Oleh Sabarnuddin*
Pelecehan seksual merupakan isu yang terus hangat diperbincangan oleh masyarakat. Kejahatan ini telihat di dunia pendidikan dengan pelaku serta korban juga selalu bertambah.
Keterbukaan informasi dan perkembangan pemikiran manusia menjadikan sesuatu yang keji tak lagi tabu dan tidak ada rasa malu bagi pelakunya bila hal itu terjadi. Di antara banyak kejahatan terhadap sesama individu selain membunuh atau melukai fisik, pelecehan seksual menjadi kejahatan yang membuat korban trauma seumur hidup dan berdampak rasa malu sampai akhir hayatnya. Satu hal yang memengaruhi pelaku kejahatan seksual ialah tontonan dan lingkungan.
Budaya masyarakat kita yang sangat terbuka terhadap orang lain, membuka celah yang besar bagi pelaku dan jaringannya untuk beraksi mencari korban. Tontonan media saat ini tidak lagi bisa dikontrol, sebab media tidak diatur langsung oleh pemerintah. Semua hal yang menayangkan ke arah hal-hal yang berbau pornografi bertebaran dengan mudah, baik di media sosial ataupun media online (website).
Di sisi lain, perkembangan teknologi bukan hal utama yang melatarbelakangi bobroknya naluri manusia saat ini. Namun, bagaimana kita mampu berdapatasi dan menyeimbangkan kemajuan teknologi dalam kehidupan berbudaya dan berbangsa, itulah tantangannya. Ekspektasi kemajuan yang didambakan sejak dulu kala terkait tingginya kemampuan mengatur kebersamaan dan pesatnya peradaban dunia. Namun faktanya, semakin canggih teknologi semakin memudahkan untuk berbuat tindak kejahatan seksual, terutama terhadap anak yang masih panjang perjalanan untuk menggapai masa depannya.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis laporan seputar kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kesatuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kemendikbud-Ristek ataupun Kemenag RI dengan pendataan dilakukan sejak Januri – Mei 2023. Data menujukkan, bahwa sejak 5 bulan di tahun 2023 sudah terjadi 22 kasus dengan jumlah korban 202 anak atau peserta didik.
Para pelakunya terdiri atas guru sebanyak 31,80%, pemilik atau pemimpin pondok pesantren 18, 20%, kepala sekolah 13,20%, guru ngaji (satuan pendidikan informal) 13,63%, pengasuh asrama/ pondok 4,5%, kepala madrasah sebanyak 4,5%, penjaga sekolah 4,5%, dan lainnya 9%.
Dari kasus yang terjadi di satuan pendidikan sepanjang Januari-Mei 2023 sebanyak 50% terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbud-Ristek, sedangkan dari 11 kasus tersebut ada kasus terjadi di luar sekolah. FSGI mencatat ada 13 modus yang digunakan pelaku yang notabene orang yang paling dihormati dan menjadi teladan bagi berbagai kalangan.
Dari sekian banyak kasus yang terjadi, modus yang sering digunakan ialah, mendapat berkah dari Tuhan dari pelaku religius hingga diiming-imingi materi dan kesenangan oleh pelaku. Kondisi atau realita tersebut menginterpretasikan, bahwa lemahnya pengawasan dalam pendidikan untuk menjaga kenyamanan siswa menyelesaikan masa sudinya.
Becermin dari kasus-kasus besar yang menimpa sekolah yang masuk kategori sekolah favorit di daerah setempat, tidak adanya sanksi yang tegas dan efek jera untuk pelaku yang acap dilindungi oleh atasan yang memiliki kewenangan menindak pelaku yang melanggar aturan di pendidikan. Tranksaksi untuk menutup kasus, justru terus berlanjut bahkan telah merambah aparat negara yang bertugas menegakkan hukum untuk semua warga negara yang melanggar undang-undang.
Tindakan asusila yang dilakukan oleh siapa pun harus diberi tindakan tegas, karena akibat yang ditimbulkan telah merusak harapan hidup dan merusak institusi serta marwah wanita sebagai penopang keberlangsungan hidup manusia.
Pelaku Tidak Takut
Pelaku kekerasan seksual berpikir dan membayangkan rencana ke depan setelah melancarkan aksinya, baik terhadap siswa atau lainnya. Ia akan membuat skenario dan berbagai cerita untuk memutarbalikkan fakta untuk menutupi kebejatannya.
