Oleh Arik S. Wartono
Akhir bulan ini, tepatnya 30 September dini hari hingga 6 Oktober 2024 langit fajar Indonesia kembali dilintasi komet atau lintang kemukus, yakni Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS).
Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS) memng tidak seterang Komet Ikeya-Seki (C/1965 S1), Namun, momentumnya sama persis, dan semua orang bisa menyaksikannya dengan mata telanjang ketika fajar hingga selepas Subuh sampai sekitar pukul 4.30 atau maksimal 5.00 WIB.
Hanya saja untuk menyaksikan Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS) sebaiknya dilakukan di lokasi yang minim polusi cahaya, bisa di gunung atau pantai yang jauh dari lampu pemukiman penduduk. Komet ini muncul pada sisi langit Timur, tepatnya +10° dari langit timur, Magnitudo visial +1,55 hingga +1,46 (semakin rendah Magnitudo visual semakin cerah) .
Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS) ditemukan oleh Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System (ATLAS) pada 22 Februari 2023 dan juga diamati secara independen beberapa minggu sebelumnya pada Januari 2023 di Observatorium Tiongkok Tsuchinshan (Observatorium Purple Mountain dari Chinese Academy of Sciences).
Sebutan resminya mencakup Tsuchinshan dan ATLAS, karena pengamatan independen ini. Orbit retrograde-nya, yang berarti bergerak berlawanan arah dengan sebagian besar objek tata surya utama, seperti parabola dengan jarak perihelion 0,39 unit astronomi (AU). Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS) terkenal dan diamati secara aktif karena, berdasarkan estimasi saat ini, ia dapat menjadi cukup terang untuk dapat dilihat dengan mata telanjang selama lintasan perihelionnya antara September dan Oktober 2024.
Sementara pada akhir September hingga pertengahan Oktober tahun1965, langit fajar Indonesia dengan jelas menyaksikan lintasan Komet Ikeya-Seki (C/1965 S1), yang disebut sebagai salah satu komet paling terang pada abad ini. Sastrawan Ahmad Tohari mengabadikan momen ini dalam salah satu novelnya yang terkenal, yakni Lintang Kemukus Dini Hari (terbit 1985).
Alam selalu bergerak mencari keseimbangan, tentu ada siklusnya. Begitu pula siklus kelahiran dan kematian serta segala hal yang menyertainya, semua memiliki penanda. Akan selalu ada yang datang dan pergi dalam dunia kosmik, makro dan mikro kosmos.
Pergerakan benda-benda langit tentu merupakan fenomena alam yang berjalan sesuai siklusnya: gerhana, kesejajaran antarplanet, komet, nova, supernova, blackhole dll, telah dimaknai dan direspon dalam berbagai cara oleh peradaban umat manusia sepanjang sejarah evolusi.
Tentu sah-sah saja manusia modern-postmodern melihat semua ini sebagai hal yang biasa, tanpa perlu dimaknai apa pun selain estetika kosmik. Namun, mengabaikan setiap penanda alam sebagai bagian penting dari siklus kosmik bisa disebut sikap sembrono, karena Rasulullah bahkan mengajak umatnya sholat setiap kali terjadi fenomena gerhana matahari dan bulan, sebagai wujud respon atas kuasa Allah dalam setiap siklus alam.
Tahun 1965 saat Komet Ikeya-Seki (C/1965 S1) melintasi langit Asia, yang di Jawa disebut dengan istilah “lintang kemukus” pada akhir September sampai pertengahan Oktober 1965, semua generasi lampau kemudian tahu apa yang terjadi setelah penanda alam ini.
Awal Oktober 2020 langit Bojonegoro-Tuban kembali dilintasi oleh bintang dengan ekor berwarna kemerahan, yang sebenarmya itu adalah bagian dari hujan meteor Draconid yang berlangsung dari 6 hingga 10 Oktober 2020. Saat itu para buzzer malah tertawa mengejek ketika penanda alam dimaknai dengan cara apa pun di luar konteks fenomena alam biasa. Setelah itu semua orang tahu apa yang terjadi dengan wabah virus Corona atau Covid-19, banyak orang yang kemudian kehilangan anggota keluarganya.
Setiap siklus alam menjadi penanda bagi kakuasan Allah, tentu lebih arif jika menandainya dengan cara yang bijaksana. {*}
*) Arik S. Wartono, Astrofotografer, kurator, pendiri dan pembina Sanggar DAUN.







