Oleh ADRIONO
Ada dua macam ilmu yang sama-sama hebat dalam mengantarkan seseorang ke tangga sukses. Satu, ilmu sekolahan. Dua, ilmu lapangan.
Untuk mendapatkannya, butuh prasyarat yang tidak mudah. Ilmu sekolahan butuh anggaran besar dan waktu yang panjang. Ilmu lapangan membutuhkan kesungguhan, konsistensi, effort tinggi, ulet, tahan banting, open mind, berani mencoba, dan sederet kapasitas mental serta kompetensi. Dan, itu semua tidak banyak diajarkan di sekolah.
Sahabat saya yang satu ini adalah contoh konkret dari orang yang lulus gemilang melalui jalur ilmu lapangan. Sungguh, hasil dari belajar autodidak tidak kalah hebat dibanding produk massal lembaga pendidikan formal.
Cak Rachmat Basuki mengawali dunia kerja dengan menjadi karyawan biasa di Harian Sore Surabaya Post, menjadi petugas keamanan (Satpam). Tetapi, kegemarannya dalam dunia potret-memotret ternyata mengantarnya menjadi wartawan foto profesional yang diperhitungkan.
Dulu, di luar jam kerja diam-diam dia hunting gambar di jalanan. Sesekali beruntung karena menemukan kejadian kecil seperti pick up yang nyungsep ke parit. Lalu dengan malu-malu foto itu ditunjukkan kepada saya, yang waktu itu menjadi asisten redaktur.
“Ngene iki apik ta, Mas? Nek elek yo gak usah dimuat, aku belajaran kok,” katanya setengah berharap.
Karena saya nilai layak, foto itu saya muat dua kolom kecil di rubrik “Surabaya Singkat”. Saya minta dia bikin caption pendek untuk foto itu. Dia pun nyengir dan bilang, “Waduh, yak apa carane nggawe teks foto itu, rek.”
Tapi, itu hanyalah episode awal dari sebuah perkembangan potensi yang ternyata progresif. Kepercayaan diri disertai passion kepada apa yang dilakukan membuahkan hasil yang luar biasa. Seiring dengan berjalannya waktu, dia lalu “menjelma” menjadi fotografer andal.
Proses bekerja sambil belajar dilaluinya. Trial and error ditempuh. Dia pun tak pernah malu bertanya kepada rekan senior di lapangan. Puluhan tahun semua itu dijalani dengan kecintaan besar kepada dunia jurnalistik, khususnya fotografi.
Jam terbang tinggi membuat bidikan Cak Basuki semakin berbobot dan punya nilai nge-news . Liputan di segala medan, dari kongres nasional hingga bencana G. Kelud, makin mengasah dan memperkaya taste fotonya.
Sampai akhirnya kapal Surabaya Post karam dilikuidasi pada 2002. Dan kami, para awak kapal, berpencar mencari sekoci sendiri-sendiri. Cak Bas tetap konsinten di jalur foto. Malah berkembang merambah wilayah politik juga.
Dia banyak membantu konsultan politik untuk mem-branding para kandidat dalam kontestasi Pilkada. Calon gubernur maupun calon anggota DPR/D harus “tunduk” kepadanya saat sesi pengambilan gambar. Posisi pundak harus begini, dagu jangan begitu, agar nanti terlihat berwibawa dan smart saat dijadikan baliho di tepi jalan, dan lain-lain.
Setahu saja Cak Basuki juga memotret untuk kantor berita nasional Antara. Tidak hanya mahir memotret, dirinya mengembangkan usaha jual beli kamera, termasuk melayani servis kamera rusak sekalian. Kabarnya dia juga membeli kamera bekas dari luar negeri dan menjualnya secara konvensional maupun online.
Hampir setiap tahun kami berlangganan mengisi pelatihan jurnalistik di sekolah dan lembaga, di antaranya di MAN Sooko, Mojokerto. Saya tidak tahu belajar ilmu paedagogik dari mana dia, kok tahu-tahu bisa lancar mengajar lancar seperti guru. Bahkan peserta diklat dijamin ger-geran bila mengikuti sesinya.
Sungguh, Cak Basuki adalah pembelajar sejati. Juga baik hati. Saya sangat respek dengannya. Oleh karena itu, meski pendidikan formal saya setingkat lebih tinggi darinya, –karena pernah kuliah–, toh saya tidak malu-malu belajar darinya.
Saya belajar darinya cara memotret, cara menyikapi hidup, hingga cara membuat keripik usus ayam. Yang menyenangkan berkolaborasi dengannya adalah dia tidak pernah main itung-itungan. Hasil jepretannya telah menjadi cover beberapa buku biografi pejabat yang kami buat.
Tatkala ada sebuah proyek pekerjaan, yang tidak begitu besar nilainya, dengan permohonan maaf saya menyodorkan amplop honornya. Dia dengan enteng bilang, “Masiya sethitik gak papa, Mas. Aku isa nyambut gawe bareng karo sampeyan, karo Mas Sukemi, Mas Son Andries, karo konco-konco lawas liyane, iku wis seneng.”
Betapa dia menghargai dan mempercayai sebuah persahabatan. Kepergianmu sangat mengejutkan. Pagi tadi-tiba Cikgu Titik Surya Pamukti mengunggah kabar duka itu di media sosial. Kabarnya Cak Basuki diabet yang sudah menahun itu, telah merambah ke ginjal, dan menjadi lantaran penutup usianya.
Selamat jalan, Cak Basuki. Doa kami untuk Sampean. Dan, saya nyakseni, bahwa Sampean orang baik. (*)




