.
Lag-lagi pada pertengahan Juni 2025, Mimik Idayana memberikan dukungan penuh atas sikap Fraksi Gerindra DPRD Sidoarjo yang menolak permintaan maaf Bupati Subandi perihal ucapannya soal DPR hambur-hamburkan uang.
Kemudian pada pertengahan Juli 2025, Fraksi Gerindra dan beberapa fraksi lainnya di DPRD Sidoarjo menolak Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati Sidoarjo tahun 2024.
Hingga munculnya Koalisi Sidoarjo Maju (KSM) di Kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sidoarjo yang dihadiri beberapa petinggi partai politik lainnya, yaitu Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Puncaknya pada acara mutasi jabatan dilingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo tanggal 17 September 2025 kemarin, lagi-lagi W2 merasa tidak dilibatkan dalam proses mutasi para pejabat tersebut.
Perempuan yang akrab disapa Mak Mimik itu menuduh bahwa mutasi jabatan itu cacat hukum. Sehingga dirinya mengancam akan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga akan melaporkannya ke Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri RI).
Atas kegaduhan yang terjadi akibat dari konflik antara Bupati Subandi dengan Wabup Mimik Idayana itu, para aktivis yang tergabung dalam Gerakan Non Blok (GNB) angkat bicara dengan menyerukan agar para elit menyudahi konflik yang tidak ada manfaatnya itu.
“Sudah waktunya membangun Sidoarjo sesuai janji politik yang sudah terucap saat Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah, red) lalu. Stop berkonflik, jangan sibuk cari pembenaran dan keras kepala. Bekerjalah dengan pedoman Undang Undang (UU, red) Nomor 23 Tahun 2014, nggak perlu ditafsir-tafsir lagi,” kata Koordinator GNB, Haryadi Siregar kepada awak media, Selasa (23/9/2025).
Menurut Haryadi Siregar bahwa para kepala daerah, baik Bupati ataupun Wabup Sidoarjo seharusnya sudah memahami aturan tersebut sejak awal.
“Bukankah saat dilantik, mereka ikut retreat di Magelang hanya untuk membahas UU itu? Kalau masih penuh tafsiran, ya keterlaluan! Sidoarjo bukan tentang perasaan elit, tapi kerja nyata! Kalau sudah tidak sanggup, mundur saja!,” tegasnya lantang.
Kritik juga datang dari tokoh budaya lokal, Luddy Eko bahwa konflik terbuka yang dipamerkan lewat media massa dan media sosial (medsos) tersebut adalah cermin dari minimnya kedewasaan politik.
“Potensi konflik itu pasti ada. Tapi harusnya diselesaikan secara internal, bukan di umbar ke ruang publik. Dalih apapun dari mereka hanya menimbulkan persepsi negatif di masyarakat,” ujarnya.
Penulis novel sejarah bertajuk ’Mereka yang Terkhianati’ dan ’Puspa Kinasih’ itu mengungkapkan bahwa saat ini warga kota delta terjebak dalam kekecewaan atas konflik yang tidak berkesudahan dari para elit tersebut.
“Sehingga sangat wajar apabila muncul kembali sindiran lama Sidoarjo Apes. Sebuah ekspresi getir dari warga yang merasa salah memilih pemimpin dalam Pilkada lalu,” ungkapnya.
Untuk itu, ia para elit yang kini sedang berseteru untuk kembali duduk bersama, menurunkan ego masing-masing dan menomorsatukan kepentingan rakyat.
“Sidoarjo membutuhkan kerja nyata, bukan drama politik. Karena pada akhirnya yang paling rugi dari konflik berkepanjangan ini bukanlah para elit, melainkan rakyat yang hanya bisa mengelus dada dari bangku penonton,” pungkasnya. (mams)