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disebutkan, pelaku dikenakan sanksi berupa penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp 10.000.000 untuk kekerasan non-fisik dan sanksi berupa pidana paling lama 12 tahun dan atau/ denda paling banyak Rp 300.000.000.
Selain pidana dan denda, sanksi lain bisa berupa pencabutan hak asuh, pengumuman identitas pelaku, perampasan kuntungan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual dan rehabilitasi dan restitusi.
Sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku tidak membuat rasa takut bagi para pemain yang telah melancarkan aksinya sejak lama dan punya kelainan dalam dirinya yang senang dengan hasrat birahi. Para pelaku mampu memperkirakan apa yang akan terjadi bila para korban mengaku akan kejadian tersebut serta bagaimana membuat kesaksian tandingan.
Kesewenang-wenangan untuk berbuat melampiaskan nasfu sesaat telah merusak kepercayaan diri siswa dan merusak sesuatu paling berharga dalam dirinya. Kejahatan ini harus ditindak dengan hukuman paling berat, sama halnya dengan kejahatan terorisme, pembunuhan dan korupsi. Sebab, merusak masa depan satu anak tidak akan bisa dikembalikan dengan kata maaf dan hukuman penjara atau denda semata.
Bila hukuman yang diterapkan ialah hukuman mati atau penjara seumur hidup, baru akan membuat para pelaku akan berpikir bagaimana nasibnya bila berbuat biadab tersebut. Nasib bangsa akan bergantung bagaimana siswa yang saat ini menempuh pendidikan. Bagaimana jadinya jika di sekolah anak didik dirusak secara fisik dan batin, tentu tidak akan ada semangat hidup meneruskan keberlanjutan diri dan keluarga bahkan bangsanya.
Nilai Agama dan Budaya
Dalam nilai-nilai agama dan budaya diajarkan bagaimana bertutur kata dengan baik dan bertingkah laku selayaknya sebagai seorang anak kepada orang tua, teman dan yang lebih muda. Perpaduan antara ajaran agama dan budaya untuk mengatur tatanan kehidupan bagi peserta didik, terutama yang telah menginjak usia remaja akan melahirkan pribadi yang terjaga dari berbagai kejahatan yang akan mencelakakan dirinya. Tidak sedikit kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku didahului oleh tingkah laku atau busana yang tidak pada tempatnya, baik terhadap guru atau orang lain.
Perilaku yang baik serta busana yang sopan akan meminimalkan tindak kejahatan dari pelaku yang berniat berbuat tidak senonoh pada siswa. Satu hal yang barangkali menjadi masukan untuk para guru di sekolah atau pembuat kebijakan di pendidikan, di antaranya membuat batasan atau aturan khusus bagi siswa di sekolah untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Berawal dari kedekatan personal guru dan murid dan berakhir dengan saling bercerita tentang kehidupan dan guru dengan mudah merasuki pikiran siswa. Memperbanyak ruang terbuka dan tidak membiarkan adanya pertemuan guru dan siswa dalam ruangan tertutup dengan dalih konseling. Modus yang sering digunakan ialah akan menyelesaikan masalah siswa, namun berujung pada menambah masalah dan masa depanya.
Pengawasan Orang Tua dan Teman
Semua hal yang terjadi pada siswa harus diketahui oleh orang tua. Namun, tidak sedikit orang tua yang cuek pada keseharian anak bahkan terkesan membiarkan seolah anaknya robot yang tidak membutuhkan perhatian dan pemecahan masalah yang ia hadapi.
Kebanyakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak mau orang lain tahu dan bahkan menutupi agar ia tidak dipermalukan. Karakter anak untuk selalu terbuka kepada orang tua harus dibiasakan sejak dini, sebab tidak semua hal anak mampu mengatasi masalahnya. Perhatian kepada anak menjadi penjamin, bahwa anak selalu dalam kondisi prima dan tidak mudah dibujuk rayu oleh siapa pun, termasuk gurunya.
Salah satu hal yang perlu ditegaskan oleh anak ialah harus dan selalu terbuka apa pun yang terjadi, karena anak yang selalu tertutup, terbuka kemungkinan terutama yang perempuan ia ditelah diganggu atau diancam oleh orang lain agar tidak mengadu kepada siapa pun. Teman menjadi salah satu tempat untuk bercerita bila rasanya tidak sanggup bercerita kepada orang tua. Maka, teman akan menjadi tempat meluapkan semua masalah dan sudah barang tentu teman akan mencarikan jalan keluar agar masalah dan pelaku segera ditangkap. (*)
*) Sabarnuddin, Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.







