Siapa Seduh, Siapa Seruput?
Oleh Nanang Haromain
Di Kabupaten Sidoarjo! Aroma proyek pemerintah kadang lebih wangi daripada aroma kopi di pagi hari.
Setiap kali musim politik memanas, yang paling sibuk bukan cuma tim sukses (timses). Tapi juga kontraktor yang mendadak rajin ngopi di kantor-kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dilingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo.
Bukan rahasia lagi! Bisnis dan politik disini itu, seperti gula dan kopi. Beda rasa, tapi larut dalam gelas yang sama.
Satu pihak butuh dana untuk menjaga mesin politik tetap hidup, pihak lain butuh akses agar alat beratnya tetap jalan. Dua-duanya saling butuh, tapi jarang ada yang jujur mengakuinya.
Makanya, jangan heran kalau proyek-proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo bisa tiba-tiba berhenti ditengah pengerjaan. Bukan karena hujan, tapi karena politiknya lagi mendung. Dan disela-sela itu, kontraktor yang sudah keluar modal cuma bisa ngelus dada sambil menghitung berapa fee yang sudah terlanjur terbang ke udara.
Lucunya! Setiap orang dilingkaran itu merasa paling benar. Semua bilang ‘Kami hanya jalankan aturan’. Sementara rakyat di pinggir jalan cuma bisa bilang ‘Lha terus, yang jalan cuma proyeknya? Bukan manfaatnya?’.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) belakangan ini yang sering mampir, seperti cermin retak di warung kopi (warkop). Semua lihat, namun semua pura-pura nggak kenal wajah didalamnya.
Dalam laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2023 menyebutkan bahwa lebih dari 67 persen kasus korupsi di Indonesia melibatkan pejabat politik aktif, terutama terkait proyek dan pengadaan barang.
Angka itu bukan sekadar statistik. Itu potret betapa kekuasaan kerap diseduh bersama kepentingan, lalu diseruput bersama keuntungan.
Padahal kita semua tahu. Itu bukan insiden tunggal, tapi puncak dari budaya lama, dimana proyek bukan soal pembangunan, tapi soal pembagian.
Kalau politik sudah terbelah, aroma kopinya jadi pahit beneran. Terjadi saling sandera, saling jegal dan saling sindir di media massa ataupun di media sosial (medsos).
Tentu saja yang kasihan rakyat kecil, mereka cuma dapat debu dari jalan yang belum selesai, tapi tagihan pajaknya tetap lancar.
Barangkali sudah saatnya Sidoarjo belajar dari tukang kopi. Dia tahu takaran gula, tahu kapan harus aduk, dan tahu kapan harus diam. Kalau terlalu banyak gula, rasanya eneg. Kalau tanpa aduk, rasanya hambar.
Politik dan bisnis pun mestinya begitu, tahu batas, tahu takaran, tahu siapa yang diseruput, dan tahu siapa yang menyeduh. (*)
*) Nanang Haromain, Pengamat Politik dan Komisioner KPU Sidoarjo periode 2014-2019, tinggal di Sidoarjo.







